Salah satu orang yang (istilah jaksel sekarang) “si paling”, yang (salah satu) paling aktif melakukan riset tentang G30S PKI, juga mengklaim dirinya bagian dari korban, dan kebetulan (dirinya) Chinese Overseas, menghardik bahwa “tempat dia bekerja tidak sepatutnya” dicap Kiri atau Left.
Saya juga bagian korban 65, Keluarga (alm) ayah saya melindungi diri berpindah-pindah, antara Solo dan Jakarta, dan saya ga mau merasa “si paling korban”. Jutaan warga NKRI juga langsung atau tidak langsung adalah korban 65.
Saya akan menulis “cukup muter2”, dan tidak akan berusaha memuaskan siapapun. Bahkan saat pertama kali (bukan twit yang viral), saya posting (Jumat) jam 2 siang ke ecommurz, saya sudah bilang/tulis “pemetaan ini tidak akan memuaskan siapapun”. Twit yang lebih viral saya bikin tweet (Jumat) jam 7an malam ke ecommurz.
Kelemahan terbesar warga NKRI adalah tidak mau teliti membaca. Ini tantangan super rumit (mengapa, ujungnya) negara kita PISA nya hancur remuk banget. Bahkan disaat makin tingginya pemakaian english dimana-mana (*hingga muncul sinonim “Jakselian”), PISA kita tetap super rendah. Tapi hal kedua, merujuk paragraf pertama yang saya tulis: ada stigma super kuat bahwa orang Indonesia, setelah 57 tahun kejadian berlalu pun, masih “KETAKUTAN” dengan (sebutan) “KIRI”. Atau dicap “menyukai hal-hal KIRI”. Denial jika dianggap menyukai “KIRI”, dan selalu mendebat bahwa yang dijalaninya bukan (sikap) KIRI.
Saya menyukai/nge-fans penulis berita Natasha Bertrand (CNN — Lean Left). Dia awalnya sebatas opinionator yang rutin di NBC (Lean Left). Lalu dia beranjak menjadi wartawan di POLITICO (Lean Left). Saya pikir dia akan (bersedia) amat lama di POLITICO karena beneran hasil karya tulisan dia bagus banget di POLITICO. Ternyata dia pindah ke CNN.
Saya yakin dia pindah bukan karena kesulitan keuangan. POLITICO sudah dibeli raksasa media global (berkantor Jerman) bernama Axel Springer. Lucunya, Axel Springer dari dulu dianggap “monoton” —atau kita sebut normalnya dengan “CENTER”. Tapi ya karena MONOTON, netral, “CENTER”, dia dibeli laris sama warga Jerman. Publik Jerman dikenal (dan diolok-olok) paling kaku sedunia dan justru itulah warganya malah tidak terlalu suka hal-hal bombastis, dan itulah kenapa Axel Springer laris dan meraksasa.
POLITICO sendiri didirikan oleh seorang yang setelah “ngejual” POLITICO lalu bikin baru bernama AXIOS (Center), namanya James “Jim” VandeHei, mantan korespondedn Washington Post untuk desk Gedung Putih. Jim VandeHei ini memang bakat bisnis. Sukses (kembali) membesarkan AXIOS, AXIOS dijual sebagian sahamnya per 8 Agusus 2022. Baik POLITICO dan AXIOS memang bagus banget cara investigasi dan penulisan beritanya. Saya yakin Najwa Shihab (kini membesarkan NARASI) bakalan atau sudah sejak lama terinspirasi Jim VandeHei.
AXIOS mungkin satu-satunya media CENTER yang terakhir kali dimana Trump bersedia diwawancarai di tahun terakhir dia berkuasa. Kalau anda ingat meme seorang wartawan yang saat lihat daftar pertanyaan dia sendiri di depan Trump, lalu Trump bilang hal aneh, dan wajahnya si wartawan bingung “Trump ngejawab apaan ya maksudnya”, nah, itu AXIOS. Namanya Jonathan Swan. Terbaru, AXIOS “mengambil” bintang POLITICO yang ditaksir banyak media terbaru media baru SEMAFOR dan menolak perpanjangan kontrak dari POLITICO: Alex Thompson.
