Batak
Namanya Thio. nama di yellow pages (/mungkin data kependudukan Indonesia) atas nama satu kata dia, cuma satu se-Indonesia. Saya ga pernah temukan satu kata nama dia persis dipakai/ditemukan di Google. Benar-benar cuma satu seperti “satu kata” nama ibu saya yang ga ada “meng-kembar-i”. Untuk bandingkan, nama “adi” (atau adhi, adhy, addy, addie) di Indonesia mencapai 100 ribu. Saya amat berharap banget, suatu saat punya “Mrs Prada”, dan punya anak perempuan, saya boleh membuat nama dia menjadi terpakai “satu orang lagi”. Thio amat baik. Amat-amat baik. Dan saya berusaha betul tidak akan pernah trauma, karena nama belakang Thio selalu, dengan gaung degup amat kuat, menghantui saya.
Yang lebih awkward bagi saya terkait Thio, dia dulu banget menolong saya tuk/terkait satu perempuan lain (ya tetep aja ga jadi “jadian”). Tapi tidak pernah merusak sama sekali apapun pertemanan saya dengan Thio. Saya masih ingat betul, saya dari DEL ke CGK, karena bawa banyak tas saya taruh ke loker di FX, dan menuju suatu gereja area “selatan” (ga terlalu jauh dengan FX) untuk resepsi Thio dan (kini tentunya) suaminya. Batik tulis seadanya, cuci muka biore seadanya, “yang penting dateng”. Sampai gereja, beneran bingung “gue kayak sendirian” ga ada satu pun yang kukenal, pun ga ada satu pun teman2 kuliahnya Thio (karena saya tau sebagian anak2 HI ******* kampusnya Thio). Masih berharap kirim kado kedepannya seperti biasa ke Thio dan suami.
Dompet sudah hampir jebol 10 tahun, masih saya pakai, kado dari seorang Batak (kado barengan Batak dan urang Jawa tapi hidup di Sunda). Dulu (juga), pada momen yang lain, mungkin... teman saya, batak perempuan, entah sedih, atau kasihan, saat saya cuma bisa ketiduran di kursi belakang Rush --- dia (teman saya batak ini) nyetir dari bandara tuk antar saya ke kos pakai mobil dinas kantor.
Saya saat itu jam 00.00 tiba di bandara karena dia masih kerja saat (dia) ultah. Saya ingat betul bahwa sampai jam 10 malam saya masih di persidangan KPK di gedung ombudsman Rasuna Said --- agak heran mungkin pengunjung sidang lainnya “koq ada yg masih di dalam gedung dan bawa kue, memangnya si terdakwa ultah?”. Ya gak laccchhhhh. Kira2 jam 4an pagi, ngobrol macem2, saya diantar pulang. Harusnya saya pakai taxi, tapi teman amat baik saya berkata “santai aja prad..” (pakai nada Arina Ephiphania-Mocca).
Cerita-cerita amat lekat tentang Batak ini, beririsan atas hal yang … antara manis dan tragis. Sembari multitasking bikin applicant S3, atau (yang mungkin lebih affordable) researcher, sembari cek tesis beberapa orang (((BEBERAPA))), ku mengenang rumitnya kesukuan ini. Kalau dirujuk pakai Minang, Batak ya cuma sebelah utara aja. Kalau dirujuk darah kraton jawa, ya jauh.
Dari berbagai kado dari perorang yang benar2 tiba di rumah saya (literal tanpa transit--alamat rahasia untuk rumah saya), itu dari seorang batak juga. Dari marga … yang harusnya menikah dengan saya. Was. Nearly. but well, not all those who wander are lost. Kalau kata seseorang 3,5 bulan lalu yang kehilangan 357 jutaan tuk bisnisnya “kowe koq iso kelangan arto gede banget tho cah..” (kamu koq kehilangan besar sekali gitu tho bocah”).
Tobing, Sinaga, Parhusip, Panjaitan, Manalu, Hutauruk, Simamora, Hutabarat, Simatupang. Dan entah berapa lagi.
