Belanda luar biasa keji pada Indonesia, tak berbeda Rusia pada Ukraina
Kalau saya (bisa) cuti pulang ke Yogya di antara 15-20 agustus tiap tahunnya, dulu sekali sebelum Covid, saya berusaha betul tidak menonton TV upacara di jakarta. Tapi ke Istana Gedung Agung Yogya. Motor diparkir entah dimana pokoknya di sekitaran Malioboro. Mungkin lebih tepatnya mendekati ke menara sirene lawas di dekat Pasar Beringharjo.
Kalau Jakarta memakai formasi Sukhoi dan atau dentuman meriam, Yogya memakai sirene tersebut. Saya hampir selalu menangis tiap kali mendengar sirene itu (SIRINE GAOK namanya), karena saya benar-benar berusaha di Pasar Beringharjo tiap 17 Agustus. Entah saya bagian dari Paskibra untuk IKIP (SMA saya bekerjasama dengan IKIP–saya sih gagal untuk menjadi paskib provinsi—cuma 174 cm, mentok di IKIP), atau warga biasa, saya menangis.
Saya berusaha betul membayangkan benar-benar bahwa sirene tersebut pada 19 Desember 1948. Yogya runtuh, luluh lantak. Sirene meraung-raung mengingatkan warga bahwa penjajah menyerbu dengan ganasnya. Serbuan Belanda dari udara. Tapi ternyata Indonesia tidak hancur semuanya. Ibukota Indonesia (saat itu) Yogya masih tegak berdiri. 1 Tahun setelah 1948, 19 Desember 1949, benar-benar dibangun simbol yang amat Yogya: UGM
8 Hari setelahnya, foto monumental pengakuan Ratu Juliana atas kemerdekaan Indonesia, dimana di sebelahnya adalah Bung Hatta, juga diperdengarkan lagu Indonesia Raya, 27 Desember 1949.
(Merah Putih dikibarkan lagi atas/pasca historis momen di Den Haag)
(17 Agustus 1945 ke 14 Juni 2023, sekitar / hampir 935 purnama)
Rasa nasionalisme terbujur kaku sampai sumsum bukan semata simbolik yang melekat pada saya atau bahkan adik saya. Saya, jelas-jelas berkuliah di kampus yang didirikan 19 desember 1949, setahun serbuan tersebut, dan 8 hari sebelum Belanda, termasuk ratu Belanda, mengakui kemerdekaan—di depan orang Minang pendek, jenius, rendah hati.
(7 hari setelah 27 Desember 1949, setelah Indonesia Raya diperdengarkan di Den Haag, Hatta bersebelahan dengan Ratu Juliana saat itu)
Adik saya bukan hanya sekolah di SMP yang dulunya saat masa peperangan menjadi “tangsi dan barak sembunyi” pejuang kemerdekaan di Yogya (SMP 5). Tapi juga Tarnus. Andai dia ga kacamata, hari ini keluarga saya punya satu Kolonel mungkin, entah dia masuk Akmil Magelang (AD) atau Yogya (AU). Adik saya sejak SMP bukan hanya terlalu pintar Fisika (sehingga masuk tim Olimpiade) tapi juga bisa memainkan senapan angin dan mengerti aerodinamika pesawat militer. Dia malah “terlempar” ke……. NTU.
Rasa nasionalisme itu (yang paling clear) mengalir langsung dari (setengah) darah saya, yaitu (alm) keluarga Papa yang Kraton Solo. Kakaknya Kakek saya selalu bangga dengan “peci” Veteran 45, meski dimakamkan dengan sederhana dan tidak di TMP. saya meyakini beberapa adik dan kakaknya kakek saya lainnya terbunuh karena Belanda. Sejak 50an, yang tersisa hanya Kakaknya Kakek dan Kakek saya sendiri.
