On My 18th Birthday
Saya ga ingin yakin-yakin amat bisa (ingin) umur amat panjang. Saya gatau kenapa sejak4 hari terakhir situasi Indonesia panas betul (diluar isu mudik): yang dokter baku hantam, yang tim strategi 2024 baku hantam. Kata teman amat dekat saya di Amrik, yang berjuang menangani covid di RS (*menurut googling, bangunan RS - nya lebih gede dibanding RS Fatmawati) “love like today is the last day, we control nothing, nothing at all” (menyiratkan, ga usah kejauhan berharap). Toh saya juga baru selesai lolos radang otak. dan beberapa anggota keluarga saya, baik sisi kraton maupun minang, tragedinya, wafat muda.
Ayah saya bahkan wafat saat saya belum nyampai 10. Saya bahkan sebetulnya anak laki-laki nomor kedua tertua (bukan pertama), sampai sepupu saya, jauh lebih bagus, lebih tinggi, lebih cakep, wafat di dapur hotel berbintang lima (*saya masih merasa painful wafat mendadak ini—-terus-menerus mencoba memahami banyak sekali petanda jika ada kejadian seperti ini lagi).
Tapi okelah, karena saya lagi suka banget The One That Got Away, saya coba, dulu, saat berumur 18, saya ngapain dan akan ngapain dan sudah ngapain aja. Yang jelas saya ga mungkin nyetir Mustang atau nyuri bir. Saya bisa ngebut motor tapi gabisa nyetir mobil, dan jelas saja: Mustang bukan merk lazim di +62.
Mungkin usia 18 di Amrik memang baru setara High School. Dan mostly, anak-anak Yogya-Jateng, kelahiran 89-88-87 yang masuk HI UGM 07. Saya menyadari banyak Jakarta HI UGM 07 yang 90, dan bahkan Wulan pun bukan 90. Saya cuma kalah muda (satu-satunya yang bisa mengalahkan saya) dari Galan, yang lucunya orang Solo: kota yang logikanya 2007 kuliah biasanya kelahiran 88/87. Saya baru mengetahui info yang seumur-umur (baru) disampaikan Bibi saya 3 pekan lalu, yang pada intinya mengapa (almarhum) ayah saya berusaha betul menyekolahkan saya amat dini: karena ayah saya punya trauma amat mendalam—-22 tahun setelah wafat baru saya tahu alasannya.
Wulan dan Saya sama-sama lahir di hari Kamis.
Saya masih amat mencintai Binar, bukan Wulan. Bahkan sebetulnya saya sudah ketemu perempuan bernama Febe (HI Unpad) yang berusaha betul saya dekati ——— tetep aja gagal. 18 tahun, artinya saya sudah melakukan hal stunning, yang terus diingat Wulan (& lebih tepatnya berbagai anak HI UGM): kado Sarkozy, 00.00 20 April 2008 (*Wulan ultah ke-19) yang ditunggu Prada sampai jam 1 pagi, dan saya amat tahu dan amat sadar Wulan pacaran dengan orang lain, dan Wulan tahu saya (sedang) ngejar Binar.
Saya ingat betul ucapan Wulan seperti ini: apakah kamu memilih NSP itu karena dilukai Binar, Prad?
*hanya HI UGM 07 yang tahu NSP apa dimaksud ——- kemungkinan HI kampus lain khususnya Tim Eksternalnya.
Mei 2008 kami di BEM UGM, tergabung dalam BEM SI (BEM Seluruh Indonesia), dipukuli di depan DPR, molotov pun, keserempet peluru karet pun beberapa orang (termasuk saya). Mas Budi, ketua BEM KM UGM tahu betul saya punya amarah berlipat dan berlimpah.
Maka oleh Mas Budi, saya di plot jauh-jauh hari agar saya bersiap untuk mengadakan Konferensi BEM SI pertama di Indonesia. Kelak, berbagai kegiatan BEM SI dipusatkan di Rusunawa dan di Fakultas KH dan Fakultas Peternakan karena perizinan ruangan untuk dipinjam jauh lebih mudah, dan jauh lebih tidak dicurigai politis (*berbagai Fakulas punya kesulitan tersendiri jika BEM KM UGM meminjam ruangan). Saya masuk BEM sejak Oktober 2007 bukan dari jalur partai mahasiswa soalnya pula. Jadi saya lebih fluid untuk pergi kemana-mana tanpa BEM Fakultas merasa diawasi BEM Pusat/BEM KM, karena yang keliling “orang apolitik” kampus: Adi Mulia Pradana
Saya lebih semangat nulis macem-macem bukan semata karena melakukan (diminta Mas Budi) kajian lebih tajam dan terukur (dengan cara) keliling tiap-tiap BEM Fakultas, pasca chaos di depan DPR pada 12 Mei. Tapi juga karena sudah bertemu Febe dalam kompetisi paper. Febe amat pintar. Saya tahu betul banyak sekali anak HI (di berbagai Universitas manapun) “kupu-kupu” yang bisa 3.9 atau 3.95, tapi Wulan dan Febe pintarnya amat berbeda, dan bukan terukur dari angka. Tapi kan …
Tanpa bermaksud riya’, riya’ enes, meski saya sempat ga masuk kuliah berulang cuma demi BEM, IPK saya masih diatas 3,7 per 2008, meski banyak anak 07 yang IPK nya 3,9. Jadi saya sudah mulai bisa mendaftar Tutor. Kalau semester tiga, artinya baru bisa jadi tutor matkul wajib semester 1. Saya amat setia dengan Bu Ilien (bersama Dhimas Iman Pratama, dan kemudian Dhimas tutor di dosen lain) dan Bu Titiek (sendirian). HI 07 lainnya ga berani ambil matkul Bu Titiek untuk jadi tutor. Juga malas ambil Bu Ilien karena ada perkuliahan Bu Ilien yang harus ke gedung Sekip. Saya sih suka-suka aja. Nambah jam belajar-untuk-memahami-cara-mengajar-dan-memberi-nilai.
