(Alm.) Buya Syafi'i Maarif, Muhammadiyah, dan Sekolah Swasta
Al Fatihah untuk (alm) Buya Syafi'i Ma'arif
NEM saya masih sanggup untuk mencapai SMP terbaik se-Semarang (/ SMP terbaik ke-3 untuk Jawa Tengah-DIY) pada saat saya lulus SD—dan bahkan saya bukan nomor satu / NEM tertinggi di SD saya. Di SD amat biasa-biasa saja di Semarang (tapi agak mblusuk-mblusuk), SD Negeri. Yang sekolahnya sistem 3 zona jam: ada kelas pagi banget, kelas pagi agak siangan, kelas siang.
Saat saya tiba di Kota Yogya pun, dengan skema dan atau keharusan (1) zonasi dan juga (2) *semacam* handicap bahwa pelajar non DIY kena pengurangan sekian poin NEM, NEM saya masih sanggup mencari SMP Negeri, meski ga mungkin SMP superelit kayak adik saya bertahun kedepan. Keterbatasan waktu dan lain-lain problem administrasial, tapi dibantu macem-macem keluarga di Yogya, saya mendapat SMP swasta — tapi jauh sekali dari rumah untuk ukuran usia 9,5 tahun dan tinggi 105an centi doang: berjarak 13 kilometer. SMP Muhammadiyah 3 Kota Yogyakarta. Almarhum Buya Syafii Maarif sudah menjadi Ketua PP Muhammadiyah saat itu (1998-2005) disaat saya bersentuhan pertama kali, dan ditahbiskan secara tidak langsung sebagai warga Muhammadiyah.
Ditengah dikotomi sekolah swasta (ditambah: Katolik) vs sekolah negeri, saya berusaha melihat hal-hal lain, sembari mengenang Buya Syafii Maarif. Saya tidak asing dengan swasta / bukan negeri, bukan semata karena saya pernah bersekolah di Muhammadiyah. Tapi dua keluarga besar, yang Minang dan yang Kraton, sama-sama pernah atau ada yang sekolah “tidak Negeri”. (Alm) Ayah saya dan kakak-adiknya bahkan sekolah kristen. Di keluarga Minang ada yang sekolah pesantren ultra modern.
Berbanding terbalik dengan saat SD saya harus berbagi jam untuk bersekolah (karena ada 3 shift katakanlah), SMP Muhammadiyah 3 (setelah ini saya tulis saja: MUGA) punya 21 kelas. 7 kelas per level. Saat pertama kali di MUGA, mendapati kelas VII B, karena NEM saya dengan segala zonasi dan pengurangan-handicap, terdata sebagai rentang rangking 50-80, sehingga saya gabisa masuk kelas VII A. Tapi karena (cieeeeeeee….) rangking 1 terus-terusan di kelas VII B, saya saat kelas VIII naik ke kelas VIII A, udah kayak Liga Inggris. Semacam Wolves di Liga Inggris yang naik turun divisi.
Yang (sedikit) menyedihkan dari SMP MUGA: kami terjebak sebagai SMP terkecil bangunannya dan area tanahnya dibanding semua SMP Muhammadiyah di kota Yogya. Per tahun saya masuk, mungkin, jika semua SMP kota Yogya didata, luas bangunan kami MUGA itu juga terkecil. Itulah uniknya bahwa ditengah sekolah kami terkecil secara area, tapi punya kelas sampai 7 (A-G). Saya takjub dong sebagai “warga desa” (kota) Semarang yang SD nya amat sederhana. SMP Muhammadiyah 1 misalnya, amat dekat dengan Kauman tempat didirikannya Muhammadiyah, dan lahan amat luas. SMP Muhammadiyah 2 bahkan berdekatan dengan SMA Muhammadiyah 2, di area Jalan Kapas Kota Yogya, yang juga amat luas.
Lebih rumit lagi, bahwa MUGA tidak punya halaman plus gapura ala-ala sekolah lainnya. jadi bagian depan MUGA itu langsung ruang kaca sebagai piket/resepsionis. Jadi bahkan saat upacara Senin, itu kami berdiri (sebagian) bukan cuma di sebidang lapangan kecil beralas batako, tapi di lantai. Benar-benar agak aneh bagi usia 9,5 tahun saat itu.
