Saya Khawatir Lebih Goebbels Dari Ade Armando, Tapi Saya Perlu Membela Jokowi
agak nyerempet UU ITE tapi bodo amat
Salah satu isu yang menjadi kekecewaan terbesar saya atas 7,5 tahun Jokowi sebagai RI-1 justru bukan ekonomi atau pendidikan (meski itu mengecewakan). Tapi … akses bangunan ibadah agama, tuk semua agama.
Besan Jokowi (dari pernikahan Gibran, artinya keluarga Selvi) adalah nonmuslim. Saya cukup yakin ( *saya membiasakan tidak ngegoogle, murni ingatan sendiri) salah satu dari keluarga besar Jokowi secara langsung (bukan karena perbesanan, per-iparan jauh) ada yang memeluk agama bukan Islam, entah Kristen atau Katolik. Tapi situasi langsung atas faktual beragama seperti itu, tetap tidak membuat Jokowi secara agresif, baik kepada Islam maupun ke non Islam, lebih mudah mendirikan bangunan ibadah. Saya benar-benar secara sadar menulis: yang Islam pun.
saya yakin satu-satunya BUMN (dengan bangunan bergedung tinggi) yang punya masjid amat besar di tengah-tengah bangunan (di antara sekian lantai dari 40an lantai) cuma TELKOM. saya pernah ke Masjid ini, ga bisa disebut Mushola. Tapi sejak lama, sinyalirnya, sebegitu bagusnya Masjid di TELKOM adalah (justru) bentuk keberhasilan radikalisme beragama di TELKOM (termasuk TELKOMSEL). Saya tidak menghitung masjid Kementerian BUMN yang bagus banget dan besar, karena “KEMENTERIAN”. saya sudah keliling banyak banget bangunan BUMN, bangunan private sector, dll. Dan saya bisa bilang juga: Masjid yang amat bagus dan besar, ga harus selaras dengan radikalisme. Bisa koq yang moderat-moderat santai bisa menyediakan masjid yang super layak. Harusnya.
Saya bisa katakan lebih vulgar lagi: hanya ada dua masjid (bukan semata Mushola) yang layak di pencakar langit, tapi sayangnya keduanya justru simbol kemunduran ekonomi. Masjid Pasaraya Manggarai dan Masjid Pasaraya Blok M adalah hanya dua masjid super layak dan super besar di bangunan diatas 7 lantai, yang tidak bisa lagi disebut mushola. Sayangnya, Pasaraya sudah dianggap sebagai / gambaran kemunduran ritel. Saya dulu tahu betul ada ACE dan Transmart di Pasaraya Blok M, dan sekarang keduanya sudah tidak ada lagi menyewa. Bahkan dengan (KONON) perusahaan starap terbesar keenam seasia berkantor di Pasaraya Blok M, ternyata tidak mampu meramaikan Pasaraya Blok M.
Apakah Grand Indonesia, yang pajaknya konon tiap tahun (*atau bukan cuma pajak, semacam sewa tanah—agak rumit secara legal—-silakan googling sendiri kasus hukum Grand Indonesia) selalu ngemplang 400-550 Miliar tiap tahun (googling sendiri “kurang bayar pengelola Grand Indonesia) punya masjid yang amat layak? ga ada. Tiap Jumatan, warga pekerja GI selalu harus melebar ke Kebon Melati, dan kalau malas jalan, ke lantai 9 parkiran “west-east”. apakah itu layak, kalau saya secara vulgar, BCA (yang dibantu banget pemerintah atas relaksasi kredit, apalagiditengah covid) dan pengelola GI (yang tiap tahun ngemplang bayar) dengan segala keringanan dari pemerintah (rezim) Jokowi, ternyata ga membalas dengan mendirikan Masjid yang layak untuk 500-1000 jiwa misalnya, bukan semata Mushola? ga pernah dibangun tuh.
Apakah Mayapada Tower dan juga (setiap) RS Mayapada punya Masjid yang layak? Ga ada. Disaat Dato Tahir (owner Mayapada) adalah bagian rezim, bagian dari anggota Wantimpres. Apakah Chairul Tanjung bangun masjid layak di komplek TransCorp-Bank Mega di Mampang? ga tuh. cuma Mushola sumpek, arah jalan kaki membentuk L dari resepsionis TransCorp. Saya yakin ga ada Masjid layak di tiap Transmart.
