my cent to mas lakso, not afriani
Sangat mungkin mas lakso sudah lupa momen ini. Demo tentang keistimewaan DIY dan hal2 UMR rendah di Yogya. Ini sudah pernah dilakukan bahkan sejak saya kuliah. Saya baru memasuki setengah tahun di BEM. kira-kira demo ini Maret 2008. Menjelang Sebelas Maret (Serangan Oemoem), hari yang sakral ditengah warga Yogya.
Kami berdemo di “Kepatihan” Provinsi DIY. Lalu secara kasar-paksa, ditahan polisi setempat. Meski sejak awal BEM sudah mendapat-memegang izin untuk berdemo, jam nya pun sudah sesuai aturan kepolisian secara nasional dalam mengizinkan demo. Saya ga tau kenapa demo biasa lalu dipaksa ditahan. Mas Lakso, tahun ketiga hukum UGM, beserta senior-senior BEM lainnya, membebaskan siapapun yang berdemo. Dengan melakukan konsultasi face to face dengan polisi.
Saya baru sadar, besoknya SBY datang ke Yogyakarta. Ternyata “ditertibkan” nya kami (kemarinnya) agar Presiden ga lihat demo dan kemungkinan demo lanjutan (saat dia tiba di Yogya). Terdengar seperti saat ini. LOL. saat pertama kali menginjak DPR, saya mengasistensi terkait poin-poin……. Ya RUUK, RUU Keistimewaan DIY. “mencoba dari dalam”
Mas Lakso tahu betul saya fans Jokowi. Dia tahu koq via IG dan FB. Mas Lakso baik betul pada saya.
Mas Lakso mungkin lebih akan mengingat kejadian di Jakarta. Mei 2008. Ipar saya sampai “mergoki” saya ikut acara “demo kolosal” tersebut, bukan karena tayangan TV, tapi (berpekan kemudian) ipar saya mampir ke foodfest dekat kantor BEM KM UGM, dan lihat foto2 yang ditempel BEM di sepanjang koridor gedung UKM pusat UGM, ada wajah saya. Cukup kolosal Mei 2008 itu.
UGM bersama kampus-kampus Yogya-Jateng membooking kereta. Saya lupa utuh semua gerbong, atau setidaknya beberapa gerbong masih dipakai penumpang publik. Mungkin ada ribuan. Saya sendiri berdesakan 6 orang di area sambungan kereta. Di masa “pra Jonan”, kereta sangat neraka banget.
Mas Lakso, sebagai orang Jakarta, lebih duluan berangkat. Menyiapkan koordinasi dengan teman-teman di Jakarta dan kampus manapun yang ikut serta menuju Jakarta. 20 tahun reformasi. 12 Mei 2008.
Saya gatau apakah publik masih ingat. Setidaknya ada 5 orang kena peluru karet di badan dan kepala. Dan ga keitung berapa banyak yang perih kena gas airmata (bahkan disaat kami pendemo sudah banyak-banyak memakai odol/pasta gigi di kelopak mata). Diantara yang kena/keserempet/ benar-benar tertembak satu arah peluru karet adalah saya. Saya gatau pendemo lain bagaimana jaket almamaternya saat itu. Saya (koq ya malah) pakai tiga jaket: jaket/jas almamater kampus, lalu pakai jaket hijau ala-ala tentara (bahan wol) dan satu lagi jaket biasa polos hitam. Saya ga terlalu luka dalam, mungkin yang kena peluru karet lainnya juga kena. Karena saya (dari) UGM dan bukan kampus Jakarta, dan ga mau persulit siapapun, luka itu dibawa ke Yogya.
Sebetulnya… yang makin menyakitkan bagi (khusus) saya sendiri saat hari kacau berdemo adalah… tengah malamnya, saya tau kalau Chelsea kalah lawan MU di Final Champions (di Moskva). Banyak orang tahu saya ngefans Ballack dan Jerman. Ya begitulah. Tahun itu udahlah EPL gagal juara, gagal di UCL, Ballack juga kalah di Final Euro 2008. Dibullylah saya ditengah keluarga yang maniak bola sepanjang Mei-Agustus saat itu.