Belakangan, kira-kira bahkan sebelum COVID (Oktober 2019 sekitar itu) gerakan “Guild”, perserikatan diantara berbagai media internasional bermunculan dan bukan semata media Amrik. Ketakutan bahwa media tersebut remuk pendpatan karena kegagalan “menghadapi digitalisasi” misalnya. Bagi negara super aneh yang masih suka hal-hal tidak terlalu techie seperti Jerman (olok2 kuda pergi titik A ke titik B lebih cepat dibanding broadband internet) dan Jepang (Jepang masih ada perfektur yang pakai FLOPPY DISK), koran masih sangat laris. Tebak, saingan Axel Springer adalah ASAHI SHIMBUN (Center). Jadi secara duit-duitan, Axel Springer dan Asahi Shimbun sampai sekarang masih amat tenang. Buktinya Axel Springer sanggup membeli POLITICO.
Meski kehilangan Natasha Bertrand, POLITICO mendapat bintang baru. Jika anda benar-benar mengikuti Rusia-Ukraina, ada satu wartawan, yang apapun berita yang dia twitkan (tanpa link, benar-benar situasi terkini di tengah perang), selalu rutin dapat 10-15k retweets, namanya Christopher Miller, ex wartawan kawakan / senior BuzzFeed (Left). BuzzFeed, sangat mirip di Indonesia dengan….DETIK.
Setelah beberapa bulan meliput di Ukraina, Miller kini di POLITICO (Lean Left). Bukan berarti BuzzFeed biasa-biasa aja. Banyak banget wartawan bagus-bagus yang dihasilkan BuzzFeed dan kini di tempat lain. Yang saya hapal betul namanya Sara Yasin, muslim dan Palestina, kini Managing Editor Los Angeles Times. Tapi per jam 10 malam di Kyiv (3 Oktober 2022), dia menyatakan bergabung ke Financial Times. FT gaikut dibikin bandulnya, dan IMHO, bagi saya FT lean left.
Balik lagi ke Natasha. Artinya kepindahan dirinya dari POLITICO ke CNN bukan karena POLITICO mau bangkrut misalnya. Banyak sekali sebetulnya yang signifikan terjadi: Washington Post (Lean Left) kebanjiran wartawan baru. Editor WaPo sebelum saat ini (Sally Streff Buzbee), adalah bernama Marty Baron.
Marty Baron sebelumnya adalah Editor Boston Globe. Kalau anda sering mengulang2 nonton “SPOTLIGHT”, anda akan kenal Marty Baron. Spotlight adalah film menceritakan ulang bagaimana investigasi Boston Globe terkait kasus pelecehan seksual 4 dekade antara pendeta terhadap remaja-remaja gereja. Saya kebetulan nonton sampai (beneran) puluhan kali, saya hapal dialog “Boston Globe”. Marty Baron sudah tidak lagi jadi Editor WaPo, kini Editor WaPo bernama Sally Streff Buzbee.
Kenapa orang banjir ke Washington Post (Lean Left), (salah satunya) karena WaPo dibeli Jeff Bezos (Amazon). Secara duit-duitan tentu aman sekali WaPo saat ini—terlepas perdebatan bahwa WaPo minim sekali melakukan investigasi terhadap”Tech Giant” dan atau investigasi spesifik kepada Amazon. Hal (banjir lamaran ke WaPo) kebetulan juga terjadi berbarengan dengan pelemahan pendapatan media-media lokal Amrik. Sehingga banyak talenta lokal (kota-kota kecil) Amrik pindah ke (salah satunya) WaPo agar aman secara pencaharian.
Tapi persaingan WaPo (Lean Left) dengan New York Times (Lean Left) amat-amat sehat sejak puluhan tahun. Bahkan sangat lazim perpindahan jurnalis senior/bagus banget dari WaPo ke NYT atau sebaliknya. Yang paling terkenal dari WaPo ke NYT dalam dekade terakhir adalah David Fahrenthold (gambar diatas, Fahrenholdt masih di WaPo, menang Pulitzer Prize pun) dan Anton Troianovski (Anton Kepala Biro NYT untuk Moscow). Sama halnya CIA dan juga Kedubes Amrik, media-media Amerika selalu menaruh orang paling jago di pos Moscow karena sebegitu sensitifnya persaingan AS-Rusia bahkan pasca Perang Dingin. Sementara dari NYTimes ke WaPo antara lain Ashley Parker dan Taylor Lorenz.
Perpindahan diluar persaingan NYT vs WAPO, perpindahan "superstar" journos lainnya: Meghan Rajagopalan (BuzzFeed, LEFT) ke NYTimes (Lean Left). Selain itu Justin Scheck dari WSJ (CENTER) ke NYTimes (Lean Left).