Saya tahu betul bangunan-bangunan gereja, ballroom dijadikan gereja (dan tidak bisa diset jadi aula nikahan/murni tuk settingan gereja) di puluhan gedung bertingkat di Jakarta, dan belum hitung di kota lain. Saya tahu betul logikanya: toh Prada, mereka ga boleh bangun gereja di tanah tapak, maka dengan “SEPERSEPULUHAN”, mereka bangun sebagus mungkin ballroom disetting jadi Gereja, di puluhan gedung. OK. jadi malah timpang kan: Yang Islam cuma dapat panas-panasan di parkiran tiap Jumat, yang non muslim ibadah nyaman ber-AC.
Kenapa sih Jokowi gabisa win-win? Paksa dong pengusaha yang utang budi sama dia/kebijakan rezim, agar bikin masjid (bukan semata Musholla) yang super layak, dan bukan di parkiran. Sementara Jokowi harusnya juga bisa, dengan mencoret SKB 3 Menteri, untuk mempermudah agama diluar Islam membangun bangunan ibadah. Nyatanya, “bensin” kecemburuan “Islam di parkiran, yang Kristen di tempat ber AC” menjadi “fuel” yang abadi untuk membunuh popularitas Jokowi. Bahkan saat Menteri Agamanya dipilih yang “selalu dicap” terlalu dekat sama Kristen (karena orang GP Ansor), masalah “tit for tat” bangunan ibadah ini ga kunjung selesai. Yang Kristen merasa dipersulit, maka mereka ga mau bangun masjid yang amat layak di tiap gedung pencakar langit. Ini belum ungkap kasus-kasus menjijikkan antara ulama, pemuka agama non Islam, sampai pejabat elit terkait “lendir, seks”, yang entah terungkap / terekspos setelah UU TPKS disahkan.
Saya bertahun-tahun (sebelum Covid) mendampingi GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia di depan Istana, entah hujan atau panas-panasan terik. suatu Natal, saya diseret 120an meter, luka parah, digebuk, cuma karena sikap saya membela GKI Yasmin. Pada situasi amat kritis Pilkada DKI Ahok vs Anies, saya dibacok pakai golok dari belakang demi membela keluarga non muslim yang dikepung massa beringas pro Anies. Dan saya sadar betul, juga, untuk mengatakan dengan vulgar, bahwa bangunan untuk Muslim beribadah masih amat kurang layak. Saya yakin bukan Goebels untuk Jokowi atau Ahok: saya tergerak membela, 10000% sadar penuh berisiko nyawa.
Jangan pernah menyepelekan sedekah warga Islam. Atau bisa saja ada yang nyinyir “ya wajar yang islam gabisa bikin ballroom ala Kristen atau Katolik, karena Kristen atau katolik nyumbangna 10%, sementara Islam paling banter {zakat} 2,5 persen”. Gal, gak kayak gitu logikanya. 7 juta warga di Monas (ga lah ya, ga nyampai segitu) dan acara tahun selanjutnya (yang juga ga mungkin nyampai jutaan), tetaplah super masif, dan ga mungkin seumur hidup Kristen Katolik dll bisa melakukan semasif itu di Indonesia.
Saya bisa dikata ultra liberal sejauh ini (dalam postingan ini), meski justru sangat kecewa kurang banget masjid yang layak dalam 7,5 tahun terakhir. Lebih layak dan lebih meluas jumlahnya. Saya tahu betul APBN membiayai hampir satu triliun untuk Masjid Istiqlal saja, tapi bagi saya yang ultra liberal, ini ga cukup meredakan rasa timpang “yang islam ibadah di parkiran, yang Kristen ibadah ber-AC”. Saya tahu betul Thohir family bangun masjid bagus banget di Los Angeles, tapi ya percuma saja kalau Erick, dengan jabatan Menteri BUMN, hanya punya peninggalan masjid di area BUMN yang bagus cuma TELKOM (yang sudah ada sejak bertahun lampau).
