Jokowi, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, His Behavior About Eid Adha, & Election 2024
Full Indonesian language (for my total 3% subscriber - Indonesian speaking), I’m really sorry. This is about political - mixed religion toward Election 2024 in Indonesia. Apologize to 74% non-Indonesian reader (around 24k subscribers). If interested, can use google translate.
=========
Biasanya perbedaan mencolok bagaimana publik (tidak cuma di Indonesia, termasuk di luar negeri) bagaimana meyakini “ini sudah masuk lebaran” dan atau “ini sudah masuk 10 zulhijah”, adalah tentang: peribadatan wukuf.
(Ini bukan chat saya, tapi saya dikasih)
(Jokowi di Istana Gedung Agung, Kamis, 29 Juni 2023)
Bagi siapapun yang awam dalam Islam (meski tetap amat rajin beribadah), perhitungan secara matematika (MUHAMMADIYAH banget) atau pun yang harus memastikan melihat bulan / hilal secara telanjang mata (NU banget/NAHDLATUL ULAMA banget), tentu sulit sekali memahami keabsahan jika memang tidak ada / tidak punya ilmunya, sehingga publik awam “cenderung ngikut aja.” Maka saat perdebatannya (utamanya idul fitri) selalu super sulit melihat telanjang mata hilal (UTAMANYA NKRI yang bergunung-gunung, kepulauan, tidak seperti negara kontinental yang super rata seperti hampir semua negara Timur Tengah yang bergurun), mereka akan kesulitan berdebat jika tidak punya ilmu memahami penghitungan kalender hijriah.
Tapi perdebatan menjadi lebih mencolok HANYA JIKA Saudi Arabia menetapkan KAPAN HARI ARAFAH nya. Publik muslim sedunia cenderung “manut”, patuh, karena ada sesuatu yang BISA DILIHAT dengan mata telanjang dan tidak seperti (SULITNYA MELIHAT) hilal/bulan baru: melihat 2.7 jutaan orang wukuf di arafah TIAP tanggal 9 Dzulhijjah, sehingga publik muslim sedunia meyakini bahwa besoknya 10 Dzulhijjah adalah Idul Adha. Lebih mudah berdebat dengan “tuh di Saudi aja sudah wukuf, masa’ besok belum Idul Adha” daripada berdebat “tuh hilalnya ga keliatan” dimana ga jelas takaran/mengukur terlihat atau tidak terlihat bulan.
(Bulannya ga gini juga sih)
Sejak Almarhum Buya Syafii Maarif wafat, saya menyaksikan secara gamblang betapa vulgarnya NU secara mudah memposisikan Muhammadiyah sebagai “minoritas”, bahkan terkadang dengan kalimat-kalimat (yang memposisikan bahwa Muhammadiyah adalah) pembangkang. Padahal Menko PMK adalah Muhammadiyah (Menteri Muhadjir Effendy). Ketua PAN saat ini, Zulkifli Hasan, adalah Muhammadiyah tulen, dan memang sejak didirkan, PAN (Partai Amanat Nasional) terafiliasi secara tidak langsung dengan Muhammadiyah (sama seperti PKB = NU). Dan kebetulan sekali, dirinya yang masuk kabinet karena proses reshuffle, dimana dirinya mendapat kursi Menteri Perdagangan, bahwa kantor Kementerian Perdagangan (Tugu Tani, hanya 100an meter dari US Embassy) adalah sama juga cuma berjarak sekitar 150an meter dengan kantor PP Muhammadiyah yang Jakarta (karena PP Muhammadiyah juga punya kantor pusat di Yogyakarta, dekat UGM).
Jokowi adalah 100000% Jawa, dan saya bisa katakan 1000% tindakannya “punya arti”, “punya kode”, dan bukan melakukan sesuatu “ya cuma asal melakukan saja.” Dirinya punya track record untuk Salat Ied Fitri (BUKAN Ied Adha) hampir di kota yang perolehan suara untuk dirinya tidak bagus-bagus amat.
(*Jokowi dan opsi Shalat Ied Fitri, bukan kota / tempat yang menang signifikan - cuma menang tipis banget saat pilpres 2014 dan 2019. Beberapa malah kalah telak)
Maka saya cukup bertanya-tanya: bahwa disaat Saudi Arabia sudah memastikan sejak awal 9 Dzulhijah adalah SELASA kemarin (bukan Rabu), dan bahkan kalender Nahdlatul Ulama dicetak jutaan lembar sebetulnya juga menulis bahwa 9 Duzlhijah SELASA dan Idul Adha nya RABU, tetapi karena pemerintah sendiri memiih KAMIS sebagai IDUL ADHA, saya cukup masygul bahwa Jokowi sengaja memilih Salat Ied Adha tahun ini bukan hanya di Yogya, tapi juga di dalam Istana Gedung Agung, satu dari istana kepresidenan Indonesia.
Yogya adalah basis Muhammadiyah. Saya yakin betul, banyak sekali warga Muhammadiyah yang meyakini Idul Adhanya Rabu, sengaja menunda salat Ied agar bisa beribadah bersama Jokowi di lapangan yang sama: lapangan rumput/pelataran Istana Gedung Agung, dan menjadi beribadahnya (pindah ke) KAMIS.