Saya jauh sebelum ngefans POLITICO, ngefans The Guardian nya Inggris (Lean Left). Sayangnya The Guardian itu bukan dimiliki/under payung konglomerasi yang amat-amat kaya. Jadi sering kali olok-olok, laman The Guardian terlalu besar tertutupi “banner” permintaan sumbangan seikhlasnya netihen dan atau ajakan menyegerakan berlangganan online-berbayar. Anda cek sendiri The Guardian lamannya kayak gimana.
Tapi The Guardian, terlepas segala kesulitan keuangannya, memang dari dulu sangat kritis, nan investigatif. Puncak ngefans saya ke The Guardian terjadi (tentu saja) saat Bourne menghadirkan wartawan The Guardian (meski tentu ini fiksi), Simon Ross, dalam salah satu bagian cerita. BLACKBRIAR, kalau anda ingat istilah ini di film Bourne. Film Bourne menegaskan betul betapa begitu terkenalnya, sensitif-investigatif nya The Guardian sejak lama. Saya masih sangat-sangat ngefans The Guardian meski belakangan lebih suka baca POLITICO.
2 bulan lalu, POLITICO sanggup menyingkirkan segala tema berita super penting apapun, cuma melalui satu investigasi: Roe v Wade. Ini adalah isu sensitif dimana Mahkamah Agung AS, ada yang membocorkan entah siapapun pegawainya, membocorkan ke POLITICO, bahwa Mahkamah Agung AS berniat untuk membatasi dan atau bahkan melarang Aborsi. Saya ga akan terlalu jauh menjelaskan sensitivitas isu Aborsi (*silakan klik link Roe v Wade). Tapi saya ingin menggambarkan: saat lagi krusialnya NBA (*masih tahap reguler, laga-laga terakhir kompetisi reguler), dan masih awal-awal perang Rusia - Ukraina, dalam sejam, saat POLITICO unggah berita tentang Roe v Wade, 70k retweets kurang dari sejam. Karena isu aborsi amat sensitif bagi warga AS.
Salah satu media “sering disebut/dianalogikan rebel”, karena kebetulan memang LEFT (banget), adalah The Intercept. Salah satu yang paling terkenal dari The Intercept namanya Ken Klippenstein. Ken sangat terkenal dengan melakukan postingan “dua gambar” from this to this. B(u)anyak banget dia nyindir sellau begitu—-dan memang dia seperti itu: LEFT banget.
========
Salah satu pertanyaan yang saya yakini tidak mungkin bisa dijawab oleh “si paling marah-marah” adalah: apakah TVOne punya kebijakan “pro privatisasi, liberalisasi” ala media-media Trumpism seperti FOX (Lean Right)? Saya yakin gabisa ada yang menjawab.
Banyak banget yang maki-maki menyalahkan “harusnya TVOne di Right”. Masalahnya orang2 hanya tahu secuil menganalogikan FOX News tanpa benar-benar mengikuti betul. Oembandulan berbagai jenis media di Amerika tidak pernah karena Trump, dari dulu ya kayak begitu pada dasarnya. Meski era Trump perlahan mempertegas partisi keberpihakan tiap-tiap media Amerika.
Following saya sudah mentok 4990-5000 karena memang (sengaja) mengikuti banyak sekali kanal berita, juga mengikuti pembawa berita, dan juga mengikuti para kolumnis. Jadi saya benar-benar bukan semata “membaca” beritanya, tapi paham (1) siapa yang membacakan berita dan bagaimana dia mendeliver. Juga (2) “siapa yang membuat berita tersebut”. Bagaimana dia merespon berbagai isu domestik dan atau luar negeri melalui media sosialnya dan bagaimana kemudian dituangkan dalam tulisan.
Jadi tabel amerika yang disebar (melalui requote) oleh Ecommurz, saya bisa sangat paham mengapa ada keterangan Fox News Online News Only (Lean Right), sementara Fox News Opinion ditaruh di Right. Saya bisa paham betul kenapa WSJ news only ditaruh di CENTER, sementara WSJ Opinion ditaruh di Lean Right. Saya bisa paham betul kenapa media market kayak MSNBC malah ditaruh (ekstrim) di bandul LEFT, bukan lagi semata Lean Left. Saya juga paham betul kenapa Bloomberg ditaruh di Lean Left.
Tapi pendetilan yang kayak-kayak gini, ya ga dianggap sama orang yang marah-marah doang.
