Wulandari dan Mandalika
*sebetulnya ini bercampur dengan suatu kampanye donasi yang bikin pilu. Semoga berkenan berbagi yah untuk kampanye donasi tersebut. kumohon banget-banget-banget. (tidak semata nama—-udah gue tau sejak lama)
*jarang banget Erick dapat loved sampai 40k…dan hanya gegara tukang bersih2 Mandalika curhat betapa tidak bisa buang sampahnya ((WARGA JAKARTA)) di Mandalika
Saya baru membaca nama Shaman/Pawang Hujan/Dukun yang disewa BUMN PT PP itu kira-kira 21.05 WITA di Gilimanuk, suatu pantai dekat storage BULOG amat raksasa. Kan sejak jam satu-an siang WITA sampai malam, cuma disebut Pawang Hujan mandalika yang heboh. Baru sekitar malam, pemberitaan mulai memakai nama. Saya melihat pertama kali karena stories di META/Facebook seseorang, mengunggah ulang postingan Big Alpha.
Damn kannnn….. Hahaha.
Wulandari itu memang spesial dimana-mana. Bulan purnama pun 20 Maret kemarin bukan. Di gilimanuk karena pantai dan tidak terhalang bangunan tinggi, sinar bulan seolah ada “HALO” effect nya (garis samar lingkaran amat besar yang mengelilingi bulan itu sendiri”), gatau ya di tempat lain saat 20 Maret malam hari. (Bagi saya) Wulandari itu (kata yang) spesial sejak 2007, bahkan meski saya lebih merasa spesial (saat itu——setidaknya) Arshapinega (eh gimana gimana).
Saya masih ingat betul halaman koran kompas. Dulu banget, halaman olahraga masih di halaman 31-32. Dan di halaman 32, ditulis, “Devosi Warga Jerman Pada F1”. Artikel tersebut lebih ke translasi gabungan berbagai artikel. Intinya bercerita warga Jerman mulai berkurang untuk menonton langsung, baik di GP Jerman (Hockenheim) atau GP Eropa (Nurburgring). Saat F1 masih dikelola Bernie Ecclestone, dan MotoGP di masa yang sama, setidaknya 2000-2010, saya percaya betul penyelenggara keduanya sangat eksklusif.
(German GP. artinya Hockenheim. Yang Nurburgring disebut GP Eropa)
Bagaimana (dulu) Jerman bisa memanfaatkan sampai dua slot, karena pemakaian “F1 GERMANY” dan “F1 EUROPE”, disaat F1 (saat itu) amat eksklusif, cuma 18 slot. Jepang juga pernah bisa dapat dua slot, kalau ga salah 1995, yaitu dengan memakai “F1 JAPAN” (Sirkuit Suzuka) dan “F1 PACIFIC” (Sirkuit Aida). Italia sering dianggap dua karena San Marino selalu dianggap Itali, padahal ya negara kepisah. Itali mutlak ya (pasti) Monza. Tapi sejak bukan Bernie Ecclestone yang CEO F1, “magis” nama negara harus eksklusif ini dihilangkan. Sudah 22 sirkuit bahkan kapan-kapan ga kaget 30 sirkuit setahun. Contoh tahun 2021 pun, dua sirkuit di Italia dengan nama Italia, bukan pakai “F1 Europe” misalnya.
Jerman, negara otomotif terbesar di dunia, bahkan pernah ga menyelenggarakan sama sekali F1 saking drop nya antusiasme menonton langsung literal di sirkuit, bahkan disaat jelas-jelas masih ada Sebastian Vettel dan Mick Schumacher (sudah 8 tahun 2 bulan Michael, ayah Mick, koma, alfatihah biar sembuh Pak Michael).
Bahkan Amerika Serikat, yang amat minim penonton F1 karena Nascar-ish banget, untuk di-push habis daya tarik F1-nya, pernah hampir dapat dua slot, dengan memakai “F1 US” (Indianapolis) dan “F1 Atlantic” (calon sirkuit, yaitu sirkuit jalanan New Jersey). Tapi yang New Jersey batal. Dan akan hadir F1 di Las Vegas.
