IWD: Memori Geprek Mas Kobis dan Geprek Bensu
With or without ayang, you’re worthy of all the love in the world, Ndari
With or without ayang, you’re worthy of all the love in this universe, Ndari
Ndari dan saya punya kelemahan (entah itu disebut kelemahan atau sebetulnya “biasa saja” – saya menyebutnya kelemahan): tidak suka pedas. Ini sangat tipikal Jawa (yang cenderung pro manis), kabarnya. Gudeg-ish, gulali-ish. Ndari 100% Jawa, saya 50% Jawa.
Ini mungkin memalukan banget bagi saya yang setengah kraton setengah minang: sudahlah tidak sanggup pedas, tidak bisa makan langsung pakai tangan telanjang. Saya bingung banget saat masih amat kecil (nangis ke Ibu saya di dapur rumah gadang), makan bersama para tetua adat di kampu(a)ng nan jau(a)h di mato, tidak ada sendok—-saya ga bisa makan telanjang tangan. Saya pernah bertahun-tahun menyimpan sendok dan tisu higienis sobekan sachet di tas saya, karena kelemahan mendasar saya ini.
=============
11.16 pm (Firasat, Marcell) — tapi memang malam ini Bulan Sabitnya memang amat indah, meski sendu. “....the crescent arching your smile …” (“…bulan sabit melengkungkan senyummu…”)
===========================
Dua anak kepedesan geprek di tepi UNY. Pojokan meja Mas Kobis. Saya cukup yakin saat itu, siang, baru ada Ndari dan saya. Karena memang biasanya ramai pagi. Kami siang terik, karena Ndari baru bebas jam apalah-apalah dari Hotel siang-siang. Saya biasanya reflek ke Masjid kalau sudah amat siang (*dan hapal masjid gang manapun).
Seingat saya Ndari halangan, sehingga saya berusaha lebih fleksibel beribadah. Oh ya tidak hanya Mas Kobis. Seingat saya (*bisa jadi Ndari akan memberi jawaban berbeda—seingat dia—-dikoreksi aja lho Ndari) kami muter-muter UGM. Dari perempatan Sagan. Mencoba (saya dan dia) inget-inget ini kosan siapa, ini kosan siapa. Bahkan, ya tentu saja mampir FISIPOL dan tentunya HI UGM.
Mungkin kami berdua tidak benar-benar murni kepedesan. Murni kaget karena sudah bertahun-tahun tidak merasakan “kuliner sekitar kampus”. Al - Maidah lah (Al - Maidah pedes juga sih, saya masih ingat satu baki dituang sambel panas-panas baru dari wajan), Gudeg Yu Djum, Bakmi Wonogiri, Nasgor deket PSKP, Monalisa. Ndari mungkin lebih banyak lagi “preferensi”-nya karena Ndari nge-kos di Udan Mas. Saya kan tidak nge-kos.
I really love her, and pray to her.
Saya kesulitan memisahkan kejadian Geprek Bensu dan IWD (International Womens Day) dengan asosiasi pada satu orang yang (kuharap saya bisa mengenal lebih jauh—saya harap): cuma Ndari.
==========
11.58 pm (Hingga Nanti, Vidi Aldiano - Andien) “...cinta yang akan saya ingat selalu…”
=================
Sebagai “gacoan” (apa ya slang yang lebih tepat—frontrunner mungkin) suatu “starap” kepada MenPar Arief Yahya (saat itu), saya kurang tahu Ndari apakah menempati “anak emas” starap dalam relasi dengan berbagai Menpar. Baik sebelumnya (artinya Bu Mari Elka Pangestu) atau setelah Arief (Wishnutama; Sandiaga). Benar, bahwa setidaknya di HI UGM ada yang benar-benar di Kemenpar, bahkan amat sering jalan-jalan ke LN (angkatan saya, dan angkatan 2005). Tapi secara struktur “non Kemenpar” tapi “amat dikenal menpar” (minimal Arief Yahya) kayaknya cuma Ndari.
Saya ga yakin Ndari cukup ekspresif dengan banyaknya hal-hal dinamis, fluktuatif seputar wisata. Luhut membebaskan tes PCR dan tes antigen untuk penerbangan dan kereta api misalnya (kece dong tuk bisnisnya Ndari). Tapi Mandalika ga kejual tiketnya (bad news—-ga ding, kejual koq akhirnya, bisa dilihat disini). Tapi juga ditambah “kisruh” penipuan (ada yang menyebut lebih presisi: “ambush publicity – legal tapi ga etis”) terkait klaim berbagai lembaga (bahkan sampai kampus pun) dalam hal Paris (Week) semata atau benar-benar Paris Fashion Week— dengan yang paling viral adalah Geprek Bensu. Mencoreng banget nama Indonesia. Malu banget.