Mungkin satu-satunya segmen hidup, katakanlah demikian, agak menyesal, saat umur 18, adalah ga ikutan YFL McKinsey. Saya lebih memilih jalur yang lebih “nyerempet bahaya”: Legal Intern dan bukan dari sayap parpol, di DPR. Tapi bagaimanapun saya juga (sepatutnya) ga menyesal, karena saya punya banyak pengalaman berdarah-darah di DPR. Nungguin rapar sampai jam 4 pagi disaat ratusan staf Kemenkeu bergeletakan tidur di sepanjang koridor DPR, nyaris 3 pekan selalu begitu, dan tiap tahun misalnya. Belum lagi hal nyerempet bahaya lainnya. CIA station lah. Di gurun lah. Di hutan lah. Di suatu neraka di tengah Menteng lah. Saya berusaha menjadi, atau, bisa mendengar moral hazard saya sejernih mungkin, berusaha menjaga kompas moral saya tak salah menunjuk, belajar terus-menerus sebagai “constant compass” terlepas ga ada yang bersedia mendengar *sebelum belakangan pasti semuanya menyesal abai ke prada).
Wulan bahkan tahu saya pernah ngejar Febe. Tebak: Wulan dan Febe di kantor yang sama. Nyaris mungkin di level manajerial yang sama, karena Febe dan Wulan sama-sama ambil Bisnis S2 di luar negeri (*Wulan lebih spesifik turisme, atau apalah nama lengkapnya). Saya bisa memastikan tanpa harus doxxing apapun, karena suatu kecelakaan menolong seorang ibu-ibu, memberikan input bahwa dua-duanya di kantor yang sama. Saya bukan hewan-hewan haus darah teman-temannya Wulan yang suka doxxing dan nyaris mencelakai ibu saya, pun suka sekali memfitnah dan impersonate dan memperburuk nama saya-adik-ibu saya. Entah siapa antara Febe atau Wulan yang resign duluan.
Apakah saya menyesal mengirim kado ke Wulan saat PSBB 2020? Ga pernah sama sekali.
Apa saya menyesal pernah mencintai orang lain lebih dulu, bahkan naksir anak HI kampus lain, baru kemudian Wulan? Juga ga pernah saya sesali.
Apa saya menyesal berdoa terus-menerus untuk kebaikan Wulan nyaris konstan satu dekade (*atau per takbiran 2023/20 April 2023 mungkin sudah sedekade) meski ga ada gunanya? Juga tidak pernah saya sesali.
Apa saya menyesal dengan momen di Melia Purosani hingga Mas Kobis? Juga tidak pernah sama sekali.
Apa saya menyesal mencintai pelacur dan baru pelan-pelan mencoba mencintai Wulan? Iya.
Apakah setelah, upbeat yang begitu kuat, sejak 15 April kemarin sampai Hari Buruh ini, kamu menyesal melakukan kebaikan untuk Wulan? Tidak pernah sama sekali.
Apakah kamu benar-benar, pernah ketemu orang yang mirip Wulan, baik perangainya, ego, bahkan perawakannya: Berulang, tidak 1x (ada yang persis banget Wulan—-pun style bajunya), tapi Wulan tetap lebih baik.
Saya yakin Wulan tidak pernah menyesal menolong saya ditengah Studi Ekskursi.
Saya gatau siapapun memilih puasa tanggal Muhammadiyah atau Pemerintah. Tapi seperti 20 April lalu kutunggu sampai jam 4 pagi: selamat sahur, Wulan.
Sayang banget saya lupa kartu ucapan ketiga. Bukan cuma kartu ultah saat itu untuk Wulan. Tapi juga kartu lebaran yang sulit banget dicari lagi, sempat saya sisip akhirnya. Maaf lahir batin ya Wulan. Harusnya aku juga naruh kartu ketiga: kartu ucapan pernikahan. Saya bahkan beli kartu semacam itu, tapi ragu menaruhnya.
(via Hoboken, 2018)