(*cakep banget memang mas vettel)
Jadi saat Indonesia benar-benar membangun dari nol “Bali Baru” bernama Mandalika, itu tantangan banget-banget bagaimana mengkapitalisasi, termasuk bagaimana sampai di titik MotoGP yang jadi amat viral. Dari pawang hujan lah, keramahtamahan warga. Kalau dari nol bisa bangun Mandalika, dan super viral ditengah publik internasional, saya yakin koq tentang IKN Nusantara dibangun dari Nol—-entah prosesnya mungkin 6-7 presiden. Entahlah.
Saking hype-nya Mandalika, kemenangan Bagas-Fikri yang All-Indonesian Final di All-England pun ketutup. Padahal ya sama-sama membanggakan.
Saya gatau seberapa 102k itu orang, sebanyak apa yang memakai jasa starap-nya Ndari.
Salah satu orang yang bersedia subscribe substack saya, amat senior, amat dihormati, amat terkenal di twitter, hampir ikutan ke Mandalika seperti saya dan ratusan tim kampanye. Ditawari liburan sekaligus international marathon atau yang lebih ringan. Tapi beliau malah ga ikut. Saya ikut dong, karena NGEJAR MARATHON TENTUNYA. 2017 — 5 tahun lalu.
Pada 2017, Mandalika masih jauh lebih berantakan. Yang ngadain ajang lari bahkan pihak TNI, dan artinya segala fisik bangunan dibangun divisi Zeni (divisi konstruksinya militer) secara amat kilat. Banyak pelari asing bahkan ya rekanan TNI (& Polri) negara sahabat, ya Australia lah, NZ lah, Singapura lah. Jokowi menjadi pengibar bendera start untuk para pelari internasional. Saya lupa naruh medali marathonnya (semua pelari dikasih) tapi saya ingat betul souvenir lainnya yaitu (kerjasama) TNI-BNI berupa kartu debet. Hanya beberapa hari setelah acara Mandalika tersebut, seorang ayah kerabat saya sakit parah di RSPAD, seorang purnawirawan. Saya beri beliau souvenir tersebut.
Saya yakin beliau (yang men-subscribe substack saya) pasti ditawari ikutan ke Mandalika lagi tahun ini — tapi sepertinya beliau ga berkenan dikasih gratisan. Saya ga perlu iri adik angkat saya (yang juga seorang pecandu marathon) pamer2 foto Mandalika tahun ini, karena saya sudah duluan menikmati indahnya Mandalika, jauh lebih perawan dibanding 2022, sejak 2017.
Anda akan melihat dengan mudah berita bahwa juara dunia MotoGP Fabio Quartaro bukan orang yang suka senyum. Tapi selama di Mandalika dia ketawa terus-menerus, bukan cuma senyum. Membelikan es krim tuk anak-anak. Jadi jastip kalung cinderamata. Dan Fabio memparodikan Pawang Hujan. Ya memang ada yang apes seperti Marc Marquez (sembuh segera masbro, aminnn).
(reportage/investigation from verteran journo on MotoGP Simon Patterson)
(Bigger….. hope to F1)
(still reportage by Simon Patterson)
Tapi sejak tes pramusim berbulan lalu, dan kemudian race beneran, semua pihak merasa senang lebih-lebih para pembalap. Mereka kagum, dan mungkin menyesalkan kenapa negara produsen motor global kayak Indonesia baru bisa adakan (lagi) MotoGP di 2022. Dan mereka para pembalap2 juga sedikit nelangsa, mungkin, menyadari betapa Indonesia ngefans Valentino Rossi, tapi malah saat Indonesia bisa adakan motoGP, Rossi udah pensiun.
Mba Wulandari katanya kerja 20an hari sebagai pawang hujan, dibayar PT PP (BUMN — ternyata kena pajak juga gaes), dia bilang dibayar Ratusan Juta.
Saya tau betul Ndari – Wulandari yang lain, digaji ratusan juta sepekan, sebesar itu–ditengah trouble macem-macem setara kerjaannya.