Siapa lagi kalau anak starap–dekat &/ punya (atau) dikenal baik dengan Menteri directly, dan pernah di Paris, kalau bukan Ndari.
Saya gatau seberapa membingungkannya narasi publik Indonesia. 1,5 bulan lalu, saat wafat karena covid naik pelan-pelan dari 20 lalu 40 lalu 80, haduhhh… di twitter bisa 2k retweets saking paranoid. Masalahnya, sekarang, atau lebih detil: dalam 4 pekan terakhir, wafat Indonesia rerata malah 230-400 jiwa/hari. Masalahnya, ya… malah makin tinggi pembelian tiket konser, tiket hura-hura. Ya saya tahu sudah makin banyak yang divaksin sampai 3 kali. Tapi kepedulian saat (berbulan) lalu baru 40-an jiwa wafat seolah2 kiamat, ya kepedulian tipu-tipu. Kan Lucu, orang-orang lebih pesta-pesta saat wafat 300-400/hari, tapi malah marah-marah saat wafat harian baru 40-50-60/hari.
Harusnya Ndari dan kantornya baniir rezeki—dengan segala risiko nyawa ratusan harian melayang kalau-kalau nular covid. Entahlah.
Balik lagi ke “hal tidak etis” di Paris.
Mungkin…. her peak performance saat MenPar nya masih Arief Yahya. Kayaknya saat Mas Tama, atau mungkin terlalu pendek durasi Mas Tama, Ndari ga cukup ((((menjajaki kolaborasi))) atau semacamnya. Pun juga sudah masuk covid age kan. Di era sandiaga, mungkin, mungkin ya, Ndari -as a startap’ers- merasa flop banget sama kelakuan (((partner kubu pemerintah)).
Does Ndari acknowledge that…. PRADA is (of course) permanent-exclusive contingent on couture Paris Fashion Week? (YAWN)
Outlet PRADA di Indonesia cuma ada di PI dan PacPlace SCBD. Khusus PacPlace, plakat PRADA ada juga di sisi luar bangunan, karena PRADA menyewa amat besar ukuran gerai.
Tapi di Eropa, dengan pedestrian yang jauh lebih ramah dibanding semua mall di Indonesia, sangat mungkin Ndari kesal tiap kali ada gerai Prada di Eropa saat dia keliling jalan-jalan, dulu (saat kuliah).
Tren publisitas (demi) konten ini sederhananya dimulai dengan heboh sekali tiap-tiap lembaga di Indonesia berlomba mengiklankan di Times Square NYC. Saya membacanya (sebagai anak ahensi–eks sih) ada suatu mediator / promotor yang tahu caranya mengiklankan disana, dan kemudian mendapat order intens dari Jakarta sejak 2019. Saya tidak paham mengapa makin meluas sampai Paris Fashion Week. Mengapa sampai kampus merasa harus beriklan di PFW.
Saya berpikir, dan tidak akan kaget bahwa kelak berbagai lembaga di Indonesia akan berlomba mendapat spot luminasi cahaya (ditembakkan ke) Burj Arab Dubai sebagai sasaran lanjutan beriklan.
Olok-oloknya, dulu, Axton Salim kedapatan pergi ke NYC, tapi membantah bahwa Indofood (atau apapun salah satu bisnisnya) mau beriklan di Times Square. Dia hanya bilang “ini cuma liburan dan pergi ke Disney”. Fakta yang terjadi, sudahlah Axton ga jualan atau ga beriklan via (billboard) di Times Square, sekarang di NYC ada “Warkop NYC”. ala warung mas-mas (asal kota) Kuningan dengan mie, burjo, sawi, gorengan dan lainnya. Spot potensial wisata viral— yang lekat dengan kerjaan Ndari.
=============
Ditengah IWD (International Womens Day) ini, saya merasa sedih justru (datang arahnya dari) eks pertemanan adik saya. Di masa lalu saya, saya pernah punya orang yang secara tidak langsung bukan semata assistant pribadi (cadangan–atau anggaplah keempat) CT. Tapi bahkan dia yang memimpin proyek film dokumenter CT untuk istrinya, terkait pernikahan emas.
Jadi setelah Gofar, saya tahu betul kalau PT naksir–dan saya kira akan menikah dengan pengusaha muda, namanya Ojido. Kalau saya ga klik link berita (menolak kena clickbait), saya akan mengira 5 hari lalu beritanya PT akan menikah dengan Ojido. Ternyata bukan. Laki-lakinya mirip banget Ojido, tapi bukan Ojido. Namanya ya silakan gugel sendiri— yang bukan semata kebetulan anak tarnus (& lulusan terbaik di angkatannya–artinya di angkatan yang sama dengan adik saya). Tapi pernah satu bangunan asrama penginapa bertahun-tahun dengan adik saya. Saya ga yakin proses di asrama itu ganti2 letak kasur, tapi minimal satu asrama yang sama dengan adik saya.
