Merujuk note sebelumnya, tentu saja: saya sudah segerakan salat gaib untuk almarhum Eril. Setelah benar-benar ada berita jasad ditemukan, dan bahkan Kang Emil sudah di Swis lagi. Alfatihah untuk Eril.
Semua orang (mungkin) tertuju bagaimana (kemudian) Nabila Ishma akan melanjutkan hidup. Untuk standar mba-mba model hijab yang (bahkan kebetulan) banyak banget yang (sama-sama) lahir di Bandung, Nabila beneran cantikkkkk banget. Tentu saja saya tahu nama-nama mba-mba hijab di iklan2 kerudung atau kosmetik. Saya nih, kalau kebetulan ada yang request data dokter (selected name) dan yang request pakai nama Nabila, hampir pasti saya dahulukan: saya punya teman amat-amat keterlaluan baik, sejak SD, bernama Nabila juga—-dan beneran supermodel.
Saya berusaha mengenang saat (mendoakan dengan) yasinan sebelum Jumatan tadi, bukan cuma almarhum ayah saya atau pun Eril, tapi juga …….. Pipit. Apa yang terjadi dalam konteks Nabila Ishma-(alm) Eril nyaris mirip dengan … Pipit.
Pipit, we (bhissak) still missed you. I missed you.
Pipit dan Nurshadrina, sama-sama tinggi jangkung. Teman SMA saya dua-duanya. Udah pacaran pun sejak kelas X SMA. Mio Perak, dimodif lebih lebar untuk bagian jok. Dan Nurshadrina selalu cara duduknya nyamping (bukan paralel dipunggungi menghadap arah yang sama dengan pengemudi).
Ya. Pipit ini cowok. Nurshadrina cewek. Hijab pun, mungkin——sejauh yang saya ingat, berhijab paling rapi di SMA saya. Rok panjang pun. Nurshadrina ga kalah cantik dengan Nabila Ishma.
Dulu, saat SMA, tim senioritas (semacam kolektif kolegial 6 tahun diatas saya—udah kek anggota DK PBB) memilih khusus 6 anak tiap angkatan dibawahnya. Misal “kolektif kolegial” 1996, memilih 6 anak di SMA saya yang angkatan 2002. dan selanjutnya. Saya kurang yakin ini karena (murni) SMA saya sangat premanisme di Yogya: SMA kami dikenal sangat jago berkelahi, tapi sampai per 2022 ini SMA saya lucunya tidak pernah menimbulkan korban jiwa dan tidak pernah mengalami kematian karena dibunuh dalam ajang perkelahian/tawuran.
SMA saya tidak jelek2 amat: saat saya masuk, batas terbawah yang lolos ke SMA saya adalah NEM sekitar 21,7 dengan nilai total NEM 30 (karena yang diujikan di SMP —- per tahun saya lulus SMP ke SMA cuma 3 mapel). Saya kalau gak salah 23,4. Nilai 21,7 (terbawah) lebih tinggi dibanding dua SMA top Jakarta: SMA 6 dan SMA 70 di tahun yang sama. Tidak bermaksud riya’ enes. Akhirnya Pemkot Yogya mengubah SMA saya menjadi sekolah olahraga (meski tetap ada mapel reguler), untuk mentralisasi stigma SMA tukang tawur. SMA saya sejak Asian Games 2014 sering kirim atlet di level Asia (bukan semata PON atau Sea Games) meski sialnya belum ada yang level Olimpiade. Mudah-mudahan Olimpiade Paris 2024 ada lulusan SMA saya yang mewakili kontingen Indonesia.
Saya dan Pipit dipilih “dewan kolektif kolegial) bersama 4 orang lainnya. Entah kenapa kebetulan 6 “sialnya” yang terpilih seagama semua——tanpa bermaksud tidak merepresentasi nonmuslim. Karena 6 orang tiap tahun tiap angkatan (diatas saya, dibawah saya) ada nonmuslim. Tapi memang tahun angkatan saya cukup ekstrim ndugal—-dan kebetulan (*saya pikir2, dan iya juga ya) tidak banyak siswa/i nonmuslim yang beneran menonjol.
Saya dipilih (diantara 6 orang lainnya) karena dianggap “untuk pertama kalinya ada siswa Bhissak yang benar-benar aktif di kampung dimana bersebelahan langsung dengan Bhissak, dan siswa yang sanggup dengan sadar dan sukarela, berani ke SMA-SMA yang dianggap musuh kami”. Saya kemudian memang jadi wakil dipilih Pemkot Yogya atas nama Bhissak ditengah genting2nya perkelahian, tawuran, klitih, dimasa saya ber-SMA. Tiap SMA SMK Kota Yogya dipilih satu siswa/i. Saya berharap betul satu anak Stece masih hidup saat ini, “perwakilan juga”, tentu saja (gadis) Kristen, dan tidak wafat karena Covid. Pinter banget orangnya, ga kalah sama semua anak HI manapun.