Saya akhirnya menemukan satu twit paling simpel, yang secara sempurna menggambarkan kesulitan kerja Ndari.
Benar, tempat dia ga semerugi yang “hijau-hijau lagi heboh mau IPO—ternyata ditunda pula” sampai rugi 22 Triliun per tahun. Tapi bayangkan bahwa yang hijau-hijau ini sebetulnya amat intens tetap dipakai warga bahkan disaat covid—dan ternyata rugi tahunan. Bayangkan tempat kerja Ndari yang—lini bisnisnya jauh lebih bersentuhan persoalan covid, megap-megap, sebetulnya chaosnya peningnya kayak gimana.
Ada yang bilang “justru karena ga (se)intens “starap ijo royo-royo”, starap lain harusnya “ga gila-gilaan bakar duit”, artinya ga rugi dong. SALAH. Saya tahu betul (bahkan) yang rencana mau IPO duluan itu stara-nya Ndari, bukan “ijo-ijo”. Koq ya yang “ijo-ijo” malah duluan (konon jadinya ketunda lagi ke 7 April—-bisa aja ditunda lagi).
Yang paling mengganggu bagi saya ya, disatu sisi eksploitatif ke driver sedemikian gila, tapi konon selalu bangga2kan “amat intens diorder warga +62”, ternyata pendapatan riil cuma triliunan (bukan puluhan atau ratusan triliun). The problem: uangnya lari kemana koq bisa rugi puluhan triliun. Dan bayangin model bisnis starapnya Ndari yang—-meski raksasa, tapi ga semenggurita “ijo-ijo royo-royo”.
That’s why kepikiran terus gimana beban Ndari. Entah dari Gilimanuk. Entah dari Pasirkopi. Entah dari Sentul. Entah dari Tamansari Semanggi. Entah dari Rembang Menteng Jakpus. Entah dari Kedoya.
Saya sayang sama Ndari.
Saya sulit banget melupakan nasihat seorang Kiai yang saya dengar saat streaming online jam-jam tahajud saat saya diperbantukan ke wisma atlet: “bahwa pertolongan atau perhatian terbaik seseorang itu justru disaat uluran tersebut diberikan ditengah kondisi terkritis”. Kayaknya itu rekaman sih, bukan live siaran jam 2 pagi buta. Tapi April 2020, PSBB yang jauh lebih brutal blokiran dimana-mana, belum ada harapan vaksin, berita di Italia memilukan banget (nekad adakan laga Champions league–kemudian lansia di Bergamo, kotanya Atalanta FC, ribuan mati kena covid).
Mengirimi kado ditengah situasi super sulit saat itu tuk Ndari, si istimewa April. Pada April 2020.
Tapi —----- ya begitulah.
(2020 lebih rumit dari cake ginian, tapi ya udahlah ya Prada—-yang ini tuk orang kaum papa lebih dulu aja)
Saya benar-benar berharap Indonesia benar-benar bertaruh bisa bikin F1, mau di Bintan atau Mandalika, terserah yang mana. Pasti (kantor starapnya) Ndari panen banget gegara MotoGP kemarin bahkan saat pemanasan/testing berbulan lalu. Siapa tahu, entahlah, Presiden di 2025 atau 2026 atau 2027 (siapapun dia) berani rugi dengan bayar biaya komitmen F1.
F1 jauh lebih rumit perkakasnya, dan artinya butuh bandara yang jauh lebih besar dibanding bandara (ter)dekat Mandalika. Skala paling minimal, menurut saya bandara selebar dan sefasilitas Ngurah Rai. Atau bandara terdekat Mandalika diupgrade lebih gedean lagi dan dilengkapi fasilitasnya dulu, sehingga layak sebagai (penunjang untuk) diajukan sebagai sirkuit F1 (*meski kata yang lebih ahli, Indonesia katanya “salah ukur” ngebangun trek Mandalika, yang terlalu motor banget, ga cocok tuk F1).
