#Selesai yang Jangan Selesai
Saya yakin (utamanya) Mas Tompi tidak pernah butuh sensasi atau apapun atas eksplorasi (yang mungkin alur ceritanya) amat kontroversial-pun-vulgar film #SELESAI yang menjelaskan interaksi laki dan perempuan. Dia (Mas Tompi) pembaca dan pendengar yang baik. Bahkan dengan kritik luar biasa membanjir, dan cacian “kode-kodean non mention” di (utamanya) Twitter. Bahkan, saat saya mengukur mention Mas Tompi mereply saya di IG, kira-kira di Jakarta mungkin sedang/jam salat subuh. Mungkin setelah subuhan, Mas Tompi membaca banyak banget twit dan no mention twit yang mencaci dia.
Saya yakin betul Mas Tompi amat sadar dirinya dihajar habis-habisan di twitter.
Dia ga perlu jualan “yuk cuma 40k loh ini nonton film gue”. Mas Tompi sudah amat kaya dan berkecukupan dari praktek dokter. Naungan platform yang memutar #SELESAI (BioskopOnline) juga tidak sedang butuh uang banget karena Mas Angga sedang panen banyak film juga (lebih butuh di-populerkan, istilah “naq starap” lagi bakar duit). Saya contohin lebih vulgar: ada lagu yang jelas-jelas ada Mas Tompi (bareng Sandhy Sandhoro, Ricky Leonardi) ga kunjung ada di spotify dan radio, mandek di youtube saja (dilarang mamanya model video klip atau gimana Mas Tompi --- eh hehehe--- saya ngerti+punya sejarah lumayan dengan modelnya)
Saya bukan banget-banget orang yang nonton ribuan film dan makan popcorn. Saya bahkan pakai akun anonim-beda nama/alter tuk menonton #Selesai dan juga langganan OTT lainnya. saya ga yakin ada blog yang sudah ditulis setelah 2 (DUA) SPACE. Yang satu berlangsung 3 (TIGA) jam 17 menit. SPACE kedua, bertitle JULID, berlangsung 1 jam 41 menit.
Biasanya film supersensitif, ada kaitan sangat erat dengan linimasa peristiwa penting dimana film itu berada, dibanding “asbabun nuzul-benak” si pembuat film sendiri. Mungkin termasuk #SELESAI. Saya mencontohkan setidaknya film (serial) yang kontroversial-mempermalukan-ekstrim bigot, kebetulan sekali saya---justru suka (sebagai naq HI”). “24” (yang dengan terkenal melambungkan Jack Bauer / Kiefer Sutherland), “Prisoner of War” (Israel, yang kemudian mengilhami--->>) film serial lainnya yaitu “Homeland” (Claire Danes, Damian Lewis, Mandy Patinkin).
“24” diputar hanya berselang 55 (lima puluh lima) hari dari tragedi WTC 911 & Pentagon. Naskahnya, menurut Kiefer, berkembang, bukan semata keresahan Amerika atas Islam (agama dianut teroris 911). Dalam “24”, semua season-nya menyudutkan banget-banget Islam dan Timur Tengah, meski justru “musuh utama” di akhir-akhir episode hampir selalu sama: Rusia dan China. Bahkan dalam satu “finale episode”, Jack Bauer digambarkan “convert to Islam” karena nyaris mati di ruang ICU dan hanya membolehkan pemuka agama (jelas-jelas) Islam untuk membimbing dia.
“Prisoner of War” naskahnya ditulis pasca hal mengerikan di Israel-Palestina. Israel membantai-membom-menggempur Gaza hanya demi mencari SATU tentaranya yang ditahan Palestina, bernama Gilad Shalit. Bayangkan, bahkan setelah digempur habis-habisan, ternyata Israel tetap harus merelakan satu nyawa (masih hidup) Gilad Shalit dengan 1,027 tahanan Palestina. Serial “PoW” akhirnya menjadi banyak banget menimbulkan diskusi (& amarah) di Israel-Palestina sendiri, dan sampai mengilhami “HOMELAND” yang sebetulnya di Amerika terjadi perdebatan sedikit mirip.
