Tidak Pernah Berusaha Mematikan Harapan
Getting lost in the past distracts us from the work of the present.
Ayah saya memang wafat saat saya terlalu kecil. Apalagi (usia) adik saya. Terlalu sering saya melonggarkan suatu cara pandang. Distraksi yang kadang “ultra”, terlalu jauh melonggarkan.
Sampai Tahajud malam ini, saya ga berani salat gaib atas nama Eril. Saya masih meyakini Eril, entahlah gimana caranya, terhanyut amat jauh dan benar-benar bisa tersangkut atau “mendarat” di suatu pinggir sungai dalam keadaan hidup. Tapi tidak ada orang sama sekali di area itu. Hingga keyakinan saya (Eril masih hidup) terbantahkan dengan jasad ditemukan, saya baru berani salat gaib. Saya terus-menerus termasuk tahajud ini berharap keajaiban. Distraksi yang “ultra”. Berdoa untuk siapapun dengan nama lengkapnya (yang bisa saya ingat), dan berdoa Eril tetap selamat meski hanyut amat jauh sekali.
Saya bukan sama sekali tidak biasa salat gaib. Tiap nama(islam) di amerika misalnya yang mati entah kecelakaan ditabrak di jalanan atau ditembak mati lalu ditwit beritanya dan ada namanya (semisal), saya bisa “tiba-tiba” salat gaib. salat gaib hanya butuh kita dalam keadaan suci (masih dalam keadaan berwudhu, suci) dan arah kiblat, dan bahkan tidak perlu sajadah karena tidak perlu sujud. Saya juga terbiasa sesegera mungkin salat gaib kalau ada Palestina atau Afghanistan atau dimanalah wafat—dan diyakini muslim. Bahkan kadang saya salat gaib tuk jasad yang nonmuslim, karena baru tahu setelah selesai ibadah (salat gaib) tentang agamanya, seperti kemarin2 Shireen Abu Akleh (yang kristen).
Dengan kesegeraan salat gaib, yang mendorong saya terus-menerus dalam keadaan wudhu (yang “tidak langsung” memaksa saya pasti berbasah ria terlalu sering—siapa tahu saya batal, artinya saya wudhu segera lagi), saya berterima kasih pengajaran belasan tahun lalu, diucapkan dalam obrolan amat sepele biasa saja, oleh teman saya Fanny (lahir di tanggal yang rutin dipastikan pemilu di AS). “gue lebih tenang kalau gue udah wudhu pas baca2 buku malem hari, jadi pas gue ketiduran, gue masih dalam keadaan wudhu, Prad”
Fanny bahkan secara teknis tidak pernah jilbaban saat kuliah kecuali berpashmina kalau acara2 pengajian di kampus (kalau Ramadan). Sederhana banget ucapan itu, bahkan Fanny saya yakini ga ingat dia ucap gitu, tapi itu membekas banget. Saya berusaha wudhu terus-terusan (bahkan tayamum kalau ndak ada air, tiap kali terlanjur batal) agar saya tenang. Lebih rumit lagi: saya diabet yang sering kencing bahkan meski saya amat intens puasa tidak wajib pun, bisa kencing amat sering (bingung banget airnya di perut datang dari mana kalau saya puasa)---dan mendorong saya kembali wudhu. Pahalanya ngalir ke Fanny atas ucapan sederhana itu, Fanny.
Saya terus-menerus berdoa keajaiban Eril ada di suatu tepi sungai. setidaknya per menit ini saya mengetik karena tidak ada berita apapun jasad.
Distraksi (keterlaluan berharap amat jauh) ini jelas “luka”, entahlah jika disebut luka, karena saya pernah mengalami hal amat buruk (disaat) terlalu kecil. “PAST”.
Tapi kebetulan sekali saya, dan keluarga besar saya, berusaha membiasakan tragedi2 yang dialami kami sekujur dua keluarga besar: sehingga kami lebih tabah saat dirugikan miliaran (or more) dan atau dilukai sedemikian dalam. dan atau ketidakterdugaan wafat.
