Komisaris BUMN (Commisioners of Indonesia's Sovereign Owned Enterprises)
(*detik tidak memberi disclaimer dan Anggito mungkin sengaja hanya menulis sebagai DOSEN UGM dalam opininya. Untuk menjadi catatan, Anggito pernah menjadi komisaris Bank Lippo pada 2001-2003, serta pada 2004-2008 sebagai Komisaris Telkom. Tulisan ini menggabungkan opini Anggito dan petikan wawancara eksklusif Sri Mulyani dengan Andy F. Noya)
(Part Op-Ed Anggito)
Masalah penganiayaan oleh salah seorang anak pejabat eselon dua di Direktorat Jenderal Pajak telah merembet kepada pertanyaan mengenai rangkap jabatan dan kepantasan penghasilan dari para pejabat Kementerian Keuangan. Ketidakpantasan penghasilan dari para pejabat tersebut dianggap sebagai salah satu penyebab gaya hidup berlebihan dari pejabat dan keluarganya.
Secara ketentuan, pejabat aparat sipil negara (ASN) dilarang merangkap sebagai pengelola atau pemilik bisnis swasta, namun tidak dilarang menjadi pengawas atau komisaris di BUMN atau perusahaan milik negara lainnya.
(MENGKOREKSI ANGGITO: UU melarang Menteri dan Wakil Menteri menjabat Komisaris)
Meskipun demikian, rangkap jabatan pejabat sebagai komisaris di BUMN dapat menimbulkan potensi benturan kepentingan. Belum lagi menjadi pertanyaan efektivitas menempatkan pejabat Kemenkeu yang supersibuk untuk terlibat dalam pengawasan BUMN yang juga menghadapi seribu satu masalah.
Tidak untuk maksud membela diri Kemenkeu, tetapi masalah penghasilan atau renumerasi pegawai adalah bagian dari reformasi birokrasi di kementerian tersebut yang dicanangkan sejak 2003.
Dua puluh tahun yang lalu Menteri Keuangan Boediono (kemudian menjadi Wapres pada 2009-2014) memulai reformasi birokrasi generasi pertama dengan fokus pada pembentukan organisasi kantor pajak besar dan menengah untuk memastikan 40% pendapat perpajakan ada dalam kendali kantor pusat. Menteri Boediono juga melakukan reformasi untuk membagi tugas penganggaran dan perbendaharaan. Di samping itu mendirikan eselon satu unit kebijakan yang kemudian menjadi embrio Badan Kebijakan Fiskal yang oleh Menteri Keuangan selanjutnya, yakni Sri Mulyani sebagai urat syaraf dari Kementerian Keuangan.
Reformasi birokrasi generasi kedua lahir pada 2008 yang langsung dipimpin oleh Sri Mulyani. Reformasi organisasi Perpajakan dan Kepabeanan dilanjutkan hingga kantor-kantor kecil. Seluruh proses reformasi birokrasi dilanjutkan hingga bagian yang pelik, yakni penyusunan kinerja utama, peringkat jabatan, dan renumerasi untuk 60 ribu karyawan waktu itu. Sungguh suatu pekerjaan yang luar biasa besar dan melelahkan.
Waktu pelaksanaan penyesuaian renumerasi dan tunjangan kinerja sebetulnya telah dibicarakan kebijakan internal untuk tidak rangkap jabatan di BUMN atau sejenisnya. Namun ada pertanyaan mendasar, jika tidak diawasi oleh pejabat kemenkeu, yang notabene adalah wakil pemilik aset BUMN, siapa yang melakukannya? Ini diskusi yang tidak tuntas pada waktu itu.
Sebagian (kecil) pejabat Kemenkeu waktu itu, seperti Kepala BKF, Dirjen Pajak, Dirjen Bea Cukai, dan Kepala Bapepam memilih mundur dari jabatan komisaris BUMN (*INI Tidak ditulis oleh Anggito dan tidak dijelaskan Anggito secara jujur, kalau dirinya pernah menjadi Komisaris Telkom pada 2004-2008, atau di era, yang Anggito sebut, “Reformasi Birokrasi Generasi Kedua”). Namun sebagian besar tetap merangkap jabatan. Ada alternatif untuk rangkap jabatan dan tidak rangkap gaji tidak sederhana pengadministrasiannya.
BUMN sendiri senang untuk diawasi oleh pejabat Kemenkeu sebagai komisaris untuk dapat memperoleh solusi langsung dan cepat terhadap permasalahan yang terkait dengan kebijakan pengelolaan keuangan negara. (MERUJUK UCAPAN Sri Mulyani pada Andy F. Noya, Sri Mulyani mengucap dengan istilah ULTIMATE SHAREHOLDER)
Reformasi birokrasi generasi ketiga muncul pada 2019-an ketika pelaksanaan reformasi birokrasi hingga tingkat pejabat pelaksana, dan pemisahahan antara pejabat struktural dan fungsional. Pejabat Kemenkeu hingga tingkat pelaksana sudah terbiasa menyusun kinerja indikator utama dan memberikan penilai terhadap pencapaiannya. Itu yang menjadi dasar pemberian tunjangan kinerja yang transparan dan adil.