Balik ke Mas Lakso.
Mas Lakso sudah masuk BEM mungkin sama seperti saya caranya: perekrutan sela. Mas Lakso 2005 (Hukum), sehingga inaugurasi dirinya resmi mahasiswa di Juli 2005. jadi saya pikir-yakin dia sudah jadi anggota BEM pada Oktober 2005, “perekrutan sela”. Perekrutan ini biasanya murni karena berdekatan dengan pemilihan mahasiswa (pemilu pilih ketua BEM kampus dan BEM-BEM di Fakultas). Saya masuk (HI UGM) 2007, dan sudah masuk BEM di Oktober 2007.
(jurusan) HI, tidak seperti (fakultas) hukum, tentu sangat sepi peserta / yang ingin masuk BEM KM UGM (BEM level pusat). “Kumpulan anak-anak manja, ansos, ga peduli”. Di FISIPOL UGM tidak ada BEM. lucunya, salah satu HI UGM 2004, yaitu Kang Aad (teman baik Mas Lakso juga) malah jadi ketua BEM. jadi setelah Kang Aad, yang masuk BEM itu ya saya, dan satu orang lagi. Namanya Hafid. Tapi hafid tidak benar-benar aktif di BEM, karena dia ikut UKM lain di level kampus. Satu dari 2008 akhirnya masuk, tapi masuk BEM saat 2010. Lalu sepertinya nyaris ga ada lagi anak HI (setidaknya, setahu saya, angkatan 2014) yang masuk BEM KM UGM.
Saya pernah berkantor di gedung amat tinggi yang (kalau pakai jalan kecil) ternyata hanya 1400 meter jalan kaki ke KPK. “Cicak vs Buaya”. Yang berkali-kali. Saya ada saat itu. Sembari seadanya beli minuman kotak dua box, saya angkat sendiri, dan… ya saya taruh aja. Banyak publik lainnya membelikan makanan minuman lainnya.
KPK adalah (eks) kantor mas Lakso. Bahkan, gara-gara mas lakso, data nasional terkait hal-hal KPK berubah total. Awalnya, pemberitaan tes TWK KPK itu selalu angkanya sama: 57 staf KPK. Hanya (demi) mas Lakso, angkanya berubah. Dirinya korban ke-58 (kalau mau disebut korban), surat pemberhentiannya dibuat amat belakangan, baru didapat dirinya 4 hari lalu.
Gara-gara mas lakso, karena semua/nasional terlanjur pakai “57”, maka movement dan atau “lembaga darurat” yang menampung para staff ini (kini dikenal) dengan “57+”, cuma gara-gara mas lakso. Saya percaya betul idealisme mas lakso. Setelah sekolah di Swedia, dia pasti gatal membunuh koruptor secara hukum.
Problem yang amat menggangu publik, yang cenderung malah “suka / pro” dipecatnya 58 pegawai KPK ini, juga punya amat banyak alasan. “Tes psikologi ya biasa aja kali”, semua orang yang pernah ikutan Tes CPNS dan tes melamar kerja di private sector (di kantor tertentu) bahkan memakai TWK. meski (khusus swasta) seharusnya ga harus-harus amat. Tapi CPNS, BUMN, pasti iya. “Tes untung-untungan”, yang ga mungkin disetting membuat orang2 tertentu ditendang. Saya menjalani bertahun2 ikutan tes CPNS, diam-diam, meski sedang bekerja tuk kantor. Jadi saya merasa bingung kenapa 58 ini harus diistimewakan. Saya yakin TWK atau semacamnya, atau kategori/klasifikasi jenis soal (seperti) TWK yang saya jalani, saya dapat diatas rata-rata. Saya biasanya, atau...pasti jeblok di tes IQ.