Pun sebalnya, jalanan depan MUGA itu ramai tapi sempit. Maka MUGA punya ekskul “Polisi Kecil” atau semacamnya, untuk latihan mengatur lalu lintas. Saya ga ikut ekskul itu, saya malah ikut ekskul (wajib) Hizbul Wathan (pramukanya Muhammadiyah) dan….. dokter kecil (tidak wajib).
Tapi guru-guru dan sampai Kepala Sekolah kami saat itu punya semangat kebanggaan amat membuncah, untuk tidak minder bukan hanya dengan sesama SMP Muhammadiyah di Kota, tapi juga SMP Negeri.
Saya ingat betul hari Senin. Ga ada pengumuman apapun saat upacara, tampak biasa-biasa saja. Saat itu saya kelas dua/VIII (artinya VIII A). Sampai jam 9an pagi (artinya sudah sesi upacara dan jam pertama pelajaran) saya gatau pengumuman yang sudah diucap dari telinga ke telinga para guru. Saat jam 10, seingat saya memasuki jam pelajaran Fisika (namanya Bu Enny), dimana kemudian guru Matematika paling jago yang pernah saya kenal, guru matematika terambisius yang pernah saya diajar seumur-umur, namanya Bu Heri, masuk ke kelas saya.
Dia mengatakan bahwa seorang anak didik MUGA pada kemarin Minggu-nya menempati 5 besar atas suatu perlombaan MIPA yang diadakan suatu Bimbel, untuk level Jawa-Bali. Nama anak didik itu bahkan cuma delegasi cadangan nomor dua (artinya “pemain nomor 7”) karena tiap SMP hanya boleh mengirim 5 siswa/siswi. Nama cadangan dan peraih 5 besar itu: saya.
Saya tidak pernah tahu nama-nama siswa/i nomor 1-4, atau Juara 1-3 dan harapan 1 atas perlombaan itu. Dan saya hadir ikut lomba murni (keberuntungan) karena pada hari Sabtu sore, Bu Heri bilang bahwa dua lainnya sakit dan saya diminta mengisi slot besok minggunya. Yogya saat itu masih berlakukan sekolah 6 hari, saya ingat betul hari Sabtu saat Bu Heri mendatangi saya, saya sedang menjalani Mata Pelajaran “Pendidikan Teknologi Dasar/PTD” (*tidak ada di SMP manapun di Indonesia bahkan di sesama Muhammadiyah—-semacam pelatihan mesin-mesin amat canggih begitulah). Bu Heri Senin itu benar-benar menjelaskan bahwa “Adi Mulia ini aneh ya, dia cuma cadangan. Benar-benar saya ga pernah menduga”. Saya malu betul dipuji kayak gitu, karena memang saya di VIII A tidak siswa yang benar-benar paling jago. Sekali lagi, secara hierarki, saya pemain ketujuh, cadangan nomor 2. Seperti saya bilang, saya berasa Wolves (Wolverhampton Wanderes) yang baru saja promosi ke kelas A.
Sejak ketidakterdugaan itu kebijakan Kepsek jauh lebih aktif membayari segala kompetisi apapun yang diikuti anak didiknya. Band-bandaan sampai mata pelajaran. Sekolah menyadari “barrier” seorang siswa/i enggan maju berkompetisi karena masalah biaya pendaftaran, sehingga Sekolah (MUGA) bertekad menihilkan —- menanggung. Bahkan jika proses administrasial agak lelet, yang membayari langsung adalah (uang) Bu Heri dan segala reimburse yang dibayar Bu Heri itu urusan Bu Heri dan pihak sekolah, tidak lagi siswa harus tandatangan surat macem2 ini itu. Agar setiap anak didik termotivasi ikut lomba “mengharumkan nama MUGA”. Kelak Bu Heri memang benar-benar jadi Kepsek MUGA (saya lupa, kayaknya 2009-2015).
