Takdir
Serta Mulia-Sal Priadi (10.06 PM)
Saya hampir (memilih) ikut acara dengan Jokowi, literal di istana negara–acara yang santai, bersama ratusan orang, rileks dan amat santai—-toh setelah Pilpres. Amat berulang bertemu Jokowi, murni kerjaan teknis. Saya menyebut “sukarela support”. Tapi saya memilih (hari yang sama) untuk dengan (mantan calon) pasangan saya. Banyak keajaiban yang terjadi di hari dengan (mantan) saya–dan yang saya kira itu petunjuk Tuhan, membenarkan saya tidak ikut ke Istana. Pada awal 2020, saya menyadari kehilangan dua isi——pengorbanan yang hilang, yang diprioritaskan pun hilang.
Saya masih berharap bisa bersalaman proper (lagi) dengan Jokowi sebelum 14 Februari 2024. Seperti setidaknya 150-an orang di hari yang dimaksud diatas. Acara santai. Tapi entahlah. Siapa tau Jokowi sampai 2034, gimana coba? Takdir ga ada yang tau.
Meski saya ga pernah bisa melihat hantu, saya terus-terusan masih dikasih “celah” meraba kejadian yang akan terjadi. “Secuplik-secuplik”. terus -menerus selalu itu. Entah mimpi, entah lagi bengong. Hal yang membebani bahwa 95% selalu hal buruk: kematian. Tapi saya ga kuasa melihat takdir yang melukai saya sendiri. Konteksnya: saya gabisa mengingatkan seseorang atau keluarga seseorang bahwa si “X” bakal wafat—karena jelas mengada-ada —— meski saya melihat sekelebat banget takdir tersebut—— dan cuma dalam beberapa hari ya wafat. Tapi… saya ga pernah bisa mengantisipasi kemalangan saya, karena saya ga pernah bisa melihat takdir saya sendiri. Beban banget bukan karena saya berusaha banget mengubah takdir saya. Saya orangnya Jabariyyah banget—sangat pasrahan terhadap takdir. Tapi terbebani banget saya tahu hal buruk keadaan orang lain, dan saya ga kuasa “ngingetin” karena dianggap pembual. Terlalu sering mengalami hal ini.
Anda bayangkan keadaan ini: suatu masjid kampus, amat jauh ditengah-tengah kampus. Saya baru saja berbuka puasa, tapi suatu kafe elegan tidak menyediakan atau tidak merasa cukup punya ruang ibadah salat-dan saya sadar banget dengan (mantan) pasangan saya untuk memilih kafe itu. Saya harus memakai suatu masjid kampus. Tidak ada/tidak sedang ada acara pernikahan (akad nikah). Tidak ada acara wisudaan. Meski baru saja buka puasa, tiba-tiba gempa cukup kencang. Tapi alih-alih kerasa (apalagi misalnya: saya baru beberapa menit buka puasa): saya ga merasakan apa-apa. Saya tetap memilih ke masjid ditengah2 kampus. Kuizin ke (mantan) saya “gue bakalan rapel 2 salat loh ini, lama nih, toh kafe buka sampai jam sebelas malam” (sambil kucium kening dan jari manisnya yang bercincin).
Apa yang saya temukan di masjid untuk beribadah (Maghrib, then Isya) di masjid tersebut setelah gempa? Buket bagus banget. Tergeletak begitu saja. Tidak ada bekas orang lain baru saja salat misalnya (kemudian ketinggalan buket-nya). Amat-amat segar. Saya kepikiran, apakah ini ganjaran dari Allah (dari langit):
1} memilih tidak ketemu Jokowi—dan mementingkan (mantan) pasangan saya
2} juga memilih bersikeras ibadah salat, padahal (baru saja) gempa
3} memilih ibadah yang proper, di bangunan literal masjid, dan bahkan jauh ditengah suatu kampus
Buket tersebut saya berikan untuk dia. Saya hanya bisa mengganti dengan apa yang saya taruh di kotak amal, karena benar-benar ga ada siapapun di Masjid. Masjid tersebut juga amat jauh dari toko bunga apapun.
Saya terus-menerus menjalani hal yang ajaib, gabisa diterka, yang selalu membuat saya kepikiran banget-banget “mungkin Allah memang menjadikan saya dengan {mantan} dia, karena terlalu banyak hal aneh yang gabisa dinalar”. Anda tahu kan PLN mati total 4 Agustus 2019? Bagaimana mungkin PLN mati total, server ridehailing (gojek; grab) juga wafat, tapi saya dan mantan saya bisa memesan gojek-car untuk acara akad nikah teman baik saya.
Dalam keajaiban “musibah PLN”, sesampai akad, kami berujar betul, kami akan menyegerakan menyusul menikah. Istiqlal, dapet. Menteri tuk saksi (karena semarga), dapet.
Mantan saya ga sempurna. Saya juga. Mantan saya pernah di-harras, mungkin berkali-kali, entah di kampus atau tempat kerja. literal fisik. Entah saat kuliah, atau di tempat kerja. Dia merutuk dirinya kotor, tapi saya terus-menerus berusaha menerima—meyakinkan bahwa dia ga kotor. Meyakinkan bahwa berbagai hal-hal “tidak bisa diterima nalar” adalah jalan meyakinkan bahwa saya menerima apapun yang Allah saya berikan: tubuh bernyawa (mantan saya) ini. Sampai saya ga kuat. Dua pejabat elit amat dekat dengan Jokowi. Saya ga tau separah apa Orgy party nya. Biarlah dia hidup super mewah saat ini.
