Kebiasaan jelek—tapi mungkin bukan jelek cuma terbawa kultur, adalah terlalu seringnya saya makan di bawah. Dalam hal ini selonjoran lantai. Rumah di Semarang, Yogya, Banten, atau Solo, ada meja besar. Saya jelas harus ke meja makan di Solo kalau mau ambil biskuit jika saya “ngabur, ngambek” dengan Ibu saya—pergi nyelonong aja dari kampus ke Solo. (alm) Kakek Nenek dari keluarga Solo selalu mencontohkan makan di meja makan, tapi sebagai cucu saya lebih suka makan selonjor di lantai dekat kolam. Saya punya (kalau ini disebut aib) tidak terbiasa menaruh piring di meja. harus dipegang tangan atau sekalian taruh di lantai.
Saya ga yakin bahwa (terbiasa selonjor–makan di bawah, lantai dilapis karpet atau benar-benar lantai) karena kebiasaan orang Minang (darah Ibu saya)—-yang menyajikan makanan beramai-ramai di rumah Gadang. Sangat mungkin, justru proporsi tubuh saya. Saya memang ga tinggi sampai 185 kayak model2 cowok. Saya 175 sekian. Tapi tubuh saya pendek, dibandingkan panjangnya tungkai kaki saya. Saya memang suka menaruh piring di antara dua kaki kalau selonjor tuk makan. Atau memang punggung saya—memang bermasalah mulai SMP, lebih nyaman dengan selonjor dibanding duduk (resmi, rapih) di kursi.
Kami cuma bertiga: saya, ibu, dan adik. Saya masih amat yakin bahwa adik saya lebih duluan menikah. Jadi jika skenarionya demikian, suatu waktu akan ada (warga) keempat yaitu Mrs W. entah siapapun itu. Sebagai manager, adik saya lebih gampang dapet apa-apa dibanding saya.
Tapi, khusus kebiasaan saya, saya benar-benar khawatir inilah yang membuat saya selalu trauma dengan hubungan yang —tentu saya ga sengaja— dengan orang yang beneran amat kaya. Kekhawatiran yang (meski ga secara vulgar saya jelaskan) saya curcolkan dengan teman saya, supermodel (ciegitu….) yang punya stok gif melimpah.
Jadi…..
Bertahun, sebelum perasaan yang begitu kuat kembali muncul tentang “Mba Amcor”, saya seolah sengaja dipamerkan suatu hal—berulang periodik—oleh suatu keluarga. Keluarganya baik koq ke saya. Klien sekaligus tetangga, dan amat-amat kaya. Terpandang dalam skala Bandung, kira-kira aset ratusan miliar (meski bukan yang heboh di twitter). Beda lah. Suka sekali meminta tolong—ya namanya klien.
Jadi terlalu sering, hampir setahun, mereka (keluarga ini) foto berlima. Foto ayah-ibu, anak sulungnya dan tunangannya-(then kemudian)jadi suaminya, serta bungsunya. Si Ibu, klien saya, tahu betul, saya (sempat) memiliki perasaan pada anaknya. Dan entahlah—dalam berbagai foto IG atau WA story, menyengaja foto berlima.
Si Ibu sebetulnya tahu anak (bungsunya) sudah memilih nama lain. Belakangan saya menyadari bahwa “Si Ibu” menyesal tidak cukup aktif bertanya pada saya agar langsung menjalin dengan si bungsu. Entahlah.
Saya merasa akhirnya “kursi keenam” memang tidak mungkin untuk saya—bahkan meski pernah berharap. Bahkan jika suatu hari (mungkin setelah Omicron) penyesalan “si Ibu” dimaksud diatas lebih kuat, dan berharap bahwa saya berpikir ulang.
Hanya satu keluarga lain, yang tidak perlu saya harus mencari susah-susah mengingat, yang susunannya hanya bertiga—meski skemanya berbeda— hanya punya anak (perempuan) satu-satunya.
Saya orangnya minderan—dan sangat mungkin memang karena kekurangan materi-imateri sejak Ayah saya wafat. Apalagi saya terlalu kecil. Apalagi adik saya yang lebih kecil lagi. Tapi mentalitas minderan kayaknya ga ada di adik saya—sangat terbantu bertahun-tahun stabil di Singapura.
Saya ga kebayang teman saya supermodel ini, sebelum menikah beneran (tapi jangan sampai masuk RS lagiiiii gegara tumbang di studio TV), beneran dapetin perempuan untuk dikenalkan-then-to be Mrs Prada. Saya ga kebayang repotnya saya menyesuaikan standar, karena jelas banget teman saya ini (yang berusaha menolong) jelas lingkar elit TV.
Saya kadang lebih suka ide yang lebih simpel. Meja lusuh beralas spanduk iklan teh botol sosro, di Mas Kobis, bersama perempuan yang menginap di Melia Purosani saat itu. Panas-panasan menikmati Yogya, bahkan sempat jalan kaki cukup jauh, sebelum kami bermotor.
“…aku kepikiran terus bagaimana Covid mempengaruhi kerjaan—-dan bisnis kamu yang amat rentan kebijakan penyesuaian Covid, ndari”
hubungannya apa anjing