Mengapa Indonesia akan semakin Membenci AS dan Membiarkan Rusia di Ukraina
benar-benar ditulis demi ahli Rusia di Indonesia, Mas Radityo Dharmaputra
Saya kenal Mas Radit (Radityo Dharmaputra) sejak acara Pertemuan anak-anak HI di 2008, tuan rumahnya (kampus) Mas Radit itu sendiri, Unair. Sampai saya lulus, malah UGM tidak didaulat menjadi tuan rumah acara semacam itu — tapi ya gapapa. Kami (HI UGM) tertua, ga harus memaksa jadi tuan rumah acara-acara gituan.
Sekitar 3 pekan lalu, secara amat viral, opini Mas Radit meluas ke banyak pihak. Dirinya merasa betul bahwa “publik Indonesia apriori, antipati, ENABLER, terhadap kekejaman Rusia, dan itu pun semakin menjadi karena dibantu berbagai tokoh2 prominen di Indonesia”. Lebih luas lagi, menurut saya, banyak sekali akun (mengklaim) ahli militer Indonesia, sangat defensif untuk melakukan eufemisme kegagalan beberapa serangan Rusia ke Ukraina, dan atau tetap merasa / membanggakan kebesaran/kecanggihan peralatan Rusia. semacam “jangan seneng dulu, Ukraina (dan NATO, dan AS, dan Finlandia yang hampir pasti anggota baru NATO — negara berbatasan langsung Rusia sepanjang setidaknya 1340 km dengan Rusia)”.
Mas Radit memang kebetulan berkuliah ke Rusia. Seingat saya, diantara 2002-2011 HI UGM, pun cuma satu orang yang kuliah ke Rusia, gatau apa ketemu Mas Radit di Moskow. Meski saya cukup menguasai isu Eropa, saya tidak se-deep dalam isu Rusia. Tapi minimal sejak perang dimulai (24 Februari 2022) saya membuat live update. Dengan HP, serumit itu ngetik.
(untuk membayangkan betapa besarnya impresi twit ini, lihat 1200+ retweets dalam sejam. Kenapa bisa setinggi itu: Hala Gorani adalah wartawan Yahudi-AS paling senior diantara perempuan Yahudi-AS lainnya di CNN)
Sekitar satu jam lalu, dua momen yang saya yakini “menitnya hampir bersamaan terjadi”, berlangsung. Dan dua momen ini akan semakin membuat, mungkin, Indonesia akan bodo amat dengan Ukraina — meski 30% roti Indonesia setidaknya dibikin dari gandum Ukraina.
Dua momen itu:
1} telpon Berlin - Moskow. antara Kanselir Olaf Scholz dan Presiden Vladimir Putin. Menurut berbagai laporan DW dan BILD, sepanjang 75 menit, isu paling intens dalam telpon tersebut: definisi Denazifikasi. Isu sensitif dua negara yang terlibat Perang Dunia 2
2} Dipukulinya peziarah - utamanya pengangkat peti jenazah, apapun agamanya, yang mengiringi prosesi final pemakaman wartawan Al Jazeera yang dibunuh dengan sniper oleh Israel, bernama Shireen Abu Akleh. Shireen kristen, lahir di Jerusalem, tapi berwarganegara ganda: (punya juga) paspor Amerika. Upacara pemakamannya kemarin dinilai/dikenang publik Palestina termegah sejak prosesi dikebumikannya Yasser Arafat (lahir di Kairo): tanah yang dibela Yasser sampai mati. Yasser Arafat wafat 11 November 2004 di RS Militer di Paris. Arafat bahkan tidak dimakamkan di Jerusalem: wasiatnya adalah jasadnya diminta dipindah ke Jerusalem jika suatu hari Palestina merdeka sepenuhnya dari Israel. Hingga saat ini jasad Arafat dimakamkan di Mausoleum Arafat di Ramallah (istilah disana: Muqata, tempat yang sama dimana Shireen kemarin kamis mendapat upacara kebangsaan).
Shireen, karena lahir di Jerusalem, terhormat, dan Kristen, dimakamkan di Gereja komplek Kota Tua Jerusalem (Mount Zion).
Sebetulnya ada momen ketiga, tapi terjadi 7 jam lalu jika dirujuk menit saya mulai mengetik ini di HP (bukan barengan dua momen diatas). Bahwa pemerintah Amerika berinisiatif mendanai investasi sebesar 150 juta dollar untuk ASEAN (bukan satu negara saja), demi memperkuat hubungan AS-ASEAN, ditengah makin agresifnya pendekatan China.
Segera saja semua ahli HI langsung “nyinyir”: (untuk/demi) Ukraina 1 pekan lalu, oleh Biden sendiri, mengajukan proposal baru senilai 33 MILIAR dollar. Ukraina ga nyampai 70 juta jiwa — ya meski memang lagi kelahi melawan militer terkuat ketiga di dunia setelah AS dan China (*saya meyakini China sudah overlap Rusia). Tapi total bantuan AS ke Ukraina diluar proposal baru ini, secara terealisasi, sudah 8 miliar dollar, dan masih ada 2-3 Milliar dollar yang otw direalisasikan.
Anda bayangkan negara 88%-89% Muslim seperti Indonesia, menjadi semakin muak dengan AS karena bahkan seorang kewarganegaraan Palestina-AS, Kristen pun dibiarkan tanpa “pengusutan yang akuntabel” senjata sniper militer Israel. Secara nyinyir, berbagai orang palestina saat melihat acara pemakaman Shireen sampai ricuh dan bahkan peti Shireen benar-benar hampir jatuh, warga Palestina dengan tepat bahwa “Media Barat” hanya menuliskan “CLASHES”. terlalu sering Media Barat mengecilkan tiap kebrutalan Israel. Bahkan saya hapal betul setidaknya wartawan NYTimes biro Israel-Palestina: Patrick Kingsley, Hiba Yazbek (perempuan-Palestina), dan Raja Abdulrahim (perempuan-Palestina). Tapi tentu saja hasil laporan bisa diubah di kantor pusat di NYC.
Anda bayangkan jika ekstremis Kristen di Amerika gantian me-sweeping semua yahudi di Amerika karena secara brutal polisi dan tentara israel memukuli peziarah di gereja tempat yesus dikebumikan. Hal ini sangat mungkin terjadi.
Lalu perdebatan Berlin-Moskow. Untuk pertama kali Scholz menelpon Putin, setelah bertemu langsung di Moskow 16 Februari (8 hari sebelum perang). Intinya keduanya tidak juga menemukan titik temu tentang mendefinisikan denazifikasi, apalagi titik temu untuk (mendorong) gencatan senjata Rusia-Ukraina.
Kebencian sebagian warga Indonesia terhadap AS, menjadi personifikasi sempurna mengapa (sebagian) warga Indonesia mengidolakan Putin: berani tampil beda, terlepas segala kebrutalannya sama saja baik AS dan Rusia utamanya di Timur Tengah.
Jokowi amat bersahabat dengan Zayed Nahyan, yang ayahnya 3 jam lalu wafat. Otomatis Zayed kini adalah Raja/Emir pengganti ayahnya, pemimpin tertinggi UEA. Jokowi amat jelas bersahabat dengan Xi Jinping. UAE dan China amat aktif abstain di UNSC, untuk membela Rusia (*UAE anggota tidak tetap UNSC dalam periode 1 Jan 2022- 31 Des 2023). AS tidak bisa dan tidak pernah bisa berharap Indonesia amat memihak AS dkk di G20 besok November kalau hal supersensitif di relung hati warga Indonesia, apapun agamanya, selalu dibiarkan dilukai AS: Palestina.