Asrama adik saya sekitar (kalau di Tarnus anda menemukan prasasti batu amat besar), dari prasasti tersebut harus jalan lebih ke dalam sampai 800 meter. Jangan sedih, masih ada yang jauh lebih dalam lagi.
Hanya ada satu orang — orangnya mirip saya pola karirnya, amat berpindah-pindah dalam hal teknis IT (loh Prada ngerti IT–ya iyalah), yang saya sampai kontak demi isi otaknya. Saya sedang menyiapkan laporan bebas (tidak terikat NDA apapun), laporan 130 halaman, tentang pola funding “starap” (sedetil mungkin—”termasuk yang tak tertangkap radar orang kebanyakan bahkan tak tertangkap radar diantara pelaku starap itu sendiri”), dan saya meminta pertolongan orang ini. Saya menyadari betul bahwa orang/laki-laki (paling) akhir yang (akhirnya) akan menikahi PT anaknya CT, bersimpul sangat kompleks dengan kebutuhan funding bagi CT.
Saya sedih banget Ojido “dilepeh”---anggaplah demikian. Saya menyebut dengan sarkas semacam ini: Pembuktian.
Ojido tidak diberi kesempatan oleh seorang perempuan (koq ya sama-sama Minang kayak saya lho) cuma hanya ada laki-laki yang (koq ya) kebetulan banget posisinya simpul atas hub pendanaan luar biasa besar di LN. Seolah Ojido “ga punya kapabilitas membantu memperbesar bisnis ayahnya PT”. Padahal Ojido ya pebisnis muda juga.
Saya sulit percaya hal percuma menjadi kebetulan. Saya percaya tidak ada yang kebetulan. Memang sudah jalannya sejak 3 pekan lalu saya memulai report 130 halaman itu, menyadari ribuan nama dalam lalulintas funding starap, beberapa nama saya coba ingat-ingat diluar kepala —- then — lamaran PT dan anak tarnus ini. Nama anak tarnus yang sudah muncul dalam laporan saya beberapa hari sebelum acara lamaran di Menteng.
Entahlah.
(Ini selalu tentang tantangan) Pembuktian.
Saya kehilangan kesempatan pembuktian. Saya tahu betul minimal tiga (3) orang yang menelantarkan saya dalam hal pembuktian (kapasitas cinta, atau kapasitas bersuami/dipilih layak sebagai pasangan) mengalami perceraian, all karena KDRT. ada yang lain tapi bolak-balik lebam pacaran. Saya tahu betul Ndari juga belum menikah. Secara vulgar, Ndari gagal menikah (cek substack saya lainnya).
Saya yakin Ojido berusaha betul membuktikan dirinya “tidak opsi yang buruk harusnya”. Luka (yang diterima) laki-laki, dalam banyak kasus, benar-benar terbawa sampai mati untuk dibuktikan.
================
0.41 am (Jauh, Cokelat). “…… Kutunggu dirimu selalu…”
===========
Setelah cukup sembuh dari nyeri jantung dan otak, seperti biasa saya mencoba jalan-jalan (dengan masker lapis 6, ga lagi 4) ke toko buku. Suatu komik, ini sudah setua Dragon Ball, Doraemon, Conan, tapi memang agak kalah populer. Komik ini sudah menerbitkan jenis-jenis versi (tidak lagi original komiknya). Contoh konteks original, Conan itu yang versi original adalah yang bahkan di Jepang bakalan nomor 103 (sementara di Indonesia baru nomor 100), sementara Conan di Jepang dan Indonesia sudah terbitkan versi non-original (kadang menyebutnya spinoff—-tapi spinoff kalau karakter tertentu). Komik yang saya maksud, tidak spinoff, tapi masih si tokoh utama, cuma dikemas berbeda.
Saya hampir nangis baca komik terbaru di edisi/volume terbaru di versi repackage ini komik. Jadi dirinya ketemu teman lamanya. “Sudah tidak bertemu lebih dari jumlah jari ya” Keduanya punya pasangan masing-masing. Saya memang kebetulan fans hardliner komik ini—jarang banget sih yang hardliner untuk komik ini.