Saya kurang yakin Kakek Neneknya Ibu saya di Bukittinggi sejauh apa keterlibatan “ikut OETA” atau ikut kemiliteran” seperti keluarga (alm) Ayah. Tapi di kampung Ibu selalu diucapkan cerita mulut ke mulut bahwa peperangan melawan Belanda (bukan lagi jepang, kembali lawan Belanda) itu sedemikian ganas. “Kampung terbakar”, tapi rumah2 gadang tersisa tetap tegak berdiri angkuh di hadapan penjajah “...kami masih hidup”.
Setelah dijajah NAZI, Belanda menjadi buas melampiaskan kekesalan. Benar, apartheid malah baru selesai 1994 (*karena banyak sekali Belanda di Afsel). Tapi upaya jajah ulang oleh Belanda sedemikian ganas…..”kekerasan ekstrem”.. Istilah yang disebut PM Rutte. Buku terbaru apa yang terjadi 1945-1950 di Indonesia akan jauh lebih keji menelanjangi Belanda–hasil riset gabungan kedua negara.
Saya suka betul mitos yang disebut mulut ke mulut. Bahwa salah satu Gubernur Jenderal VOC terkeji, JP Coen, dibunuh lalu dipenggal. Lalu kepalanya dibawa ke Yogyakarta. dan ditanam di salah satu tangga makam raja-raja Mataram di Imogiri. entah di undakan yang mana. Bahwa selalu diceritakan bahwa ada makam khusus JP Coen di tempat lain, saya lebih suka “bodo amat”. Orang bengis memang patut diinjak-injak. Menurut sepemahaman saya mencoba menelusuri penjajahan, terkeji Belanda secara urutan: Daendels, JP Coen, Van den Bosch, Van Mook, Westerling. Top 5 nya. Mungkin saya merasa puas (meski bukan kraton Yogya, tapi Solo) karena darah Jawa yang mengalir, puas betul cerita JP Coen kepalanya ditanam di Imogiri.
Yang lebih tragis… agak sedikit “cocoklogi sih”, pengumuman resmi PM Belanda bahwa mengakui kebiadapan, kezaliman 1945-1950, hampir di menit yang sama bahwa Jokowi menandatangani UU Ibukota baru (UU Ibu Kota Negara) karena sudah selesai disetujui di level DPR. Bahwa Belanda punya Amsterdam dan The Hague, maka Indonesia benar-benar punya Jakarta dan (kelak) Nusantara.
Kekejaman ekstrem itu yang akan terjadi, sebetulnya setidaknya satu kasus terlanjur terjadi. Diantara Ukraina dan Rusia. Bayangkan suatu TK (di region bernama Donbas) ditembaki. Masalahnya bukan banyaknya peluru, tapi “terlalu beragamnya jenis peluru” yang dipakai. Untungnya guru dan murid saat itu tidak di ruangan yang tertembak.
Anak Kecil. Guru.
Sama seperti Belanda 1945-1950. Russia melampiaskan kegagalan penanganan covid, wafat 800an jiwa/hari, ga tau kenapa vaksin Sputnik “kurang tokcer” kayaknya, dengan menyerbu Ukraina.
Yang ……
Yang paling bikin menghela nafas atas pengakuan “kekerasan ekstrem” Belanda ini.
Saya mungkin hidup jauh lebih enak andaikata kakek lainnya(dari keluarga kraton Solo) tidak wafat dibunuh Belanda. Bahkan disaat saya sebetulnya “setengah Jawa”, tidak utuh Jawa.
Karena saya membayangkan, mungkin, kakek yang lain, dari orang yang saya cintai, juga dibunuh dalam proses “kekerasan ekstrem” Belanda 1945-1950.
Nama ayah kami berdua, saya dan orang yang saya cintai sejak lama pun adalah pengucapan Jawa atas suatu nama tipikal Jawa. Dan nama belakang saya dan dia adalah pengucapan lebih modern/lebih Indonesia-nya. Saya pernah khawatir bahwa kami saudaraan, yang terlempar terlalu jauh karena tragedi kebrutalan Belanda. Tapi entahlah. Saya menyayangi dan mencintai perempuan *100%* Jawa itu.