Saya meyakini ini sengaja, dan sebetulnya mungkin secara tidak langsung, “menyudutkan Muhammadiyah” : di kota basis dan tempat lahir Muhammadiyah, Jokowi menyengaja Ied di hari yang berbeda dengan Muhammadiyah.
=====
(SUARA NU dan APAKAH MUHAMMADIYAH tidak lebih berharga)
Elektabilitas Prabowo terjaga amat tinggi di hampir semua polling. Bahkan jika pun (MISAL) ada skenario PILPRES dua putaran, suara yang MISAL awalnya memilih Anies Baswedan, 95-100% akan berpindah ke Prabowo. Saya sendiri meyakini tidak akan ada pilpres dua putaran karena paslonnya (SAYA YAKINI) cuma dua: kandidat Prabowo, dan kandidat Ganjar.
Tanpa memoles tiba-tiba beribadah haji lagi, Prabowo cukup tenang tetap di Indonesia. Tidak seperti Ganjar dan Anies yang kembali berhaji (lagi). Banyak pola-pola pemetaan bahwa Islam Ultra Konservatif dan Islam NU tetap akan memilih Prabowo, BAHKAN jika Muhaimin (PKB) bukan cawapres Prabowo. BAHKAN LAGI, (saya melihat, tapi tidak bisa saya sebutkan siapa pollster dan berapa pola angkanya), jika paslonnya GANJAR - MUHAIMIN, siapapun cawapresnya Prabowo, Prabowo tetap akan menyedot banyak sekali suara NU dan TETAP menang pilpres.
Saya khawatir Jokowi terus-menerus “memihak secara tidak langsung” NU cuma karena khawatir Ganjar kalah. Maksudnya, Jokowi berusaha “bandul keberpihakannya” lebih dekat ke NU, agar banyak warga NU tetap memilih Ganjar. Istri Ganjar sendiri adalah anak Kiai terkemuka dari NU. Harusnya Jokowi tidak perlu khawatir “Ganjar kurang diapresiasi NU”, tapi bahwa Jokowi memilih Yogya dan bahkan (*saya berusaha tidak menggoogle, tapi saya yakini ini pertama kalinya Ied di pelataran istana gedung agung Yogya) Ied nya berbeda hari dengan Muhammadiyah, yang notabene lahir di Yogya.
Mudah-mudahan saya keliru. Tapi bahwa saya sendiri selaku Muhammadiyah, merasa ada “kode khusus” dari Jokowi yang (SENGAJA) Ied Adha di Yogya, dan itu sangat politis.
Salah satu korban dari (kebijakan) Jokowi yang bersikeras beribadah di KAMIS: Ibu saya, pemilih berulang kali untuk Jokowi, yang bersikeras meyakini tetap Rabu. Tapi karena rumah kami (berpindah-pindah, karena ibu saya dibunuh tapi gagal mati oleh hewan-hewan HI UGM) amat jauh dari masjid paling dekat menyediakan ibadah Ied Adha Rabu, Ibu saya tidak beribadah Ied. “toh cuma Sunnah, tidak perlu ngoyo.”
Ibu saya (10000%) Minang yang menikahi laki-laki Kraton Solo (almarhum ayah saya, 1000000% Jawa), kota yang sama dengan Jokowi.
==========END————
Thank you, as always, for reading. If you have anything like a spark file, or master thought list (spark file sounds so much cooler), let me know how you use it in the comments below.
If you enjoyed this post, please share it.
If a friend sent this to you, you could subscribe here 👇. All content is free, and paid subscriptions are voluntary.
————
-prada- / Adi Mulia Pradana is a Helper. I used to get paid to catch all these blunders—now I do it for free. Trying to work out what's going on, what happens next. Arch enemies of the tobacco industry, (still) survive after getting doxed.
(Very rare compliment and initiative pledge. Thank you. Yes, even a lot of people associated me PRAVDA, not part of MIUCCIA PRADA. I’m literally asshole on debate, since in college)
========
Thanks for reading Prada’s Newsletter. I was lured, inspired by someone writer, his post in LinkedIn months ago, “Currently after a routine daily writing newsletter in the last 10 years, my subscriber reaches 100,000. Maybe one of my subscribers is your boss.” After I get followed / subscribed by (literally) prominent AI and prominent Chief Product and Technology of mammoth global media (both: Sir, thank you so much), I try crafting more / better writing.
To get the ones who really appreciate your writing, and now prominent people appreciate my writing, priceless feeling. Prada ungated/no paywall every notes-but thank you for anyone open initiative pledge to me.
(Promoting to more engage in Substack) Seamless to listen to your favorite podcasts on Substack. You can buy a better headset to listen to a podcast here (GST DE352306207). Listeners on Apple Podcasts, Spotify, Overcast, or Pocket Casts simultaneously. podcasting can transform more of a conversation. Invite listeners to weigh in on episodes directly with you and with each other through discussion threads. At Substack, the process is to build with writers. Podcasts are an amazing feature of the Substack. I wish it had a feature to read the words we have written down without us having to do the speaking. Thanks for reading Prada’s Newsletter.