Setidaknya secara teknis yang sama dengan Swis (tempat Eril berenang): saya masih berharap betul keajaiban Schumacher sembuh. Schumacher bukan cuma juara dunia 7 kali. Dia pernah, segala gaji utuh nya sebesar 80 juta dollar pada 2005, disumbangkan semua untuk korban Tsunami 26 Desember 2004. Untuk membandingkan skala sumbangan Schumi satu orang: keseluruhan patungan pemain NBA dan direksi NBA menyumbang korban Tsunami 2004, cuma terkumpul 5 juta dollar. Saya yakin cerita ini mungkin tidak dipahami Kedubes Jerman di Indonesia. Gaji total 80 juta dolar / tahun itu baru dikalahkan Messi (hanya gaji, sekitar 167 juta dollar/tahun di barcelona).
Dengan segala kedermawanan Schumacher, mungkin, Tuhan sayang: sekalipun koma, dirinya masih hidup sampai sekarang. #KeepFighitingSchumacher tagarnya sejak 2014.
Paman/Om saya, 195+ cm tingginya, amat2 baik, selalu paling aktif (di Solo) untuk “siap sedia” bagi keluarga Kraton saya, tiba-tiba ambruk entah karena apa. Dia di ICU sampai …. 8 bulanan. Saya, adik saya, dan siapapun keluarga Kraton, bahkan (sebagian) keluarga Minang (dari arah keluarga besar Ibu saya) silih berganti menemani Tante saya yang tegar menunggu. Sampai akhirnya wafat. Ketegaran yang lebih keras dibanding baja yang diajarkan Tante saya. Setelah kakak kandungnya (yaitu ayah saya) wafat hampir dua dekade berselang, lalu suaminya wafat. ayah dan om saya lahir di tanggal sayang sama meski tahunnya berbeda.
Tapi ketegaran baja ini, berlangsung 8 bulan. kami tabah-tabah saja. Adik saya kalau bisa libur, dari Jakarta ke Solo. atau saya yang gantian, menjenguk, meringankan luka Tante saya. Sampai akhirnya Om saya wafat.
Distraksi masa lalu mendorong (khususnya) saya melekatkan standar yang terlalu (ultra) elastis, longgar, atas keajaiban. Terus-menerus berdoa pada Allah bahwa selalu ada harapan.
Saya beneran iseng mencoba (diam-diam, tanpa sepengetahuan seorang perempuan, sinyal hidup yang baru) cek suatu IG penata rias. Foto yang tidak diunggah dirinya tapi (siapa tahu) diunggah penata rias dengan (pose) foto angle yang berbeda, untuk bisa di sketching oleh saya. Tebak, siapa yang saya temukan di feed penata rias itu? Masa lalu.
Saat scroll2 IG dimaksud, langit malam lagi indah banget ditambahi sabit yang meruncing indah banget… untuk (mungkin) merayakan kerelaan saya sejak 2013 sampai sekarang. “No point in keeping you waiting any longer, Prada”. Betul sekali, artinya saya berharap suatu saat, ratusan hewan-hewan piaraan dari “orang lain yang dirias” tersebut bisa berubah. entah 2043, 2044, 2045, lebih lambat lagi.
Meski tentu saya ketakutan betul: Mrs Prada dan Prada junior, melakukan segala cara hanya demi saya, untuk mengobati luka puluhan tahun saya—--kelak. Karena terlanjur mereka tahu bahwa Prada pernah mengalami “No point in keeping you waiting any longer”. Meski saya sungguh-sungguh terbiasa menunggu amat lama untuk kemudian (saya benci betul diri saya sendiri saat) saya benar sendirian.
Ya Allah saya mohon maaf banget menunda salat gaib. Saya berharap betul Ya Allah ada keajaiban luar biasa bahwa Eril hidup. Saya berharap juga Schumi sembuh—-bahkan meski Schumi ga pernah sujud ke Engkau. Dan segala pengharapan2 yang terbiasa saya ucap belasan, puluhan tahun secara rutin. “Walaa tahinu walaa tahzanu…” (QS 3:139).
We don’t like it but the alternative is far worse, arguably tho.