(debat atas) Kenapa 58 ini harus diistimewakan, tapi entah berapa juta yang nilainya jelek tes TWK di tiap CPNS tetap diharuskan “kalah”, “gagal”? Anda mungkin baru tahu 2-3 hari terakhir, seorang Ibu di Aceh, bernama Hasanah, mengantar anaknya sejauh 240 km ke tempat tes CPNS, dan si anak gagal. Kenapa 58 ini harus diistimewakan, tapi anak Bu Hasanah, dengan segala kekurangan-mungkin amat hidup mendekati miskin, tidak mendapat keistimewaan misalnya. Kenapa sih 58 ini ga berpikir sederhana ini, ….. “(another candidates) would probably do better on many of these interview questions or “test TWK” that I would”
Argumen lain, dan ini sensitif sekali bagi saya: Anies Baswedan. Publik yakin betul ada begitu banyak kekacauan penggunaan uang / APBD, tapi tidak pernah sekalipun sampai Agustus 2021, ada tindakan pemanggilan terhadap Anies. Gausah Gubernur deh, dulu saat kena reshuffle, jelas-jelas karena Jokowi sadar betul ada kekacauan penggunaan atau ketidakjelasan penggunaan APBN saat dia jadi Menteri. Baru SATU KALI Anies dipanggil KPK, September bulan lalu. Dan orang/publik mengernyit “Anies dipanggil setelah si Novel tertendang (meski belum resmi off)-----karena baru resmi off 1 Oktober 2021?”.
Kecurigaan permainan ini sangat mengganggu bagi sebagian pihak. Banyak publik “mendukung ditendangnya” 58 orang ini, justru karena banyak kasus-kasus yang harusnya bisa segera ditindaklanjuti KPK, malah buntu. Publik akan berargumen “katanya 58 ini super suci, koq ga pernah manggil Anies, koq ga pernah manggil si C, ga pernah manggil si J” dst.
Contoh gampang: Aziz Syamsudin. Track record politisi ini juga “amat licin”. Dan justru baru berhasil jadi “tersangka” setelah ….. Ya betul sekali, setelah 58 ini dipecat.
Bagi saya personal, kebencian saya pada Anies memang benar-benar personal. Karena pilkada 2017, dan demi melindungi minoritas, di suatu titik Jakarta, saya dibacok dari belakang. Keriuhan, dan kericuhan pilkada Jakarta 2017 memang bikin muak. Saya benar-benar berharap betul orang ini ga akan bisa melaju lebih jauh dari Gubernur Jakarta, dan cukup satu masa periode saja.
Saya tahu dari 58 ini, ada HI UGM juga. Dua angkatan dibawah saya. Tapi saya ga merasa harus mengapresiasi dia. Saya tahu kelakuan dia tuk menyebakan hal-hal jelek dan fitnah tentang saya ditengah angkatan HI UGM (dan mungkin HI lainnya). Dia cukup waktu menjahati saya disaat sebagai anggota KPK, jadi saya ga perlu mengasihani dia. Toh orang (anak dari orangtua yang) amat kaya.
Ditengah simpati yang pilih kasih antara dua “korban” di institusi yang sama, saya merasa bodo amat berserapah pada HI UGM yang ikutan kena gelombang ditengah 58, dan hanya tetap mau merasa iba (hanya pada) Mas Lakso. Saya terbiasa mengingat kebaikan orang lain secara lekat-lekat. Bahkan, orang jahat pun, saat berbuat baik ke saya, saya ga pernah lupa.
Saya ga pernah lupa kebaikan mas lakso (dan mba rizca).
Dan semoga ilmu dari swedia, tetap kepakai ya mas. saya ga merasa berkurang idealisme saya seperti disaat BEM. masih struggle juga sana-sini sembari tetap idealis. masih suka menyempatkan zoom-zoom atau webinar tentang isu hukum (disaat peserta zoom/webinar nya dikit banget). sudah punya anak juga mas lakso.
dulu sekali, hampir saya besanan sama mas lakso (kayaknya sih ya). ditengah debat terkait 58 ini, meski pilih kasih, saya tetap merasa bodoamat pada HI UGM yang kena pecat, tapi kasihan dan berbelas kasih untuk mas lakso. yang menolong secara hukum bagi kami, BEM KM UGM.