Anda akan lebih masif lagi menemukan fakta ini di berbagai ART dan Sopir orang2 kaya non Muslim, yang beribadah di tempat hina, sementara majikannya ibadah di tempat AC. Yang menyebalkan, bahwa bukti saat kuliah, oleh teman-teman saya, saya sering disebut santo / orang suci, karena sering puasa sunnah/tidak wajib dalam Islam. Harusnya saya sulit dikatakan Ultra Liberal, meski saya juga tidak mungkin disebut Ultra Konservatif.
Saya pernah berlumuran darah lebih parah dibanding Ade Armando, meski tidak sampai ditelanjangi. Saya masih suka nyeri bagian belakang. Tapi saya berharap betul bahwa saya bukan Goebbels untuk Jokowi.
Perkataan Luhut langsung tanpa takut di depan ratusan anak-anak UI, di UI beneran (bukan di istana), sudah cukup jelas dan penting bagi saya. “Memangnya saya tidak boleh punya pendapat dan kebijakan yang beda dengan kalian”. Betul banget ucapan Luhut. Kalau di AS, namanya (hak ini) amat dilindungi Amandemen.
Jadi Ade Armando amat berhak, apapun sikap dia, saat 11 April lalu, untuk bicara apapun pikiran dia. FREE SPEECH. Kebebasan Berekspresi. Jadi jika yang gebukin Ade kini diuber habis-habisan, ya itu salah dia juga: ngapain gebuk Ade Armando.
Saya sadar betul, Kapolri (yang kebetulan Kristen) pasti tahu bukan akan cuma diikuti Mahasiswa, tapi pasti diikuti pembenci Jokowi non mahasiswa: ultra konservatif Islam. Kapolri tahu betul kekacauan (dulu dianya belum jadi Kapolri) saat sengketa hasil Pilpres 2019, berpekan-pekan antara Gedung MK-Bundaran HI ( *saya ngirim bouquet dan makanan minuman berhari-hari ke tengah area konflik* ). Maka Kapolri begitu melipatkan jumlah armada tuk amankan 11 April, agar mahasiswa juga tenang berdemo. Yang akhirnya tetep aja jadi ricuh.
Saya tidak se - Goebbels Luhut atau Ade Armando kepada Jokowi. Atau yesman. Atau orang-orang lain yang lebih “yesman lagi” dibanding keduanya terhadap Jokowi. Saya sadar sepenuhnya untuk mendukung Presidensi cukup 2 periode saja, karena di saat Orba, almarhum ayah saya berusaha betul “petak umpet” agar tidak dikejar2 oknum Orba yang berusaha nyogok dia. Saya diajarkan betapa jahatnya Orba, sehingga saya sadar sepenuhnya Jokowi tidak perlu 3-4 atau 8 periode. Biarkan Singapore, dengan “Yew Family”, kuasai Singapura sejak 1965 sampai sekarang, dan entah 8-20 dekade lagi. Yew Family lebih otoriter dibanding Orba atau bahkan Putin pun.
Tapi saya amat sadar bahwa Jokowi juga diserang “ultra sistematis”, dibayar dengan skala triliunan kebencian akan Jokowi ini, dengan cara serampangan. Saya sulit sekali membenarkan “ke-Goebbels-an” orang-orang seperti Ade Armando atau bahkan yang lebih yesman lagi ke Jokowi. Tapi secara sadar, harusnya publik juga sadar, pembelaan terhadap Jokowi tumbuh, entah dibayar atau tidak dibayar ( *saya tahu betul orang-orang yang tidak pernah dibayar rezim manapun, dan amat royal membela Jokowi* ) karena memang Jokowi secara sistematis dibunuh citranya. Terlebih ditengah Covid, dan kini polemik Ibukota Baru.
Saya jelas pernah, berulang, entah di media sosial apapun, mengkritik flip flop Jokowi. Minimal di isu satu printilan kecil ekonomi, dan printilan kecil isu pendidikan. Tapi saya berusaha betul tidak menjadi Goebbels untuk Jokowi. Saya berharap tetap bisa membela Jokowi, dan saya ga pernah takut kerumunan seperti pengepungan dialami Ade Armando, karena saya juga pernah mengalaminya.