Afghanistan refugee and my mom
16 Aug. 5 AM. Pac Time.
(*link untuk menolong Afghanistan: https://baitulmaal.org/donate/?type=One-Time&onetime-amount=250&category=Respond-Afghanistan-Aid )
Kira-kira dalam hidup anda, anda pernah tidur di ruangan yang berbeda berapa kali? Saya yakin betul bahwa ada beberapa teman saya di HI UGM, seumur2 hidupnya, hanya punya/pernah di 3 ruangan berbeda. Rumahnya sendiri, kosannya amat bagus di Yogya (Sleman, UGM sekitarnya diitung Sleman), dan setidaknya sekali di Kaliurang karena makrab. Sampai saat ini dia bersikeras kerja di tempat yang tetap memungkinkan dia komuting/ “nglaju” apapun transportasinya---sangat mungkin lebih karena ortunya yang gak mau dia todur tidak di rumah.
Saya, yang terbiasa hitung memakai excel, menghitung bahwa setidaknya saya berada di 300an (tiga ratusan) tempat berbeda. Entah rumah warga (numpang--karena tugas kerjaan), kos, rumah ke rumah (bersama keluarga) dan lainnya. Sebagai gambaran, saya mencontohkan tukang bangunan di gedung pencakar langit misalnya. Meski mungkin chaos berantakan karena proyek bangunan, seorang pekerja/tukang bisa saja tidur di tempat yang sama selama berbulan-bulan meski tempat tidurnya kacau-balau.
Jauh sebelum covid, tiap kali di Yogya, saya terbiasa jalan-jalan malam (meski kadang nabrak--ya bermotor). Cuma bisa bagi2 dikit roti dan air tuk siapapun di “perko” (emperan toko). Hal yang lebih biasa jika dulu sekali, saat masih aktif di kelompok pemuda masjid, untuk bagi-bagi makanan. Kampung saya yang lama (bernama Karangwaru) amat sering terlalu aktif ibu-ibunya memasak takjil, dan bingunglah kita bagaimana menghabiskan takjil agar segera dimakan dan tidak basi. Biasanya saya memakai jalur yang beda-beda, agar tidak “itu-itu saja”.
Sejak harus pindah dari Semarang, saya, adik, dan mama saya harus pindah rumah ke rumah, sampai akhirnya punya rumah sendiri. Minimal kami pindah “kasur” sampai 5 kali. Pindah rumah 5 kali sebelum benar-benar punya rumah sendiri lagi (di Yogya). Saya dan mama mencari, berkeliling dari rumah ke rumah (yang ditawarkan dijual). Gilanya, saat pasca merapi meletus. Jadi kami jalan-jalan ditengah jalanan masih berdebu.
Jadi, secara fisik (dan punggung) saya sudah membiasakan untuk siap dengan tidur dimanapun. Dan beneran kejadian. Kerjaan saya banyak menuntut pindah-pindah tempat tidur. Terima kasih banyak tuk sepupu saya (namanya Mba Rani) dan Kak Ayu (kakak angkatan saya HI UGM 06) yang memberikan saya tas super besar. Sehingga selama hampir 13 tahun, saya siap untuk pindah-pindah kasur, kadang tanpa kasur sama sekali. Karena tas keduanya sangat mampu untuk mengangkut banyak baju dan lain-lain. Tiap kali melihat orang-per-orang di emperan toko, saya selalu sedih betul mengenang apa yang dialami kami bertiga: pindah-pindah.
---------------------------
Afghanistan ini cerita yang amat-amat sedih berlipat. Pertautan saya jauh lebih intens tentang Afghanistan bahkan bukan karena/bukan saat masih aktif kuliah (meski ya tentu saya belajar Afghanistan saat kuliah). Ada teman amat baik, yang lebih memilih karir dan lain-lain yang telat skripsian. Tema besarnya Afghanistan, tapi detil spesifiknya ….. amat rumit: apakah transparansi keuangan donor ratusan miliar dollar sejak 911 ke (siapapun di) Afghanistan, bisa dipertanggungjawabkan. Entah teman saya tau betul saya sanggup ngedata / tektok berbagai organisasi internasional karena saya sempat terkungkung di hal-hal tersebut, atau dia tahu betul “Prada tidak akan meninggalkan temannya”, sehingga tanya ke saya.
Sampai saat ini, bahkan beberapa jam lalu, cuma saya dan dia yang tahu betul keadaan seorang HI UGM 2007 lainnya.
Balik lagi ke Afghanistan. Negara ini tidak kunjung tertaklukkan oleh tiga superpower. Pertama, British Empire, yang karena gagal kuasai Afghanistan, akhirnya (East India Company) hanya jajah India (India+pakistan+bangladesh, kaena dulu menyatu yang kemudian jajah Singapura dan Malaysia). Lalu superpower kedua bernama Uni Sovyet, yang menyerah pada 15 Februari 1989, hampir “Valentine Bloody 1989”.