Saya masih berharap agar saya bisa ketemu lagi dengan Ndari sebelum 2025 atau 2026, lebih dari 10 tahun, lebih dari jumlah jari, atas kejadian di Geprek Mas Kobis. Saya sudah mencoba menunggu berjam-jam, Mei 2020 lampau. Entahlah. Dalam ceritanya si (posisi) perempuan sudah punya anak dan (bahkan) yang pingin nangis di toko buku: si perempuan punya usaha butik bouquet bunga. Hal, item yang bertahun-tahun saya amat piawai bikinnya.
Saya masih yakin bahwa ditengah gangguan neuron semacamnya, dan ditengah “cuma bercak-bercak sekilas melihat potongan masa depan”, Ndari tidak akan dalam posisi menikah dan atau punya anak di 2026.
==========
Ramalan itu terasa jauh dan dekat secara bersamaaan. “Prad, kamu hanya akan menikah satu kali, tidak akan cerai koq ditengah segala problem perselingkuhan mantanmu yang amat-amat menyakitkan, tapi perempuan yang kamu rebut itu, hanya akan membuat puluhan ribu laki-laki berkelahi dan marah ke kamu”.
Saya tidak kunjung bisa di tengah malam ini mendefinisikan nama—-dan biarlah ini rahasia Tuhan.
Kayaknya masih cukup worth it kondisi tersanderanya antara Ndari dan saya. “hewan-hewan” dianatara kita, Ndari, masih sering mengganggu (& tidak sampai kugelandang ke jeruji), meski sudah 10 tahun m engganggu. Toh dirimu tersandera —- mungkin orang lain bilang karma: “menjahati tanpa sebab, memaksa/mendorong puluhan orang lain menjahati satu orang doang”, sementara dirinya ga kunjung, gagal, berkubang atas kegagalan planning rumah tangga. Lose-lose game.
Anggaplah secara vulgar seperti ini:
Ndari secara sadar meminta ratusan orang “menggebuki” saya. Saya masih mendapati gangguan, dan bahkan tahun ini gangguannya melebar dialami teman-teman terdekat saya —- melalui “suruhan tak langsung” Ndari. Apakah Ndari sadar bukan saya yang harus sibuk klarifikasi ditengah kerjaan saya banyak banget. Sadarkah dia, kalau… mungkin, karmanya, dengan terus-menerus “mesin kebencian” yang dihidupkan secara sadar oleh Ndari, dan dibiarkan begitu saja membunuh saya, dia mendapat karma bahwa dia bolakbalik gagal nikah misalnya.
Saya pernah sebegitu membenci hewan-hewan yang dipelihara Ndari, membuat saya benar-benar sebut nama doa sampai nama bapak ibu mereka—-agar mati segera. Lalu saya diajari “oarng ayng masa lalunya lebih targis”, bahwa “kamu ga perlu kayak gitu—-dan biarkan saja karma berjalan”. Then, saya tahu hewan-hewan tersebut juga mengalami kematian di sekelilingnya. Lose-lose game.
Saya gatau Ndari sadar atau tidak bahwa semakin tidak terkontrol hewan-hewan yang dipeliharanya, semakin karma itu mendala pula dialami dirinya.
Tapi entah kalau Ndari “betah” bermain lose-lose game kayak gini. Mungkin dia tahu betul saya mengalami rugi materiil dan imateriil atas kelakuan hewan-hewan yang diperintahnya. Tapi dalam benak, gut, dan pojokan hatinya, dia sadar betul ternyata dia sendiri teraniaya oleh karmanya sendiri. KALAU…dia menyadari bahwa karma itu menyandera dirinya. Anak tunggal, satu-satunya penerus keturunan, (terlalu) pemilih, tersiksa batin, entahlah. “Pelanjut nama satu-satunya”.
Dan tahu betul, orang yang paling dirugikannya, adalah orang yang paling tulus mencintainya bertahun-tahun.
Seperti ucapan sakti, berulang-ulang, dari Ibu saya, “… kita tidak bisa memaksakan harapan kita terpenuhi semua, gapapa ….gapapa….”. Iya, kalau saya bisa memaksakan harapan, saya berharap betul ayah saya ga wafat saat adik saya masih usia 7 tahun.
Saya masih bisa —- tuk tahun kesepuluh, membiarkan dan memaafkan keadaan yang ada koq Ndari. Memaafkan kelakuan hewan-hewan.
Andai saya dikasih kesempatan pembuktian oleh Ndari. “Tuk hal lain”.
Tapi bulan sabit malam ini memang bagus banget, Ndari.
(not Geprek MasKobis, just another Geprek…but)
Tapi bulan sabit malam ini memang bagus banget, Ndari.
Happy International Womens Day, Ndari
I love you.
=========
0.57 am (Bila Kuingat, Lingua) “....Kutunggu sampai malam meninggalkanku”
============