(mba-mba) Amcor dan Erasmus
not something I would do, mas. educated girls are worth none of my time, too much hassle. orang kan kadang dipersatukan oleh keluhan/permasalahan yang sama. Aku anak eksak yang semata sering mampir aja ke AmCor dan bangunan-bangunan di blok sosial humaniora. jadi gak pernah kepikiran lah kalau saya bakal sama anak humaniora, tidak mehadapi masalah paper kuliah yang sama. (seorang warga di Auckland-S3 Geologi, lagi berikhtiar KPR/mortgage—-meski super mahal, disana)
—------------
Yang menyedihkan tentang AmCor UGM, bagi saya, bukan karena di rezim Obama masih Presiden, dan jelas-jelas ibunya punya kontribusi signifikan untuk Yogya, BRI, dan UGM—koq malah Amcor UGM dibubarkan.
Yang lebih menyedihkan bahwa —- sepele sih, koq ya Amcor di medsosnya memposting temannya Mba Amcor di tindakan posting terakhirnya—yang kebetulan saya blokir.
Cerita ini berkelindan terlalu banyak. Tapi minimal terpacu karena dua hal: obrolan dengan (orang di) Auckland dan (orang di) Amsterdam. Satu lagi, karena 20 Januari 2022 adalah 35 tahun program Erasmus. Erasmus, hal yang begitu bangga diikuti (oleh “mba-mba itu”). Dan bahwa — setelah ketikan 3,000 kata dalam +/- 5 jam untuk tesis, saya perlu “mencoba ketikan yang lebih ringan biar uban ga nambah”.
Pertanyaan terbesarnya kembali pada hal sepele: “what if”, atas ucapan sahabat di Auckland. Warga UGM di Blok Eksakta yang — mungkin — jika atau what if — suatu hal dirinya menjalani lebih sering, mencintai orang yang (saya) cintai.
Dia lebih tua dari saya meski angkatan masuknya sama. HARUS lebih tua dibanding saya, karena saya termasuk ((((keterlaluan))) terlalu muda saat masuk—meski ada yang lebih ekstrim lagi muda-nya dibanding saya di HI UGM.
Saya masih ingat betul bahwa di masa saya kuliah, terlalu janggal antara biaya kuliah yang dikeruk habis-habisan oleh rektorat, dengan fasilitas yang (terlalu) seadanya. Misal: saya tahu betul anak-anak PBS di HI UGM mencapai 40 orang, dengan bayaran 80-100 juta (mungkin lebih). Itu belum hitung PBUPD (meski ditanggung Pemda karena anak pejabat pemda–agak ribet sih ini skemanya) ada belasan orang. Tapi yg didapat HI UGM secara fasilitas apa coba? Ya Allah ngenes banget.
Saya, sebagai BEM, tentu juga melihat (karena keliling 18 fakultas) fasilitas apa saja sik di fakultas lain. Anggaplah saya berusaha ga bias “oh HI kan jurusan super tajir, harusnya saya ga pakai standar yang sama melihat HI dengan melihat jurusan lain” saat melihat rill keadaan fakultas lain. Tapi ya tetep aja. Bahwa meski tidak seekstrim “bayar berapa, dapetnya cuma apa” di HI UGM, yang saya temui di fakultas lain ya sebelas-dua belas.
Sampai saya bertemu orang/warga Auckland ini. Dan menegaskan premis ketimpangan itu. Berbelas tahun setelah kami lulus.
Sejatinya bangunan warga/jurusan warga Eksakta, apapun Fakultasnya, lebih modern atau “dipugar lebih bagus” dibanding bangunan FISIPOL UGM per saya kuliah. Bahkan, setelah kini bangunan FISIPOL jadi tinggi ala-ala desain Zen Jepang, bangunan eksakta lebih cihui lagi. Lalu, mengapa seorang warga Geografi, sampai merasa harus rutin ke AmCor (juga kata dia: WB dan Sampoerna) tuk baca-baca literatur? Apakah koleksi buku Perpus Geografi dan atau Perpus Pusat (dulu masih satu bangunan dengan Swaragama bahkan) tidak cukup memadai bagi dia?
Dia bilang AmCor nyaman dan lengkap buku-bukunya, termasuk tuk hal-hal Geografi. Saya, mungkin hanya 70an meter dari Kantin FISIPOL, malah tidak terlalu sering ke AmCor atau World Bank atau Sampoerna. Pernah berulang: iya. Tapi bukan rutin, seperti kebanyakan (utamanya) anak-anak HI (dibanding sesama jurusan FISIPOL lainnya).
Tapi dia bercerita hal lain: dia kagum pada seseorang perempuan. deskripsinya detil, dan saya cuma bisa mengingat satu orang atas deskripsi itu, terlepas AmCor didatangi berbagai jurusan dan fakultas. Saya cukup sekali membagikan, dan dirinya dengan bilang “anjrit” sambil ketawa panjang. Tapi dengan merendah, dia mensimplifikasi “....gak pernah kepikiran lah kalau saya bakal sama anak humaniora....”