Dan kini, Amerika. Jauh lebih cepat dari rencana 11 September 2021, sudah terlanjur keduluan 15 Agustus ini. Orang-orang membicarakan Saigon 1975 (Saigon 30 April 1975) dimana semua staf kedubes AS di Saigon dievakuasi via helikopter, dan foto tersebut persisi terjadi di Kabul. Menurut seorang wartawan asing, Anna Ahronheim (karena dia menghitung betul jam), ibukota Kabul “jatuh ke tangan Taliban” hanya kurang dari 8 jam menyusul provinsi-provinsi lain. Dari awalnya Taliban hanya berada di gerbang ibukota, sampai menguasai total Kabul, hanya berjarak kurang dari 8 jam.
Memang sikap atau opsi “evakuasi” ini beda-beda. Inggris, literal “the staunchest allied” nya Amrik, dari berita resmi, tidak mengevakuasi Dubesnya dari Kabul. Perancis, (saat ini diketik) dubesnya sudah pulang ke Paris. Saya belum menemukan berita resmi Kemenlu dan atau Menlu Retno sendiri terkait Afghanistan. Menlu perempuan, dimana jelas-jelas Taliban amat mengekang perempuan. Sementara Rusia dan China (tentu saja) tidak repot-repot evakuasi ala “Saigon 1975” seperti dijalani staf-staf Kedubes Amrik.
Yang lebih menyentuh bagi saya untuk Afghanistan, selain skripsi teman saya, adalah hal-hal sulit yang saya alami di awal-awal hidup Jakarta---karena saya pindah-pindah kos. Bahwa saya menyenangi suatu serial TV yang sangat-sangat...islamofobic tapi sangat HI banget, dan terus-menerus menantang anda mikir banyak hal relasi Amerika-TimTeng. Mungkin serial film itu termasuk amat membantu saya agar (saya) tetap nyala mikir saat nolong teman saya skripsian Afghanistan. Semua episode TV series ini kini plek banget kejadian beneran terkait hal-hal Afghanistan. Life imitates art, art imitates life.
--------
Yang meresahkan terbesar bagi saya terkait Afghanistan adalah nasib perempuan. Saya paham betul bahwa demokrasi (ala) Amerika gabisa dipaksakan diterapkan. Udah pasti gagal. Viet Nam, Iraq, kini Afghanistan. Tapi jelas bahwa Taliban ini amat-amat brutal pada wanita, tidak pernah terbantahkan.
Mereka (Taliban) tidak ingin perempuan Afghanistan jadi pintar-pintar. Mau janji manis mereka (Taliban) dalam 24 jam terakhir bahwa “tenang, kami kuasai kembali Afghanistan iu ga pakai pertumpahan darah, pasti akan memikirkan hak wanita”...its bullshit. Bayangkan betapa terombang-ambingnya arus pengungsian Afghanistan. Ga punya rumah. Bingung harus melarikan diri kemana. Ga punya rumah, sekali lagi, (sempat) yang kami bertiga alami. Dan seperti benar-benar saya alami, berpindah sampai 300an ruang berbeda di tiap negara untuk tidur, “udah kayak pengungsi” seperti pengungsi Afghanistan dan pengungsi lainnya.
Maka, selain isu perubahan demografi Amerika dari sensus ke sensus, saya tidak akan menolak tema Afghanistan jika ada junior HI kampus manapun tanya minta tolong. Isu ini amat sensitif terlebih Taliban-nya.
Sikap mereka (Taliban) yang amat anti (hak) edukasi perempuan, sangat bertolak belakang dengan kegigihan seorang perempuan yang lahir (antara) tanggal 15-16 Agustus (karena keluarga besarnya ga mencatat rapi). Tahu betul keluarga induk/keluarga asalnya amat rendah pengenyaman pendidikan (faktor penjajahan, wilayah-kampung amat terisolasi), dia menjadi satu-satuya perempuan yang mengenyam S1 diantara kakak adiknya perempuan yang lain, dan hanya 2 (yang satu laki-laki, Paman/Pakde saya/Paktuo). Perempuan tersebut mendorong dua anaknya untuk kuliah di Singapura dan di HI UGM.
Saya sedih betul tanggal lahir saya yang jelas-jelas amat perang (Iraq invasion to Kuwait) akhirnya berulang pada ibu saya.
(sekali lagi: link untuk menolong Afghanistan https://baitulmaal.org/donate/?type=One-Time&onetime-amount=250&category=Respond-Afghanistan-Aid )