Saat berusaha meniti ulang dari awal perkarir-an, saya juga berasa ditinggal--ga ditolong sama sekali Batak. Tapi saat lagi butuh curcolan, juga Batak yang mendengar. Sampai sekarang--maksudnya 56 hari lalu, Batak adalah yang (hampir) terawal, rutin nyapa ultah tiap tahun dalam belasan tahun terakhir. Ditengah lebih dulu Bali, Aceh-Makassar. Guess what, adek sendiri biasanya lupa… dia apal semua bagian pesawat semua merk tapi ga apal tanggal-tanggal penting keluarganya sendiri.
Saya (dan hampir) calon saya “Mrs Prada” benar-benar memikirkan sampai 3 rumah, rumah saya sendiri, rumah dia, dan rumah untuk kami berdua. Bahkan ditengah keterbatasan kami. Saya yakin sanggup dengan segala penghematan luar biasa (*sebelum covid). Bagaimana gaji kami berdua kelak bisa membayar 3 rumah itu, sesekali membeli perabotan. Bagaimana bahkan kami sudah berpikir tahapan-tahapan tanggal setelah tunangan. Bagaimana kami bahkan sampai punya kemampuan (setidaknya dia) bisa meyakinkan kalau “nikah di Istiqlal, dengan penghulu luar biasa terkenal “yang itu” gampang banget kalau aku yg minta tolong”. “Cincin” nikahnya ada, bukan cuma cincin tunangan. Dan sebagainya.
Sampai…..
Sampai dia merasa lebih baik ke kehidupan “lampaunya”. Entah berapa (banyak) pejabat uzur yang didatangi telanjang. “Kejauhan ma umurnya”. Atau sampai merendahkan karena “si pejabat uzur” ini bukan semata kaya tapi profesor doktor semacamnya.
-a new red flag-
Marga “hampir Mrs prada” sama dengan Thio. dan saya ga pernah sama sekali mengurangi berbuat baik pada Thio hanya karena takut. Meski trauma itu terus-menerus berdegup kencang.
Sampai ini diketik pun, saya bahkan sempat agak “riweuh” menelpon hampir sejam adik saya. Dia 9,5 (sembilan setengah) tahun di kantor yang sama. Tidak pernah sekalipun dia memanfaatkan “akses fasilitas” ke London atau Osaka atau Tokyo seperti dipakai nyaris semua pekerja di “kantor” itu apapun divisinya. Dia tidak pernah ke kafe, paling mentok ke acara pernikahan teman-temannya (karena dia lulusan kampus dan SMA yang amat dikenal “hanya untuk orang-orang super kaya”). Saya bertanya bagaimana dia benar-benar bisa tidak iri saat misalnya dengan pramugari, profesi yang di Thailand dan malaysia di cut habis-habisan saking gilanya efek covid, bisa dengan mudah makan enak dan apartemen wah, saat saya tau betul dia bukan dalam tahun yang sama (jauh lebih rendah) dibanding masa kerja adik saya. Di saat kantornya dalam masa super sulit.
Red Flag. Pasca batal menikah, saya benar-benar terlalu ekstrim memberikan standar “flag”, bahkan tidak sama sekali terkait paras. Saya benar-benar mewanti betul suku, dan penghasilan sesungguhnya. “Apakah dia anak orang ultra kaya, jadi wajar aja bisa beli ini itu ditengah cuma magang--misalnya”. “Apakah dia anak ultra kaya yang ya wajar aja bisa S2 S3 sementara kantornya rugi triliunan, dan dia fine-fine aja--misalnya”. “Apakah dia menjajakan vaginanya, ngewe dengan pejabat, sehingga mau gaji serendah apapun di kantor, dia tetap bisa mewah2an -- dengan basis trauma apa yang saya alami dan apa yang saya banding2kan kehidupan adik saya dan pekerja lain sekantor dia misalnya.
Seekstrim, sevulgar, sekontras itu.