Pipit, lucunya, dipilih justru karena representasi geng SMA saya. Dia dipilih karena “dianggap satu-satunya yang aktif berkelahi, tapi bisa memahami untuk kebutuhan berkomunikasi, kebutuhan “PINTU BELAKANG” komunikasi antara Geng sekolah kami dengan OSIS-MPK sekolah kami”. Pipit memang jauh lebih rileks menjembatani komunikasi dengan OSIS-MPK disaat semua pihak Geng sekolah berusaha menghindar. Saya sendiri kebetulan OSIS (bukan MPK) dan juga Rohis (APAAAAAAA….. akhlaqless Prada anak Rohis?????). Saya bahkan Ketua 2 Rohis. Bagaimana mungkin nama panggil “too-catholic” jadi Rohis. Pipit bahkan juga aktif sebagai anggota Rohis. Udahlah suka kelahi, aktif Rohis. benar-benar membingungkan.
Sampai kami lulus dan masuk kuliah, kami meyakini betul “sebentar lagi Pipit dan Nurshadrina menikah”. Kita tinggal nunggu undangan. Sampai……
Pada suatu pekan di November tahun 2***, dua kejadian wafat terjadi diantara kealumnian Bhissak. Yang satu, adik dari salah satu teman seangakatn saya, kecelakaan di Jalan Monjali. Kedua, ya … Pipit.
Kami semua seangkatan histeris banget-banget. Bagaimana mungkin Pipit yang jago ngebut dll, jago berkelahi, berakhir dalam kecelakaan. Tapi kami semua seangkatan benar-benar kepikir satu orang: (bagaimana hancurnya) Nurshadrina saat itu.
Mungkin, Pipit dan Nurshadrina sudah lamaran dan tidak dipublikasikan saat itu. Jadi semacam kami seangkatan merasakan (pula) gimana Nurshadrina kehilangan.
(khusus) bagi saya, saya kepikiran level laki2 seperti apa yang sanggup menjadi pengganti Pipit untuk Nurshadrina. Belakangan saya baru mendengar Nurshadrina menikah dengan jenderal (/apalah levelnya, kayaknya AU, pilot Sukhoi). Jadi setinggi itu levelnya. Saya malas ngedoxing.
======
Saya yakin sudah mencapai belasan jutaan twit hanya terkait Eril sejak hilang —- yang beritanya (mulai diberitakan hilang) hanya terpisah menit dengan berita (duka) wafatnya alm Buya Syafi’i Maarif.
Artinya terjadi, atau suatu dinding besar: gimana coba siapapun laki2 seindonesia yang akan mengisi/menggantikan posisi Eril untuk Nabila Ishma—katakanlah demikian. Burden-nya bahkan akan seumur hidup. Apalagi jika Kang Emil “entah takdirnya kayak gitu atau ga jadi”, misalnya, Kang Emil jadi Presiden. Laki2 yg jadi suami (in de facto) Nabila Ishma “Menggantikan peran” Eril yang ga sempat menikah karena wafat di Swiss.
===========
Setiap kali (mencoba) memahami wanita, saya selalu keinget tips lucu dari seorang teman saya: “jangan takut sama yang pakai cincin di jari manis prad, harusnya kamu lebih takut sama yang cincinnya masih di jari tengah”.
Tapi saya berusaha mungkin tahu “tanpa harus doxing” sejauh apa wanita yang berusaha saya sapa, apakah punya …. trauma kehilangan pria yang benar2 wafat. Bukan ayah ya, tapi benar-benar (pernah) punya pria yang dicintai tapi telah wafat. Saya gabisa dan (kalau dipiki2) ga pernah mendekati wanita yang punya trauma separah itu.
Sampai……
Sampai ……..
Kayaknya ada semacam istilah gini “kamu akan ditakdirkan menikah dengan orang yang latar belakangnya kamu benci”, dan itu terjadi di miliaran pernikahan. Benci Yahudi, eh nikahnya sama Yahudi. Benci Suku Sunda, eh nikahnya sama keturunan Suku Sunda. Benci (persaingan, karena ga kekejar level kampusnya dengan) UI, eh nikahnya sama anak UI.
Saya ga pernah membenci Jawa. Saya in fact 50:50 minang dan kraton. Gila aja saya membenci Jawa. Tapi ya… saya pernah mencintai banget 100% jawa.
========
“tenang wae Prad, kamu ke sana (SMA *****), kalau kamu diapa-apain, langsung sms aku, kita bikin perhitungan”. Pipit menjamin saya banget-banget. Bahkan kepada siapapun “non Genk” Bhissak, memastikan keselamatan. Dia memang orangnya keras banget. Tapi amat baik. Loyal. Terlalu loyal. Itu pula yang melekat banget (cara dia loyal) ke saya untuk menilai loyalitas. Sekolah kami lebih brutal dibanding Tarnus dalam melatih fisik: Pipit secara harian sanggup atas nama Bhissak melindungi siapapun. Saya yakin sanggup, kalau perlu, “memakai Tangan (jika tidak bisa diingatkan baik-baik selama 9 tahun” Untuk Mengatasi orang2 jahat sekampus saya. tapi andai masih hid up, orang2 jahat ini bener2 dihantam sama dia kalau saya minta.
Pit. We really missed you. Sesama TONTI/Paskib, sesama Rohis pun.
Alfatihah untuk Eril.
Alfatihah untuk Pipit.