“HOMELAND” diputar bersamaan kebingungan Amerika seharusnya mengambil tindakan lanjutan apa di Iraq (termasuk puluhan ribu tentaranya) ditengah proses pemulihan resesi ekonomi. Pun juga Presiden yang selalu dianggap (bagi warga GOP/Republikein) “dia itu Islam tapi pura-pura Kristen Afro Amerika aja” (Obama). Desakan “pulangin anak gue” (banyak sekali warga Amerika di circa 2009-2013 mendesak anak-anak mereka yang tentara berdinas di Iraq) benar-benar direpresentasikan Nicholas Brody (Damian Lewis). Tentara yang ditahan 8 tahun dan kemudian (digambarkan) dicuci otak oleh Iran, dan kemudian Brody membunuh rangking teratas Jenderal Iran---yang membuat Brody dihukum mati. “HOMELAND” sangat jelas-jelas bigot membenci Islam, sangat menggambarkan jelek-jeleknya Islam, bahkan yang mengkritik “ini film koq menyudutkan Islam banget sih” adalah orang-orang kristen Amrik itu sendiri. Apalagi jika di “kait-kaitkan paksa” misal Mandy Patinkin adalah Yahudi tulen (padahal dirinya aktivis pro pengungsi dan imigran).
Maka saya berpikir kira-kira “peristiwa perselingkuhan apa” yang monumental di Indonesia, dan atau kejadian seks bebas apa--katakanlah demikian, yang mengilhami baik Mas Tompi maupun Darto. Saya jarang meng-gugling kalau nulis ringan gini. Jadi saya terpaksa menggugling kata “pemerkosaan, perselingkuhan” dan semacamnya.
Beberapa menit gu-gling, saya sadar keliru banget.
Saya balik lagi bahwa Mas Tompi--mungkin setelah subuhan di jam Jakarta--sampai merasa tetap membalas saya di IG. Artinya: dia pembaca yang amat baik, komplet atas apapun di Twitter dan Instagram.
Begini:
Mungkin sekali Mas Tompi juga sadar betul (terlalu) banyak spill-spill kasus ngewe, diewe, seks bebas, apapun itulah yang selalu hadir di twitter (utamanya). Yang setidaknya jadi acuan: selalu bertambahnya gambar foto-foto cowok-mokondo, yang selalu pakai kacamata dan baju DEUS. Dari awalnya satu, dua , berkembang jadi (berapa sekarang) 16an kayaknya.
Mungkin sekali Mas Tompi juga tau betul di twitter sangat fluid banget “women semprot women” (bukan “women support women”. Dimana satu sama lain wanita gebuk-gebukan bahkan mungkin saling adu “gue lebih banyak selingkuhan dibanding elo”, “gue lebih sering ngeseks dibanding elo, bodo amat perawan” Saking vulgarnya #SELESAI dan segala kontroversinya, bayangkan orang PSHK (Pusat Studi Hukum Kebijakan, yaitu Mba Gita Putri Damayanti) dan Amnesty Indonesia (Claudia) melabrak Mas Tompi dan Darto di SPACE yang pertama. Lebih vulgar lagi di SPACE kedua, dimana Mas Tompi dan Imam Darto ga ada, benar-benar jadi ajang sumpah serapah mencaci #SELESAI.
Jadi, dengan sebegitu “normalnya” kasus ngewe-diewe, kasus pelakor, bukan lagi kasus hitungan satu dua tapi menjadi suatu kenormalan, maka #SELESAI dibuat sebegitu vulgarnya (mungkin) utamanya oleh Tompi dan Darto. Keduanya ingin memberikan kejujuran “ya inilah elo-elo semua sebetulnya”. Menunjukkan bahwa yang terjadi di (setidaknya) Indonesia justru bukan fenomena gunung es. Tapi fenomena suatu kelaziman-normal Anya-Ayu-Broto (dan pemeran lainnya) yang terjadi sehari-hari secara lumrah.
Saya gatau bagaimana respon siapapun yang sudah menonton #SELESAI lainnya. Tapi bagi saya yang sudah cukup imun iman aman (hedehhhh) dengan film super bigot dan sensitif, saya merasa ya memang inilah Indonesia (yang vulgar). Indonesia yang makin menormalkan hal cabul dan perselingkuhan.
Ada banyak banget pihak yang merujuk konteks personal: #SELESAI bukan Tompi banget, tapi lebih ke “Imam Darto banget”. Orang-per-orang merujuk kelakuan “nakal” Darto di radio “XXX” sebelas-dua belas dengan (ex) penyiar radio di radio “XXXXXX” bernama Gofar. Tapi yang saya simak betul di SPACE pertama, bahwa justru Mas Tompi yang amat aktif “membela” (sangat terlihat dari jumlah menit), saya menyadari betul ini #SELESAI ditujukan untuk diskursus. Tidak sama sekali “tambang uang lewat sensasi”. Benar, menyudutkan banget perempuan. Dan memang sepermisif itu kondisinya sekarang, seperti halnya begitu/makin parah bejatnya laki-laki.
Setelah dua SPACE saya jalani (utamanya SPACE kedua yang amat vulgar mencaci), saya benar-benar berpikir keras jika pun benar dibuat sequel, bakal sevulgar apa lagi.