Sekali lagi, saya provoke, convince, bahwa “sebetulnya dia belum menikah lho… S3 dan lagi berusaha punya rumah sendiri di Auckland, jelas sangat deserved dengan lulusan S2 Erasmus, minimal lebih proper dibanding dicintai lulusan S1 HI UGM biasa saja”?
Dia tertawa sembari merendah “....too much hassle…..orang kan kadang dipersatukan oleh keluhan/permasalahan yang sama..”. Sampai saya menyadari Mas-Mas Auckland ini menunggu Mba-Mba Doktoral di Tennessee (*dari IG, si perempuan itu di Tennessee).
Saya ga yakin dia menjadi bias “butuh datang ke AmCor demi buku” menjadi “butuh datang ke AmCor cuma demi melihat diam-diam perempuan yang mungkin terbesit dalam hatinya untuk dicintai”.
Bagaimana jika Mas-Mas Geografi ini benar-benar anak HI UGM, bukan Geografi. Lalu menyadari mba-mba Amcor ini ga pernah (keduluan) dipacari orang lain — sehingga harusnya dia lebih aktif, dan lazim (karena sesama HI) berada di AmCor, berada di samping “perempuan yang terbersit dalam benak hatinya”?
Atau misalnya tetep saya aja deh: bagaimana misal mba-mba ini ga pernah keduluan dipacari, dan saya ga sampai jatuh hati pada wanita lain, dan fokus ngejar “mba-mba Amcor” ini. Bagaimana jika dulu saya keterima di……Edelman. Bukan sebaliknya: saya malah membantu lulusan Amrik agar masuk ke Edelman kantor Jakarta.
Bagaimana jika UGM lebih “transparan dan profesional” mengelola duit pemasukan? Sehingga saya mungkin ga menjadi ekstrem saat berorganisasi di BEM untuk mengadvokasi dan kajian di berbagai fakultas. Saya lebih “nyantai” di HI UGM, sembari menyediakan kopian buku HI semurah mungkin–—dan lebih sering ke AmCor. Atau artinya (dengan duit lebih dikelola baik oleh Rektorat) akan lebih banyak lagi fasilitas cihui di (keseluruhan) UGM. Dan bisa jadi mas Geografi ini ga harus ke AmCor karena koleksi Perpus Geografi lebih cihui—sehingga ga perlu sama sekali ke AmCor seumur hidup. Tapi artinya Mas-Mas Geografi tidak akan melihat “Mba-Mba Amcor”. Satu pengandaian akan mengubah momen lainnya tapi menutup peluang lain, tidak bisa dua pengandaian terpenuhi. Hanya jika pengandaian itu terjadi.
Bagaimana jika saya bukan HI UGM tapi HI Unpad misalnya.
Tapi …. What if. selalu hanya jika dan hanya jika. Suatu prasyarat yang mengawang-awang.
Bener-bener penderitaan panjang yang harus sabar-sabar dijalani oleh saya. Entah harus berapa kali konseling. Dan menangis sendirian kalau sesuatu kesialan terus-menerus terjadi. Tapi..lagi-lagi what if.
Saya terlalu ekstrim mengalami hal-hal yang sulit, tapi juga dipertemukan bahwa “memang takdir itu terlalu kuat untuk diabaikan (klik di sini ceritanya)”. Saya pernah punya kado untuk anak kecil, sudah disiapkan/ada barangnya sejak 2018. Dan baru benar-benar kepakai di … 2022. “Takdirnya memang bukan si anak kecil A, Z, T, or siapapun…” di tahun-tahun lampau, tapi memang takdirnya tuk anak kecil lain. Hal sepele “hukuman / teguran Tuhan” bahwa saya terlalu pe-ngeluh atas segala kesulitan saya—bahwa memang berbagai takdir udah ditakdirkan “ya kayak gitu” sama Tuhan. Allah Maha Baik. dengan segala kesulitan ekstrim yang saya alami.
Then….
Tiba-tiba dari Amsterdam ada aja obrolan. Singkatnya, mendorong saya ngetik level tesis, tentu juga full english. Bisa saja sangat zonk tuk berlanjut ketikannya–tergantung apa yang terjadi / diputuskan di Amsterdam. Sampai substack ini ditulis, dan bahkan sampai election di Perancis usai pun, belum ada kelanjutan apapun. “the erasmus” project ini bakal berubah atau gaknya, tergantung apa yang dikehendaki di Amsterdam.
Harusnya saya ga perlu capek-capek mengetik. Begitu banyak “permohonan Amsterdam” ini sebetulnya berujung pada satu orang yang tepat untuk menolong: “Mba-Mba Amcor”. Saya bisa banget tanya kisi-kisi riset dia dulu saat ber-Erasmus-ria. Tapi tuk apa coba?
Saya lebih kepikiran seindah apa (harusnya) meja kerjanya dia gegara suatu hal. Gegara ulah saya mengirim bouquet mini. Cepetan vaksin, Ndari. xoxo. Still lovin’.
nawaitu shouma ghodin
you upset still thinking, even loving me at second, easily, after you say i was nothing
allahuma lakasumtu
alas I was erased gigabytes your pictures, i've been looking too long at these several pictures of you