Sayangnya kebijakan reformasi yang tuntas seperti di Kemenkeu tidak diikuti oleh kementerian lainnya. Entah kenapa, apakah karena keterbatasan anggaran, prioritas, atau faktor teknis lainnya. Seingat saya, hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kementerian PAN RB, Kejaksaan, Mahkamah Agung, dan Kepolisian yang telah melakukan reformasi organisasi, hingga peringkat jabatan dan tunjangan kinerja.
Sebagaimana padanan di negara lain, Kemenkeu memang sering menjadi leader dalam reformasi birokrasi dan memberikan formula tunjangan kinerja. Tupoksi Kemenkeu di banyak negara juga paling besar dan berat, tidak hanya menjaga stabilitas makroekonomi, mengumpulkan pendapatan dan mengeluarkan alokasi anggaran, serta memastikan fungsi intermediasi sektor keuangan.
Kementerian Keuangan juga bertanggung jawab sebagai bendahara negara, mengelola aset, utang dan piutang negara, serta seringkali memerankan tugas tambahan dari kementerian lain. Apabila target tidak tercapai dan masalah keuangan negara tidak terurus baik, hampir dipastikan perekonomian berantakan, dan muncullah masalah sosial-politik yang pelik.
(kedua orang diatas adalah dosen FH UGM, dinyata penjelasan mereka adalah berbasis keilmuan mereka)
Atas tanggung jawab yang besar tersebut, Kemenkeu sering keberatan dan tidak terjangkaunya rentang kendali organisasi. Kemenkeu kita juga mendapat tugas tambangan pengawasan pada BUMN yang lahir di Kemenkeu seperti PT Bank Exim, PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), PT Sarana Multi Finansial (SMF), PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII), dan PT Geo Dipa Energi.
Ada baiknya BUMN-BUMN tersebut dikelola dan diawasi oleh Kementerian BUMN sesuai dengan mandatnya menjadi wakil kuasa pemegang pemerintah di BUMN. Pengalihan kewenangan tersebut akan mengurangi beban dan tanggung jawab Kemenkeu. Di samping itu, perlu ditinjau ulang mengenai organisasi dikaitkan dengan beban kerja dan rentang kendali di Kemenkeu ke depan.
Banyak best practice di negara lain di mana Kemenkeu fokus pada urusan kebijakan, perbendaharaan, pengelolaan utang dan aset/piutang negara. Sementara unit administrasi dan pemungutan perpajakan dan bea cukai dipisahkan dalam badan terpisah. Penganggaran dan alokasi anggaran juga tidak jarang dipisahkan dari Kemenkeu. Kemenkeu tetap akan mempunyai kendali sebagai regulator administrasi pemungutan dan kebijakan pengelolaan keuangan negara.
Dalam masalah rangkap jabatan sebagai Komisaris BUMN, saya cenderung tidak mempermasalahkan karena terkait dengan tanggung jawab Kemenkeu sebagai pengelola dan pengendali aset dan keuangan negara. Yang perlu dipikirkan adalah mengenai besaran renumerasi pejabat Kemenkeu yang rangkap jabatan. Gaji pokok dan tunjangan sebagai ASN dan sebagai Komisaris BUMN perlu dikonsolidasikan dalam renumerasi pejabat.
Benefit, bonus, dan tantiem atas laba BUMN sebaiknya tidak diterima oleh komisaris dari unsur pejabat Kemenkeu. Pada prinsipnya rangkap jabatan tersebut adalah penugasan dari Menteri Keuangan sebagai pengelolaan aset negara kepada pejabat Kemenkeu. Dan, supaya dipastikan penugasan tersebut pada posisi yang tepat dan tidak menimbulkan benturan kepentingan.
Mudah-mudahan pelaksanaan reformasi birokrasi di Kemenkeu bisa dituntaskan dengan peringkat jabatan dan reformasi renumerasi pejabat Kementerian Keuangan dan kementerian lain yang melaksanakan tugas sebagai wakil pemerintah di BUMN atau perusahaan sejenis. Reformasi ini bisa dituntaskan dan dalam dilaksanakan secara menyeluruh pada 2024 untuk pemerintah baru. Reformasi birokrasi bukan pekerjaan satu malam, jadi memang harus sabar dan konsisten.
Ke depan, dengan rentang kendali Kementerian Keuangan yang terjangkau, mudah-mudahan kebijakan pengelolaan keuangan negara tetap bisa efektif, pengawasan BUMN juga dilaksanakan dengan optimal dan perilaku-perilaku pejabat yang berlebihan dan tidak pantas bisa termonitor.