AP (Associated Press), Thomson Reuters, USA Today, dan BBC lazim dimaki-maki selalu bermain aman, dan maka itulah memang kenapa mereka selalu disimbolkan CENTER. Maka beberapa wartawan dari 4 media tersebut, jika merasa secara ideologinya mulai tidak nyaman untuk “terus-terusan di CENTER”, pasti pindah ke media lain.
Yang terkenal betul kerumitan “netralitas” meski jadi rancu, adalah kasus Emily Wilder vs AP. Demi (pengorbanan) Wilder, saya lebaranan 2021 ngetik Palestina, utamanya terkait pembunuhan/kebrutalan serangan Israel ke Gaza (2021) dan pengusiran berbagai titik-titik mukim warga Palestina di sekitar Jerusalem, Hebron, Jenin, Silwan (Siloam). Emily Wilder baru beberapa hari kerja di AP. Tapi dia ga tenang saat AP memberitakan terlalu flat, meminimalkan kebrutalan Israel di 2021. Bahkan meminimalkan fakta, AP literal meng-eufemisme berita saat kantor AP itu sendiri di Palestina benar-benar hancur karena bom pesawat tempur Israel saat Israel menggempur Gaza (2021). Wider cuma bekerja belasan hari di AP sebelum diberhentikan AP. Banyak banget media-media raksasa “antri” untuk memperkerjakan Wilder, tapi Wilder memilih di media kecil. Wilder Yahudi tulen, dan amat prop Palestina. Anda bisa lihat sendiri di IG dan Twitter-nya, penuh dukungan untuk Palestina. saat 2021, IG dia dikunci sih, sekarang sudah nggak dikunci. Wilder lagi-lagi “murka” ke AP saat wartawan Shireen Abu Akleh ditembak mati militer Israel, dan saat hari dimana Shireen dibunuh, AP memberitakan terlalu “flat”.
Salah satu favorit saya lainnya diluar Wilder adalah orang (ex) BBC adalah wartawan Skotlandia - Indonesia bernama Julia Macfarlane, yang karena dia sangat kritis pada beragam isu, akhirnya pindah dari BBC (Center) ke ABC (Lean Left). Yang lain dan fenomenal dari CENTER, adalah Rukmini Callimachi, dia dari AP(Center) kini di NYTimes (Lean Left).
Problem (spesifik) di Amerika, mungkin, karena sistem politik disana sudah jelas dua kutub doang. dan memang secara sengaja, utamanya media pro Republik/GOP, jauh lebih vulgar menunjukkan favor to siapapun GOP (bukan cuma Trump). Trump hanya menjadikan segalanya lebih teradikalisasi. Sementara media-media yang berlawanan dengan “media GOP”, tidak pernah benar-benar vulgar mendukung siapapun Demokrat. Entah itu Bill Clinton, Al Gore, Obama, Hillary, atau kini Biden.
Saya ga yakin pembanding ini akan gampang dipahami dan atau memuaskan. Tapi kira-kira ini contoh super sederhana. karena kebetulan saya benar-benar mengikuti dan bahkan bikin live blog Rusia - Ukraina:
LEFT: berapapun biayanya, harus memastikan Ukraina menang lawan Rusia. Kita tanggung
LEAN LEFT: lebih bijak untuk anggaran ditengah kesulitan ekonomi/resesi, tapi semoga Rusia kalah
CENTER: flat memberitakan, apalagi ditengah resesi saat ini
LEAN RIGHT: Harusnya Ukraina ngalah dan mau kompromi daripada perang kelamaan, ga semuanya negara-negara Barat bisa biayai perang kalian. Apa perlu Trump gue panas-panasin (via pemebritaan) agar jadi juru runding Rusia-Ukraina?
RIGHT: (Sudah gue bilangin dari dulu kalau) Trump benar, dia dari awal berteman sama Putin, menego apapun supaya Putin ga “geber tentara”. Makan tuh perang setelah Trump kalah Pilpres.
Benar, bandul politik Indonesia berbeda total dibanding Amrik. tapi situasi pemahaman Left dan Right ya tetep sama. Maka, mencegah PISA yang super rendah, baca baik-baik dulu tabel yang Amerika tentang pemetaan media. Saya sudah pernah baca itu bukan sejak hari Jumat kemarin, tapi sejak itu beredar di twitter tahunan lalu. Dan dari awal saya bikin tabel, memang tidak akan bisa dan tidak sedang memuaskan siapapun.
Tapi jelas memang netihen Indonesia sendiri (perilakunya) yang membenarkan memang Indonesia pantas PISA nya hancur.