Maaf
Under a Moonless Night. A “Hilal”, specific if we already in last day of Sya’ban / Saban, and “knock a door” of Ramadan.
I’d wish to done write this on my birthday. Aug 2nd.
“Pakdemu ngambek kayaknya sama kamu, di. Tapi gapapa, kan saat itu ribet keadaannya”. (dari sudut pandang saya) kejadiannya lebih rumit. Saya sebetulnya sedang mengantarkan set gitar dan hal lain di suatu acara yang kebetulan tempat/ institusi militer. Dan saya tidak cukup rapih tiba (bermotor). Lebih tepatnya ga nyadar kalau suatu gedung wah di Yogya itu milik/aset TNI. dan saya tidak cukup nyaman dilihatin melulu (sama tentara, sampai 4 personel) di parkiran, disaat semua orang rapih pakaian (termasuk pakde sekeluarga). Setelah acara itu, pakde saya pulang ke Jakarta.
Alfatihah Pakde. Wafat 3 pekanan lalu karena covid.
Lalu apa yang saya lakukan dikabari ditelpon gitu (Bude saya ga bilang ke ibu saya)? Saya nyoba lihat hari kuliah. Saya masih bisa skip ini matkul di suatu rentang hari. Saya juga bisa izin dulu dari BEM karena pekan dimaksud sudah selesai saya bantu urus pencairan ratusan beasiswa, dan belum ada kajian apalah di BEM-BEM Fakultas. September 2008. Yang repot sebetulnya...duitnya. Habis kepakai (uang jualan) buku fotokopi tuk perbaiki motor (bukan karena kecelakaan). Saya ngerti jalan ke Bandung pakai motor (agar lebih hemat). Tapi saya ga paham jalan (rute motor) ke Jakarta. Oh ya saya gabisa nyetir mobil. Goblok memang.
Saya ga pernah matok fotokopian menjadi mahal. Awalnya saya bersama Malikha (HI). Lalu “koq jadi banyak banget ya ordernya”, sehingga saya mencari cara fotokopi rekanan 24 jam yang ga “diblok fakultas lain”. Saya yakin anak sosiologi, sosiatri, komunikasi, AN, IP amat-amat-amat-amat-amat iri kalau tau harga kopian buku HI yang saya bantu percepat sirkulasikan bisa amat murah. Kecuali yang dikelola anak HI lain tuk mata kuliah lain.
Kami, saya di era fisipolugm masih punya “dingdong” dan “meja TU dibawah tangga”, kayaknya era klasik paling akhir sebelum fisipolugm dirombak total bangunannya. Saya tentu sering juga lihat pengumuman “harga buku kopian sekian” ditempel di “ala-ala mading” jurusan lain atau fakultas lain. Saya pernah sendiri ngecek buku dimaksud di sosiologi dan dikopikan, dan saya bisa menekan harga sampai 40k (total harganya menurut yang ngebantu fotokopi suatu buku sosiologi: 112k).
Saya tau olok-olok ditengah jurusan lain bahwa kami (HI UGM) anak-anak elit, kaya. “Ya kalau gue kaya, gue ga ngejar UM UGM (saat 2007 kalau tidak salah dilakukan Maret 2007—-saya mendapat venue di ruang lab kuno di Fakultas Biologi—— bertahun kemudian bangunan ini dirubuhkan) dengan tarif termurah lah”. Pokoknya saya yakin bahwa saya ga perlu memahalkan sesuatu kalau bisa dibuat amat-amat-amat murah.
Dan yang paling menyenangkan di HI adalah (karena memang saya sendiri yang ingin) bahwa buku kopian itu kadang diantar sendiri oleh saya. Saya yang ingin latihan mengenal jalan ini jalan itu di Yogya (Sleman sih itungannya).
Balik lagi tentang cara ke Jakarta. Ternyata mendadak ada orderan fotokopian sampai 3 juta. Saya lupa berapa jenis buku (biasanya saya nitip kardus di dekat meja pak edi), dan berapa eksemplar. Aduh, harus urus ini dong selain kuliah. Setelah ludes habis, menurut fotokopian, saya masih bisa mendapat angka “rupiah *********” yang setara 2 tiket kereta dan bahkan masih bisa tuk beli buku.
Tibalah saya di Jakarta. Dan meminta maaf pada Pakde saya. Nginep 1-2 hari (eh koq enak ya di Jakarta--- ga tengah Jakarta sih).
Iya. saya lebih nyaman minta maaf datang langsung. Dari dulu banget sampai sekarang. Bukan via call atau WA atau SMS.
