Saya bertahun-tahun (saat SMA sampai setidaknya tahun akhir kuliah) hanya ingat 3 nomor HP. Saya sendiri (0048), ibu saya, dan seorang HI Unpad XL. Saya mungkin punya kemampuan mengingat fotogenik hal-hal momen sehari-hari (benar-benar utuh ingat), Saya bisa mengingat tanggal ultah banyak sekali orang (karena hanya 6 deret angka). Saya sering “punya penglihatan” masa depan kejadian (yang lebih sering hal ga enak) yang akan dialami orang lain. Tapi saya kesulitan menghapal deretan angka yang sepele bernama nomor HP (minimal 11 digit). Disaat saya sadar betul saya (comorbid karena akut masalah) diabetes.
Saya menyadari bahwa comorbid itu tidak tunggal, saat suatu momen otak dan jantung saya nyeri ekstrim, mungkin berhenti denyut (yang jantung). Saya ga yakin itu kolesterol karena bukan saya semata tidak terlalu sering beli gorengan ( *apalagi saat covid, lha wong Parno ketemu orang* ) belasan tahun, atau bahkan tidak memakai garam dan vetsin tiap masak nasgor sendiri / meminta abang2 ga pakai garam dan vetsin saat saya beli nasgor. Apalagi secara kalori, saya amat rendah karena berpuasa yang ”lebih sulit dibanding senin - kamis semata, lebih banyak hariannya” diluar Ramadan, sudah saya lakukan sejak SMA puasa tersbeut. Dan untuk nyeri otak, saya mulai kepikiran (mungkin) itulah anomali yang saya alami amat lama: saya bisa mengingat hal-hal momen, tapi hal sepele seperti nomor HP ga bisa inget.
(4 data. 3 anomali)
Jadi, adalah suatu hal luar biasa saat saya nekad kemarin Sabtu saya ke Al Azhar. Saya sudah lama sekali (juga) tidak jumatan jamaah–saya memakai dalil kedaruratan dan tetap saya anggap wafat diatas 50 nasional itu darurat. Tapi kemarin sabtu, saya menyengaja untuk buber-maghriban-isyaan-tarwihan di Al Azhar. Sebagai orang yang berisiko banget atas covid, bahkan sekalipun saya sudah divaksin 3x, itu cukup nekad. Kayaknya di Al Azhar kemarin Sabtu, cuma saya yang memakai 5 lapis masker. Ga becanda.
Menyenangkannya bukan semata (keberanian) Al Azhar menyelenggarakan ibadah tarwih setelah vakum 2 tahun. Tapi bahwa Al Azhar mengikuti….Muhammadiyah. Ternyata sabtu kemarin sudah hari 2 / malam kedua Tarawih. Al azhar ternyata sudah tarwih sejak Jumat malam—seperti Muhammadiyah. Saya kebetulan memang sudah puasa seperti Muhammadiyah, tapi baru nyadar Al Azhar mengikuti Muhammadiyah tuk tanggal start puasa tahun ini.
Tapi antara pelonggaran yang makin muncul dimana-mana, juga saya sadari (meski masih lambat) meningkatnya persentase sudah divaksin 3x, saya sadar betul anomali Covid di seluruh dunia terus berlangsung, bahkan di Indonesia itu sendiri. Bukan semata “timetable nya” ga kunjung serentak. Masalah utamanya (concern saya) adalah opsional vaksinnya.
Saya menghitung benar-benar, punya/bikin basis data sendiri, sehingga saya “bukan dadakan mengajari orang lain”, meski saya bukan dokter. Saya mendasari “biarlah data bicara”. Saya sadar betul selalu Jakarta, sejak covid awal2 (Maret 2020) dan kemudian Delta (Mei akhir 2021) dan kemudian Omicron (awal November 2021), kurva Jakarta akan tidak sinkron dengan situasi nasional. Jakarta akan terdampak duluan, baru “menularkan” ke provinsi lain. Lalu saat Jakarta situasinya amat rendah kasus (wafat maupun idap sakit covid), provinsi lainnya yang justru meningkat.
Gap ini mengganggu. Banget. Orang2 terdorong “panik” hanya demi / karena situasi Jakarta. Tapi saat Jakarta sudah amat rendah, orang2 Jakarta sendiri menularkan perilaku yang “amat longgar protokol covid”, saat provinsi lainnya malah sedang gawat darurat.
Celakanya, saya menghitung, sudah hari ketiga belas, jumlah ambulan yang saya dengar kembali “lebih sering”. Dan kembali, angka kasus aktif Jakarta (covid idap) meningkat lagi. Padahal populasi Jakarta CUMA 10,7 juta jiwa.
Yang lebih rumit saat ini bukan semata Indonesia, dan saya belum akan bilang tentang China.
Contoh Amerika dulu. Jarak NYC dengan Wyoming memang tidak bisa dikatakan dekat, mencapai 1,800 mil darat. Tapi Jarak NYC dengan Wyoming tidak seekstrem jarak NYC dengan Seattle (2,800 mil darat), yang dimana (yang satu) Pantai Timur yang satu lagi Pantai Barat Amerika. NYC saat ini, sekitar 16 hari terakhir, secara perlahan meningkat kira-kira 33%. Tapi Wyoming, malah sempat 0 pasien ICU Covid.