Kebetulan sekali saat saya kelas VIII, dan pasca “ketidakterdugaan 5 besar”, SMP saya memutuskan lebih aktif bertanya, dan atau mendiskusikan ke PP Muhammadiyah untuk pengembangan besar-besaran dengan (berikhtiar) beli lahan baru yang jauh lebih luas. yang artinya Bu Heri (saat itu masih guru Matematika, tapi sudah peranan penting dalam Tim Pengembangan Sekolah) harus kulonuwun, harus bertemu dengan PP Muhammadiyah termasuk (alm) Buya Syafii Maarif. Karena terpecah-pecah areanya, MUGA menyebut dengan istilah “UNIT”. bangunan awal MUGA kami sebut “Unit 1”. bangunan tambahan untuk keseluruhan kelas 3/kelas IX (IX A-G) disebut Unit 2. Suatu lapangan seluas kira-kira 3 lapangan futsal beserta ruang ganti dll, disebut “Unit 3”. Kayaknya, dan harusnya sudah ada Unit lainnya.
Kembali ke kerepotan “lahan mini”, bangunan kelas 3/kelas IX tidak langsung berseberangan dengan bangunan kelas VII dan VIII. tapi terhalang suatu toko ritel dan semacam pabrik UMKM yang sebetulnya ga kepakai. Saya meyakini betul, kas internal MUGA tanpa harus minta PP Muhammadiyah, bisa membeli dua bangunan itu (toko ritel, pabrik). Tapi sampai saat ini, tidak pernah mau kedua pemilik bangunan menjual sehingga MUGA gabisa bikin bangunan yang unik, ala “HURUF N” dimana jalanan dibawahnya (terowongan gitu, mungkin) adalah jalan publik sementara kami diatas terowongan disetting selasar antar bangunan.
Muhammadiyah diyakini sebagai Ormas yang (dianggap) berusaha sangat bijak untuk memutar dana kas warganya untuk terus-menerus membangun RS, SD, SMP, SMA, Kampus, dll. RS PKU Muhammadiyah Gamping dimana (alm) Buya menghembuskan nafas terakhir, dulunya ya cuma dibangun bangunan utamanya dulu (amat besar) dengan jauh lebih besar lagi halaman amat kosong melompong. Semacam “beli dulu aja lahannya seluas mungkin”. Pelan-pelan bangunannya diperbesar lagi, peralatan RS diperlengkap.
Karena (alm) Buya Syafii berhenti/tahun terakhir menjabat Ketua PP Muhammadiyah saat 2005, mungkin 2005 itu sudah dimulai tim untuk nego beli lahan PKU Muhammadiyah Gamping. Termasuk segala pengembangan MUGA saat saya bersekolah 2001-2004 dan kemudian 2005, atas restu (alm) Buya, entah dananya murni dana internal MUGA atau disubsidi oleh PP. Seingat saya di 2010, SMP MUGA sukses mencapai passing grade tertinggi kedua seprovinsi DIY, dan hanya dibawah SMP adik saya: SMP 5 Kota Yogya. SMP yang (rutin menjadi) SMP terbaik se-Indonesia berulang kali dan Penabur (SMP) manapun ga ada apa-apanya dengan SMP 5 Kota Yogya. SMP 5 Yogya juga rutin menjadi sekolah keturunan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat (*adik saya, yang punya gelar RM, di kelas aksel SMP 5, berteman dekat dengan seorang keturunan Kraton).
Muhammadiyah tidak pernah terlalu peduli bangunan utama kantor utama mereka sendiri. Bangunan pertama kali Muhammadiyah, di seberang SMP Muhammadiyah 1 Yogya, ya biasa-biasa saja sampai sekarang. PP Muhammadiyah yang Yogya, 200 meter dari gerbang/gapura UGM, juga bangunan biasa-biasa saja meski ya bertingkat. Bahkan PP Muhammadiyah yang Jakarta kalah megah dibanding Kolese Kanisius sebelahnya, dan apalagi Fraser Hotel sebelah satunya lagi. Setahu saya renovasi PP yang di Jakarta bahkan baru dilakukan tahun lalu, ubah dikit facade bangunan. Bahkan (lagi), lift PP Muhammadiyah yang Yogya (deket UGM), dibangun karena sumbangan (alm) Taufik Kiemas, bukan karena PP mau keluarkan uang untuk beli lift (demi) kantor mereka sendir. Bahkan Masjid di PP Muhammadiyah Jakarta itu terlalu kecil, minimal bagi saya saat numpang salat kira-kira tahun 2015.