—-------
Raisa-Tentang Dirimu 11.26 PM
Tentu saja saya kehilangan banyak banget hal. Rasa percaya pada Allah pun, sempat. “Upset”, bahwa “kupikir kejadian di masjid adalah petunjuk absolut bahwa saya harus melakukan apapun untuk (mantan) saya”. Saya gatau entah berapa kali konseling online. Entah cuma obrol dengan teman di Jepang, atau benar2 terapis psikiater berbayar. Sampai saya membuat data dokter —- level nasional, yang bisa diakses secara nasional pula.
Belakangan saya tahu Allah benar-benar maha baik.
Lalu… saya menyadari bukan karena saya kepala 3. Dan atau teman-teman saya bahkan sudah ada yang anak 4. Atau bahkan bercerai.
0.01 AM - 1 Feb (Raisa - Terjebak Nostalgia)
“Mba Amcor” saya mengira betul adalah orang yang paling pertama meniqa di antara HI UGM angkatan saya. Kurang apa coba:
1} sudah pacaran bahkan sejak awal kuliah –sangat mungkin sejak Ospek
2} anak tunggal
3} kaya banget
4} cantipppp
Kurang apa coba advantagenya.
0.12 AM (remake) Buktikan - Vidi/Tiara (origin: Dewi Sandra/Rayen Pono)
Saya (terlanjur), dulu, mencintai orang lain. Tapi saya memang suka sekali jalan-jalan motor tengah malam, dan bagi-bagi kado. Saya mengirim kado untuk orang yang saya cintai itu—dulu–antar langsung ke kota kelahirannya. Dan saya juga mengantar kado ke “Mba Amcor”, di Yogya. “Mba Amcor” juga orang yang pertama kali bertanya lisan “Prad, NSP sedih banget sih, koq milih lagu itu?”
Tanggal ultahnya hampir pasti tanggal-tanggal UTS/Mid, tidak mungkin pulkam. Saya menyadari dia mungkin udah ketiduran kecapekan belajar—sekalipun saya nunggu di depan kos-nya sampai jam 1 malam. Saya sadar betul (saat) saya mengantar kado ke “mba amcor”, dia sedang (dan jelas) aktif berpacaran dengan orang lain,. Sangat mungkin habis belajar —via chatting, dengan pacarnya. Tapi dia tahu betul saya bersikap general tidak akan pernah pilih-pilih/diskriminatif: dia tahu saya pernah memberikan kado ke berbagai yang lain, laki-perempuan HI UGM, jam 00.00, dan “Mba Amcor” tahu betul saya sedang mencintai “Magelang” — saat itu.
00.16 AM (Coklat - Jauh) “.....seribu tanya sesak di dada…kutunggu selalu dirimu”
Sepenghitungan saya, di 1 Feb 2022 hanya ada 5 orang di HI UGM saya belum meniqa. Termasuk saya, dan ….. “Mba Amcor”.
Saya gatau sedalam apa tragedi yang dia alami—-dalam hubungan lelaki-perempuan. Mungkin dia pernah mencoba dengan kaukasian (*saya juga—pernah), terus gagal. Karena dia kuliah di LN, sangat amat logis.
Saya ga pernah sanggup mengelabui kebencian saya pada mba amcor. Dia menggerakkan kebencian ke saya bertahun-tahun. “Persekusi dan retasiar/doxxing bertahun-tahun” dari ratusan orang digerakkan karena kebencian dirinya mempengaruhi banyak orang kepada saya. Tapi saya gagal memupuk kebencian saya ke dia. Kerugian materiil dan imateriil, dan karir, yang amat besar, cuma karena “Mba Amcor”.
00.26 AM (Dhisa - Cintaku Kamu)
Saya berharap dia baik-baik saja. sehat, tidak kena covid, sekeluarganya pun (mama-papanya). Bidang kerjanya —- yang rentan betul dalam / memicu trigger covid, sejak awal Covid terjadi, bikin terus-menerus saya berpikir.
Takdir berkelindan aneh. Saya ga merasa yakin dua orang Jawa akhirnya berada di jalur yang sama. Tapi takdir Allah mau nulis apa, saya ga akan pernah tahu. Saya dulu menerima wanita yang (merasa) amat “hina, rendah”, dengan segala keajaiban bergeletakan dimana-mana, tetap saja malah gagal—diselingkuhi menjijikkan bahkan. Sebagai Jabbariyah banget—-saya berpasrah Allah mau apa, bahwa “keajaiban aneh” yang saya kira membuat saya harus mempertahankan apapun “mantan” saya, hanyalah ujian. Kebingungan menerka takdir, bahkan disaat keajaiban ada aja kejadian di sekeliling saya (yang saya kira) saya harus mempertahankan mantan saya, dulu.
Saya ga yakin menaruh “mistar yang terlalu ketinggian” adalah jawaban. Tapi bagi saya yang terlalu percaya suatu hal tidak akan pernah kebetulan: mungkin Mba Amcor setidaknya beberapa kali ga sengaja bermimpi tentang Prada.
Saya selalu suka menunggu. 1 jam-an di Udan Mas. sekitar 40an menit di lobi Melia Purosani, kemudian 20an menit di lobi Melia Purosani pula (di hari selanjutnya). Menunggu 1,5 jam di Remboelan. Menunggu 1 jam-an dia mengambil mobil dari BSD ke suatu penginapan di Halim, dan saya memisah dari grup HI UGM (yang menginap di Halim) agar diantar ke stasiun (tidak di depan stasiun, karena —— repot putar balik Gatsu). “Ok Prad, gue bisa ambil mobil”. Menunggu dia mengambil pesanan buku di Tampol pun, area yang sangat HI UGM, dimasa lalu.
Saya sayang dan mencintai Ndari……sesederhana itu.
*semua lagu yang ditulis, diputar satu radio yang sama