Tapi justru saya ga memasukkan agama, dan justru karena… (perubahan sikap) nyokap.
Saya terpaksa betul memberikan red flag untuk berhubungan “terlalu jauh” dengan wanita dari Jawa, Batak, dan bahkan … Minang (suku ibu saya--artinya suku saya juga dong). Nyokap saya akhirnya menyadari bahwa dia ga lagi bisa memaksakan bahwa “iman yang sama” sebagai prasyarat. Saat jelas banget, sukunya, 150% islam, kelakuannya penuh idiot. Nyokap justru takut kalau saya tiba2 berhubungan amat jauh dengan “padussi” perempuan minang, justru dari kubu “idiot”. Kami di minang menyebutnya “kubu 87 atau 13”. Semacam nyokap takut betul dianya sendiri yang mengalami-menjumpai red flag minang… “ini gadis baik sih, S2, sesuku dan bahakn kampung yang sama, tapi keluarganya kelakuannya idiot”. Ya nyokap saya akhirnya sadar ga perlu memaksakan agama.
Meski saya punya hubungan amat manis dalam pertemanan dengan batak, saya menjumpai betapa mengesalkannya justru dibawa ke hal lebih jauh: profesi dan percintaan. Orang Semarang menyebutnya “kagol”. Kecewa betul. Ditelantarkan tanpa kepastian karir. Trauma dengan “semarga dengan Thio” misalnya. Dan hal-hal lainnya.
Kulit saya lebih jelek, kusam, gelap dibanding almarhum ayah saya dan adik saya. Apalagi dibanding Ibu saya yang super putih. Kadang saya benar-benar rendah diri atas hal itu. Tapi saya berusaha betul menjalankan nilai-nilai baik “Jawa” yang saya pahami.
Dan saya sebetulnya tahu betul bahwa secara umum ditengah masyarakat Indonesia, 274 juta jiwa, hubungan jawa-batak ini termasuk amat bersahabat. Jadi “case” nya tidak pernah kasus yang jarang.
Tapi entah kenapa, yang amat-amat baik, koq ya kebetulan, Batak tapi (pernah di) Bandung. “Bandung itu melibatkan perasaan, bersamaku disaat sunyi”, kata Pidi Baiq tentang Bandung, kota yang baru saja berulangtahun ke 211. Saya gatau entah kenapa begitu sering (& tidak pernah sama sekali mengecewakan) orang2 Batak dan pun didetilkan “dari Bandung atau pernah di Bandung”, amat-amat baik pada Minang-Jawa yang bandel-membangkang ini.
Saya masih traumatik dengan perlakuan “sesama Jawa” kepada saya, laki dan perempuan. Dan rasanya “what the fuck is it”. Jadi saya merasa begitu sulit, dan akan mencoret seketika siapapun perempuan Jawa. bahkan ini tidak semata kegagapan saya memahami seorang Jawa-tunggal yang saya hadapi kebuasannya 7-8 tahun terakhir (bersama ratusan teman-temannya). Tapi … ada aja kelakuan jawa-jawa perempuan yang brengsek yang saya (koq ya sialnya) pergoki mata. Atau tahu langsung. “Brengsek betul perempun jawa ini”. Tidak sekali. Terlalu sering. Ga bercanda.
A Dispatch
Saya takut betul bahwa Tuhan itu memang “mengarahkan saya” pada batak, entah kapanpun tahunnya. Pasca kegagalan menikah dan gagal “ber-opung sama” (rada ga paham istilah2 Batak, maafkeun) dengan Thio, saya jauh lebih nyaman untuk memberi kebaikan pada yang sudah saya kenal---sebaik mungkin. Karena dengan menambah lagi “kenal” batak yang lain, saya kahwatir mengalami trauma lagi.
Iya saya egois. Egois untuk berbuat baik dalam lingkaran makin kecil.
Dan semoga saya bisa terus-menerus mengistimewakan Batak, entah siapapun kelak Mrs Prada.