------------------------------
Saya suka ngajar gratis. Saya suka melampiaskan keresahan saya kerjaan retainer fee yang (pernah diitung) 700 dolar/jam ke klien (bukan gaji ya, soalnya itu lari semua tuk kantor...hedehhhh) dengan hal-hal gratis. Biar saya ga dimakan kebutaan keserakahan. Di era belum ada namanya “tanggal 17 tiap bulan PT POS gratiskan biaya kirim paket karungan buku”, saya bayar sendiri shipment buku apalah-apalah sampai “************** rupiah*.
Seorang yang mungkin saya lukai, menjadi guru di Tanimbar (cieeee...Prada). Jadi, saya lebih nyaman menyelesaikan masalah itu kesana. Saksi hidupnya masih banyak (tidak wafat karena covid, masih bugar), salah satunya kak yulianus kelbulan. Secara teknis saya membantu mengurus sampai 5 bulan, dan saya di sana (Tanimbar) sampai 10 hari.
“Saya sudah menghilangkan apapun perasaan yang kamu keliru pikirkan”, kalau ga salah itu kata saya ke perempuan ini. Dan ya, kita makan papeda. Ada foto bersejarah kami tertawa sambil sama-sama menopang dagu di suatu resto di Tanimbar. Dia sudah menikah bertahun lampau. Publik (sebagian) HI Indonesia tau betul perempuan ini siapa. Bersebelahan (nama) Prada, selalu dianggap simbol analisis HI saat itu. Saya masih beremail ultah ke dia entah saya lagi dimana (karena tanggal ultahnya amat mudah diingat). Meski saya sudah tidak lagi punya perasaan apapun dan sampai merasa perlu datang langsung minta maaf, “...on a moonless night at Tanimbar, she’s really cute, flawless”. Padahal kalau tidak salah di resto itu ya kami berdua amat lecek, hampir tepar urus birokrasi setempat ini itu.
Tapi….. Saya masih punya keresahan bahkan setelah maaf ini selesai dilakukan. Dan kak yulianus ini tau betul keresahan saya itu. Dari wisma atlet, maret-april tahun lalu (saat saya senggang) saya masih obrol ulang dengan kak yulianus ini tentang keresahan saya yang amat mengganjal. Nama lain. saya, dan sekelompok orang lulusan sociojusticia melakukan pe-simbol-an dengan satu kata: “Denmark”.
--------
Saya cukup kaget. Suatu tender. Berusaha diupayakan bersama-sama tim lain, bukan karena saya menyiapkan sendiri. DAN KALAH. Ya nyesek sih memang, meski kalah menang tender itu biasa saja. Kami begadang, bisa diitung berapa orang ya. 15 mungkin ada. Benar-benar seteliti mungkin. Sampai ada yang nginep kantor, mungkin juga flu parah ( *suatu waktu jauh sebelum covid, sekantor ratusan, bisa ada 70 yang sakit* ) sembari memaksakan begadang. Entah berapa loyang pizza atau mie via gofood dipesan.
Bertahun-tahun lepas dari kantor dan trauma kekalahan tender itu. Kami, minimal saya, masih amat yakin layak menang karena harga yang ditawarkan (set paket tender) cukup proporsional dan tampilan mock-up serta cara kami presentasi (by prezi) sangat out of the box.
Bertahun-tahun, trauma itu muncul cuma karena hal tak terduga: seseorang yang tahu nama panggil saya yang tidak biasa, tetap mengenali saya. Seorang “di layar belakang”, selalu berusaha tidak menonjol di perusahaannya. Tetap ingat proses tender itu meski hanya menyimak. Saya berharap beliau tetap sehat selama pandemi covid ini.
Puasa tahun ini, selepas penugasan, dan jelang Ied Fitri. Saya sebetulnya sedang beberes rumah setelah ratusan hari ditinggal. Beliau meminta bertemu di Kemang karena tidak sengaja mengetahui (lagi) nama saya karena kolega asing. “Wow, saya diketahui oleh nama orang expat mana lagi?”
Saat bertemu, menyenangkan. Bahwa kami (tim saya) berusaha move on dari kegagalan itu, dan berusaha mengejar target revenue kantor secara keseluruhan dengan tender lain. Dan bahwa saya pindah-pindah.
Dia hanya bercerita singkat: tender dialihkan hanya karena sentimen personal. “Seorang yang lebih tinggi (posisi dari saya) meminta bahwa paket kalian dicancel, itu saja, dan karena ada nama kamu”. Lalu menuliskan nama di kertas kecil apalah di meja “tidak perlu kamu cari tau sekarang, tenangkan saja kamu di rumah, baru cari tahu”.