Sepang contohnya. Ini sirkuit di tengah-tengah kebun sawit. Tapi Malaysia sukses meyakinkan Bernie Ecclestone (bukan hanya) commitment fee, tapi karena KLIA itu gede banget, 5 kali luas Soekarno Hatta dan begitu juga fasilitas pendukung lainnya. sehingga 10 tim konstruktor ga akan ada masalah bongkar muat di bandara. 2003, saat Sepang adakan F1, kondisinya juga seunik Mandalika: panas melulu ala tropikal yang menyengat (apalagi ditengah sawit), lalu tiba-tiba hujan deras jelang race. Jadi Michelin dan Bridgestone saat itu bingung mau pakai apa yang paling optimal—tapi jadi seru.
Sepang, di tengah kebun sawit.
komparasi terpencil—-sirkuit internasional lainnya: Losail Qatar
Ndari tentu saja senang betul bahwa Bieber jadi konser November tahun ini di Madya GBK. entah cara memanennya gimana starapnya Ndari. Tapi karena ada sponsor BCA, mungkin banyak tiket dislot di starap mirip Ndari kerja tapi yang dimiliki BCA (mungkin—-starap ini kantornya juga di Menara BCA soalnya). As a lulusan sekolah Jakarta yang terbiasa (juga) manggungin artist/penyanyi Internasional, its Ndari advantage abilities sebetulnya (meski kembali—-Bieber yang ngesponsorin acara bukan starap-nya Ndari).
============
Saya punya teman SD yang sejak kecil/pas masih SD secara perawakan dan tinggi dan rambut, mirip banget Sailor Moon yang Mars. yang Rei–dan ternyata April pula ultahnya Sailor Moon yang Mars dekat ultahnya Ndari #gakginilhocaramainnyaPrada
Saya cukup pendek bahkan sampai SMA (cuma 140 cm——seriusan, bukan semata masuk SD terlalu muda)) —- hingga ikutan TONTI/Paskib dan (seleksi lari) Porda (langsung 174cm—- riya’ kamu Mzzzz).
Dia ibu-ibu dua anak, mantan supermodel. Tenang, saya ga pernah naksir teman saya ini (*saya naksir/cinta monyet pertama kali in literal itu SMP, SMP Muhammadiyah pun, akhlaknya zonk banget, adik kelas yang kini jadi arsitek—ga tau sih masih di jerman gaknya).
Obrolan pagi-pagi buta (*tiba2 ngechat–mungkin sembari momong anaknya nge ZOOM sekolah). Dan nasehatnya bagus banget: jangan terlalu mengejar “Mrs Adi” atau “Mrs Prada” Di, biarkan semuanya Allah yang ngatur. Kamu berbuat baik ke siapapun seperti biasa tanpa kepikiran belum menikah saat temen-temen kita dan kayak aku bahkan udah punya dua anak.
Seumur-umur, mungkin teman SD saya ini bisa saya katakan amat cantik bagi standar saya (beruntung banget suaminya, langgeng-langgeng ya —- aminnnnn…). Teman SD saya; lalu eks tunangan yang sangean/ultra horny cuma pelacur pejabat, dan Ndari, saya pakaikan istilah “amat cantik”. Saya sulit banget untuk memberi label “amat cantik”. Khusus pelacur, ya cuma semata pernah memakai kata itu– toh dia cuma pelacur.
Saya cukup beruntung punya satu adik–dan minimal dia “cadangan terbaik” untuk pelanjut nama keluarga. Saya lega banget, sedemikian soliter adik saya, dia pernah dicintai seorang gadis singapur–meski akhirnya ga lanjut makin serius—karena beda agama. Saya pernah ketemu perempuan tersebut saat saya secara dadakan harus mengurus angel investor dan printilan persuratan ke Singapur (bener2 amat dadak, saya belum mandi jam 7 pagi dan harus segera ambil pesawat CGK). Saya katakan ke dia, (khusus posisi) bahwa sebagai kakak yang pernah juga mencoba pacaran beda agama, saya sedih betul dia dan adik saya putus.
