Akhlaqless yang Belajar dari Pesepeda
Salah satu tempat pelarian, tidak sama sekali (menggambarkan religius) sebetulnya, justru adalah Masjid Syuhada. Enaknya bagi saya tiap kali ke Syuhada: semuanya kuno, sampai kran-nya, dan interiornya. Masih lebih modern Al Azhar Jakarta meski bangunannya kedua masjid ini sama persis desainnya, bahkan skema bagian mezzanine-nya.
Ya saya cukup salat wajib dan salat sunnah. Lalu ke terasnya. Ada teras yang menghadap Kali Code dan (secara panorama jarak jauh) UGM. Bahkan kelihatan (minimal sampai 2017) Gedung UGM yang tinggi di Sagan. Saya ga yakin masih keliatan kalau-kalau saat ini ada bangunan tinggi yang menghalangi pandangan. Utamanya karena ada Panti Rapih yang terus menambah bangunan tinggi (banget). Sebaga tambahan, jika bagian lantai 2 Al Azhar tidak ada teras terbuka amat lebar yang cuma “dipayungi” atap seng, sebaliknya di Syuhada ada. Biasanya area teras tersebut jadi tempat favorit siapapun untuk tiduran.
Saya amat akhlaqless banget. Dan kemudian belajar banget dari suatu kejadian amat sederhana. Saya menulis ini gara-gara Mas Desta (nama lengkap: Tampan Destawan Subagyo) banyak sekali memfoto berbagai sudut Yogyakarta, pulkam lebaran, dan dibagikan di IG dirinya. Salah satu fotonya adalah Masjid Syuhada dari sisi bawah/dekat kantor LBH UII.
Kejadian amat sederhana ini masih bikin kepikiran, tanpa niatan naksir apapun. Saya bahkan pernah meyakiniyang saya lihat itu jin/malaikat tapi ya berbentuk manusia, untuk mengajarkan saya hal yang amat sederhana: Dont judge book by cover.
Jauh sebelum tren sepeda Peloton apalah-apalah di Jakarta utamanya saat COVID, tiba-tiba, di Syuhada (saat itu saya sudah Ashar) ada pengunjung/seorang (jelas) pemeluk Islam masuk ke parkiran. Saya bahkan lupa tahun persisnya tapi saya intat betul momennya. Saya mencoba mengira antara 2011 atau 2012 saat saya (juga) pulkam. Dia perempuan, pakai baju pesepeda super ketat biasanya — tanpa membentuk banget-banget. Saya pikir dia salah jalan/salah berhenti, mengira dia (mungkin) mau ke Raminten, atau ke Mirota Cafe atau semacamnya yang juga deketan sama Syuhada. Atau suatu resto apalah dekat Stece (saya lupa namanya).
Dia masuk ke Mezzanine area perempuan beribadah (*kalau dibandingkan Al Azhar, ruangannya yang setara Mezzanine Syuhada, kini jadi ruang acara nikahan di Al Azhar). Ternyata perempuan tersebut ——- amat lama di Mezzanine, dengan bukti saya ga kunjung melihat dia keluar. Saya paham rerata berapa menit orang butuh wudhu, lalu salat, dan kemungkinan ibadah salat sunnah, dan merapal doa. Ini beneran lama.
Dan beneran dong: saat akhirnya keluar, dia bawa mukena. Saya sempat bingung kayaknya pas masuk ga ada tanda-tanda bawa tas apapun, semacam masuk masjid “kutungan” gitu aja, lalu wudhu di area dalam Syuhada di area privasi perempuan. Saya membatin tadi tas-nya dan segala macam termasuk mukena, ditaruh di area pingang, lalu disatukan dengan baju pesepeda. Saat selesai salat, dia (mungkin) pingin legaan sehingga tas dan perlengkapan mukena-nya diikat melingkar di bagian tengah sepeda. Tidak lagi area pinggang.
Yang paling ajaib: sore itu koq ndilalah ndak ada satpam atau bahkan orang siapapun di taman anak-anak di depan Syuhada. Biasanya, bahkan di tengah Masjid pun, ada aja orang (secara random) akan mempelototi kalau pakaiannya kurang berkenan. Saya tidak bermaskud mengatakan baju pesepeda (dengan lekuk-lekuknya) baju murahan. Justru mahal. Tapi persepsinya menjadi lebib “minor” karena (lazimnya) orang ke Masjid pakai baju longgaran dikit. Jadi mbak-mbak ini tidak disuli atau misal, ada mas/mbak yang menegur “mbak koq baju pesepeda masuk masjid sih” apalah-apalah semacamnya. Ga ada sama sekali yang menegur karena ya ga ada orang. Lalu dia mengayuh begitu aja keluar.
Secara menit rerata ibadah, saya kalah, bahkan dengan (saya ngira-ngira) mentoleransi menit berwudhu, menit salat sunnah, dan berdoa. Lama banget seriusan.
Tiap kali ke Syuhada, setelah momen itu, saya berusaha ga terburu-buru naik ke atas (area ibadah laki-laki). Saya terus-menerus memandang area parkiran, juga halaman Syuhada, mencoba terus-menerus (mengenang) pesepeda tersebut. Saya yakin peribadatan yang diterapkan perempuan tersebut jauh lebib “mulia”, lebih khusyuk, dibanding Adi Mulia. Sejak momen tersebut, saya berusaha betul “don’t judge a book by cover”, dan hal lain: lebih lama (secara menit) beribadah salat.