Australia dan Korea Selatan terus-menerus meningkat, utamanya Korsel. Korsel sempat berhari-hari wafat 600-700 jiwa, padahal populasinya ga nyampai 60 juta jiwa. Ini (angka wafat Korsel) setara 2600+ jiwa / hari wafat memakai skala populasi Indonesia, dan terjadi berhari-hari. Ya, Indonesia pernah 1000+ selama 32 hari beruntun.
Tapi Korsel, jika diturunkan sedikit skalanya, sudah wafat 200 (DUA RATUS)/hari selama 4 BULAN BERTURUT, disaat persentase vaksinasi 2nd dan 3rd nya JAUH LEBIH BAIK dibanding Indonesia.
China, negara ultra otoriter dan makmur, adalah (mungkin) satu-satunya negara populasi diatas 100 juta jiwa, yang bisa leluasa melakukan lockdown amat brutal, amat isolatif, dan amat luas area, dan amat masif populasi. Tapi yang terjadi dalam 2 pekan terakhir, dan “NDILALAH” nya Shanghai, kota pusat ekonomi, terus-menerus meninggi kasus covidnya. Semacam …..Lockdown ga menghambat jumlah kasus. Masalah bagi Indonesia (harusnya kalau kita semua concern secara jujur): 91% vaksin yang dipakai Indonesia, baik dosis 1-2-3 adalah vaksin yang sama dipakai China: Sinovac.
Saya tidak pernah sama sekali anti Sinovac. Saya malah pro Sinovac, dan utamanya “pro vaksin yang tersedia, tidak usah pilih2”. Tapi laju Covid di China ini mengkhawatirkan banget, karena bahkan dengan cara “tangan besi”, Covid di China kembali meluas. Apalagi nanti kalau “spike rise” Covid di China kembali tertular di Indonesia.
Masalahnya: jangankan cuma tiket Bieber. Warga +62 ini dengan leluasa makin ga maskeran. Saya cukup nekad ke Al Azhar, karena bukan semata (karena warga kangen salat di masjid) amat penuh (disaat saya comorbidnya macem2). Tapi banyak banget yang ga maskeran. Meski banyak juga yang sadar diri tuk maskeran.
Yang lebih serem lagi, sebetulnya ya….roti bakar eddy dan berbagai pujasera di luar Al Azhar. Ramainya udah kek Tanah Abang pas H-5 lebaran dan precovid. Dan banyak banget yang ga maskeran, entah memang lagi makan, dan ga maskeran karena ngeyel nunggu makanan tanpa mau maskeran. Kebetulan sekali saya menjalani malam yang ga hujan, amat cerah, jadi (mungkin) amat ramai. Mungkin.
(ceramah 2 April—-kalau ga percaya saya {nekad} salat ke Al Azhar)
(jam 7 malam lebih 9 menit, pada 2 April)
(curi-curi foto—-karena seperti biasa, Imamnya lamaaaaaa banget bacaan surat quran nya tuk tiap rakaat)
(kode sedekah/angka unik dua dibelakang, siapa tau mau bersedekah, atau via QR code)
Sebagai yang kehilangan 2 paman karena covid, saya bingung banget, dengan segala pilu Juli 2021 lalu sampai maki-maki pemerintah dll, saat ini nyaris ga ada yang peduli covid, saya bingung banget. Saya khawatir banget, mungkin bukan Juli, tapi mungkin November 2022, kita kena peak kayak yang dialami (utamanya) Korea Selatan saat ini. Atau Hong Kong.
Saya bertahun-tahun, kalau tidak “nguli” di LN, memang terbiasa mengupayakan nama saya paling “atas”. Dulu di Yogya, karena kebetulan “anak karang taruna”, saya terbiasa menjadikan Ibu, Adik saya nama-nama awal pembayar Zakat Fitrah. Padahal saya “pendatang” (*saya Semarang, bukan Yogya). saya lebih suka sejak hari pertama bayar Zakat Fitrah, ga nunggu mepet2 mau takbiran lebaran bayarnya. Teknis kepanitiaan Ramadan pun, saya yakini juga berlaku dimana-mana, lebih tenang kalau warga bayar lebih awal, sehingga lebih mudah auditing (cie gitu) dan memastikan terbagi benar2 semua uang atau beras sebelum salat ied.
Nyaris tiap tahun, saat saya sudah kerja di Jakarta dan tidak sedang nguli di LN, sebisa mungkin di hari pertama puasa (yang versi Muhammadiyah), saya merasa berutang budi betul atas seseorang yang, dengan entah semengebut apa, membawa mobil kira-kira 44 km. (Mengebut) Cuma agar memudahkan saya memisahkan rombongan, agar saya melakukan presentasi paper level doktoral (*padahal saya belum resmi lulus S1, tapi dipanggil Paper saya karena layak). Termasuk tahun ini, (saya) membayar hutang lagi. Mungkin (alasan) sesederhana itu saya nekat, ditengah saya comorbid macem2, dan jumlah wafat covid nasional di Indonesia masih diatas 100an/hari (rata2 pekanan, sampai 2 pekan lalu), saya nekad ke Al Azhar.
Saya cukup sering menulis paper dan keluar biatya sendiri sebelum studi ekskursi. But, for first time debut “face to face” (Paper Competition) on Doctoral level, I get help from Ndari. Will forever be indebted (to Ndari).
Alasan menyayangi bertahun-tahun satu orang.
Itu namaya Wulan kamu tulis sendiri Prad? Buat apa?