{*di paragraf ini, Yana Julio-Hasrat Cinta keputer di suatu radio, sedih banget…… “...biarlah cinta ku melayang jauh..” #gakginilhoradio )
Adik saya sudah menjalin dengan perempuan lain. Dan saya merasa yakin dia akan lebih duluan nikah dibanding saya. Saya jauh lebih tenang menjalani hidup–tidak dibebani meneruskan nama. Mungkin tidak seperti Ndari yang……anak tunggal. Menjadi ultra-pemilih, katakanlah demikian, melanjutkan nama keluarganya (lagi-lagi, katakanlah demikian). “…gorgeous girl reject everyone who wants her, and picked the wrong one” #eh.
Yang lebih pilu dari hal2 (mencoba menulis Mandalika) ini, koq ya saya baru ngeh kalau acara expo2 nikahan sekarang jadinya Maret. Biasanya September. Ada yang terkenal dua (expo nikahan) amat besar: kalau ga BSD deket rumah Ndari, ya di JCC. Bahkan dulu (dengan pelacur tersebut) saya berulang ke expo, cuma semata cuci mata harga2 di brosur—-yang yah mahal. Saya mendanai rumah pelacur aja ga mudah —- dulu.
(ber)bukalah puasa (syaban; sunnah syaban) dengan yang manis kayak Ndari—-eh maksudnya Croissant (Cressent, artinya… ya Bulan)
Saya cukup yakin Ndari juga pernah ke expo nikahan, meski dia belum (akan) menikah.
Saya ga perlu menjadi dukun seperti pawang hujan Rara Isti Wulandari. Bukan karena saya (sedikit) kraton-ish. Saya mungkin punya masalah neuron & macem2 (bahkan sampai menulis ini pun). Saya ga punya kemampuan “melihat yang halus-halus” yang dikuasai nyari semua keluarga besar saya dari sisi “Jawa”. Saya tahu bahwa Ndari berulang—tidak sering memang, bermimpi tentang saya. Meski tidak seintens mimpi dalam saya (tentang Ndari): terlalu banyak pesan yang mengawang2 yang saya masih sulit menerka maksudnya apa.
Begitu kebetulan Mandalika 20 Maret. Sebulan sebelum kamu. Artinya kamu nanti ultah saat bulan purnama juga. Dan tentu saja, kalau kamu ultah di Rabu, artinya aku ultah di Rabu juga tahun ini——lihat aja kalender.
For love, that’s in vain. Yes, I (still) love you Ndari. Kepikiran gimana kantor kamu ga megap-megap kayak “hijau-hijau”. Kepikiran (nyaris seperti) situasi adik aku: profesi yang jauh lebih berisiko kena covid dibanding profesi normal lainnya di Indonesia. Ndari, kamu pasti di kantor atau bahkan apartemen, tapi bisnis kamu ya —— bisnis yang sangat terbanting karena covid, dan pasti sesekali kamu di lapangan juga.
Dalam benak yang amat sadar, Ndari membangun image saya sebagai laki-laki brengsek, bajingan, yang perlu dibunuh atau dimusuhi, atau dirugikan. Ku yakin betul Ndari akan coba terus mencari “opsi lain”. Tapi dalam benaknya, her gut —dia sadar betul— cuma ada satu laki-laki yang “tidak sempurna sama sekali” tapi “mencintai Ndari lebih sempurna dibanding laki-laki lain dengan cara yang tidak pernah sempurna”.
Laki-laki paling cacat/rusak, paling bajingan, paling brengsek yang pernah dia sadar, kenal, dan tahu. Paling sulit ditumbangkan meski dihajar ratusan orang bertahun-tahun. Tapi laki-laki (yang mungkin) paling sempurna dan tulus mencintai dirinya, adalah orang cacat dan bebal ini. Unlike fate, it was something she could control. She tries to be a perfect woman, and tries to search for a perfect guy. Sejauh teman-teman (jahatnya) secara buas merugikan posisiku terus-menerus tanpa kontrol, tragedi kegagalan doang yang akan diterima Ndari (juga tak bisa dikontrol Ndari).
Aku terus berdoa agar kamu sekeluarga sehat, Ndari.
Saya berharap orang lain menolong “wulan, bulan yang lain” untuk foto-foto ini. Sering viral yayasan ini, tapi amat megap-megap. Sedih banget.