Tapi sedemikian berhemat di gedung pusat, ga membuat Muhammadiyah terlalu berhemat untuk hal-hal pendidikan dan kesehatan. Sebagai contoh, tadi saya mengatakan masjid di PP Muhammadiyah Jakarta itu terlalu kecil. Sementara Masjid Kampus UMY itu besarnya minta ampun —- seingat saya ga ada Masjid di Provinsi DIY yang lebih besar dibanding Masjid Kampus UMY. Andai MUGA punya keleluasaan berupa warga sekitarnya berkenan dibeli lahannya, dana internal MUGA sangat mampu untuk beli macam-macam minimal sampai seluas Plataran Senayan. Problem MUGA bukan semata “nyempil” di area padat penduduk tapi juga dibangun di dekat makam.
Tapi mungkin itulah Muhammadiyah hadir, termasuk (alm) Buya hadir. Tidak peduli kesulitannya, Muhammadiyah berkomitmen membangun sarana pendidikan dan kesehatan bagi umatnya. Dari pelosok Gantong di Belitong/Belitung (Laskar Pelangi) sampai ke Australia.
Saya tidak bisa mengatakan sekolah saya selalu rangking terbaik, berbanding dengan kebanggaan Penabur misalnya yang elit, anti tawuran, dan sebagainya yang sedang viral. Saya bahkan juga bukan mengambil Muhammadiyah lagi untuk SMA, karena saya mengambil SMA negeri yang terdekat karena ga mau lagi 13 kilometer (atau 26 km pulang-pergi). Tapi Muhammadiyah berusaha mengurangi beban pemerintah untuk hadir ditengah warga, jika memang suatu area memang benar-benar tidak ada sama sekali bangunan (RS atau institusi pendidikan) negeri.
Mungkin orang-orang mulai tahu cerita ini: (alm) Buya Syafi’i Maarif pernah mengalami bayinya wafat saat dirinya ga punya uang. Disitulah, sepertinya, (alm) Buya sangat aktif dalam (pula) membangun RS PKU disaat dirinya memimpin Muhammadiyah, dan bahkan dengan semacam skema yang memungkinkan pasien miskin bisa berobat dengan tenang (*bahkan diluar sudah ada BPJS——karena Buya purna tugas PP Muhammadiyah sejak 2005): agar tidak ada lagi warga yang mengalami tragedi seperti dirinya.
Komitmen Muhammadiyah ke pendidikan dan kesehatan juga mengilhami yayasan / organisasional turunan yang tidak secara langsung “underbouw” Muhammadiyah, tapi para penggeraknya hampir semuanya Muhammadiyah. Al Azhar dan Al Izhar misalnya, utamanya Al Azhar. Sekolah dan RS dimana-mana ada Al Azhar, ga lagi Muhammadiyah. Tiap penetapan puasa dan ied, Al Azhar selalu mengikuti Muhammadiyah, sebagai contoh amat dekatnya Muhammadiyah dan Al Azhar. Belajar amat masifnya Muhammadiyah bangun macem-macem, Al Azhar apalagi, sangat agresif.
Meski sama-sama Sumatera Barat, tapi Ibu saya dari Bukittinggi, dan (Alm) Buya orang Sijunju(a)ng. Artinya saya setidaknya irisan bersuku sama dengan (Alm) Buya. Saya ga yakin jawaban ini paling tepat/akurat, tapi karena (Alm) Buya memimpin Muhammadiyah saat 1998-2005, artinya saat dimana Muhammadiyah gencar-gencarnya memperluas tambahan bangunan RS dan fasilitas pendidikan. Minimal beli tanahnya dulu, yang kemudian dilanjutkan (restu dan koordinasinya) oleh Ketua PP setelahnya (Din Syamsudin; lalu Haedar Nashir).
Belum dimakamkan tapi mungkin 30 menitan lagi, dipandu Jokowi yang dadakan kembali lagi ke area Jawa Tengah-DIY (*setelah menikahkan adiknya, sudah terlanjur ke Jakarta lagi kemarin) akan memimpin pemakaman di makam Muhammadiyah di Kulon Progo.
Al Fatihah tuk (Alm) Buya Syafii Maarif
Masjid Al Ikhlas(h), iya pakai h dua kali, diketik mulai 11.27 (terpenggal hanya pada jumatan)