Menahan diri sampai 4 jam sampai benar-benar tiba di rumah. Di rumah pun akhirnya tidur, sahur, dan mengepel apalah-apalah karena toh makin dekat ied fitri. Akhirnya terpaksa saya cari tahu (sudah ganti hari). Saya cukup kaget bahwa nama ini bertaut bukan hanya karena ortu seorang HI UGM, tapi lebih rumit lagi.
Sudah banyak banget orang tahu kalau saya yatim sejak amat lama. Saya tidak pernah, hampir, tuk melibatkan hal-hal kerjaan atau urusan saya diketahui ibu atau adik saya. Seperti cerita diatas (mengunjungi alm pakde), setahu ibu saya bahwa saya nginep di BEM KM. Baru ibu saya tahu karena bude saya menelpon “Adi ke sini”.
Saya, sendirian. Saya tahu kebencian itu merusak setidaknya hewan-hewan berjumlah 35 orang di HI UGM 2007. Saya bisa menghitung hewan-hewan lain sampai 10 anak HI UGM 2008. Saya bahkan bisa mengetahui setidaknya 5 hewan-hewan HI UGM 2009. Saya juga tahu bahwa setidaknya 15 hewan-hewan HI non UGM juga berusaha mengincar nama saya. Saya tidak menyangka sampai ortu pun dilibatkan hanya untuk menjahati atau mengakali saya.
Saya tidak merasa bahwa kekalahan itu terlalu “loss” rupah saat toh akhirnya kami dan atau kantor saya dapat tender lain. Revenue akhir kantor saat akhir tahun juga lumayan ditengah persaingan ganas. Saya bahkan bukan merasa sedih “gila ya gue sendirian dan mereka memakai semua sumber daya sampai ortu dilibatin untuk ngalahin gue”.
Saya lebih sedih bahwa “...gue kurang apa ya pas di kampus, kurang baikkah, gue pemabuk atau narkobaan kah?” sehingga dijahati dikeroyok kayak gini.
----------------
Saya masih menyesal betul ga meminjam Euro cuma tuk nyebrang ke Nyhavn. Kata teman dekat saya, saya “golongan orang yang sebetulnya butuh duit, tapi sungkan bilang karena selama ini nolongin dan selalu ga enakan minta tolong sekali aja padahal yang mau dimintain tolong bisa amat open”.
Aku (mau) minta maaf ke kamu saat itu, Ndari. I’ve regretted it every day since (failed to Nyhavn).
(berbuka puasa syaban terakhir kalinya lah dengan Falafel khas Nafi…eh maksudnya khas Iran. Ga nunggu Hilal or Isbat, udah yakin 2 April 2022 aja.)
============
Saya tidak berharap hewan-hewan ini meminta maaf seperti skala atau level saya meminta maaf (seperti dalam) cerita diatas. Saya bahkan ga yakin mereka minta maaf sampai membusuk mati. Bahkan hewan-hewan ini berhadapan dengan maut pun, hewan-hewan ini ga akan mau minta maaf. Sampai terlalu sering gangguan di berbagai akun media sosial saya dari puluhan hewan-hewan ini. dengan segala gangguan dan fitnahan yang udah mulai saya bilang “bodo amat”. dulu dijahatin sama ortu kalian, saya juga gaapap, baru tahu malahan.
Saya lebih yakin, lebih merasa hidup dari sekedar hidup. Sendirian, melawan gerombolan hewan dan ortunya. Cuma demi menjungkalkan Prada. Saya ga yakin ada skenario lebih liar lagi memakai ortu-ortu mereka ditengah covid untuk menjahati saya, adik saya, ibu saya. Mungkin, mungkin banget adik saya juga dijahati salah satu dari hewan ataupun ortu hewan-hewan ini, tapi adik saya ga pernah cerita. Adik saya amat-amat solitaire, bahkan ditengah ibu dan keluarga sendiri. Saya sedikit khawatir malahan dengan skenario ini.
Never swallow slanderous lies for the devils satisfaction.
Andai benar-benar saya bisa meminta maaf (dan mengunjungi sampai) ke Nyhavn mengunjungi Ndari, saya lebih merasa lapang mendengar lagu kayak ginian di radio. (…”sampai ke ujung dunia” )
I love you, Ndari. Bahkan saat kamu (memakai) ratusan orang menjahati aku nyaris satu dekade, aku masih mencintai kamu.