Apakah Kami Yang Muhammadiyah Dihitung "Kafir" Sehingga Kami Tidak Boleh Meminjam Tempat untuk Salat Ied
Warning: explicit, vulgar explanation, local issue in Indonesia
Keduanya kebetulan (setaraf, kapasitas ilmu Islamnya) Kiai dan sekaligus termodernisasi: sama-sama kuliah S3 di luar negeri. Yang satu di Australia (Monash), yang satu di Belgia. KH Nadirsyah Hosen dan KH Ayang Utriza Yakin juga dikenal “pembaharu dan plural-toleran”, “suka mengucap-menyampaikan pandangan sejuk. Bahkan kelembagaan yang didirikan KH Ayang, KAYFA (merujuk nama beliau) sendiri menegaskan sebagai kelembagaan Islam penyampai nilai-nilai Islam secara sejuk secara harian.
Mecca (Mekkah), Madina (Madinah) Ied Friday 21, not Saturday
2023, menurut Kantor Berita Australia SBS, adalah untuk pertama kalinya sugnifikan terbelah kesepakatan tentang 1 Syawal, bukan 2019:
Tapi twit-twit dari kedua Kiai ini, setidaknya per April 17th, jam 10.10 pm waktu Brussels, tidak dihapus dan diyakini tidak akan dihapus, tidak menyesal diposting: memberi polarisasi bahwa Muhammadiyah tidak patuh pemerintah dan kemudian tidak berhak meminjam area pekarangan dan bangunan pemerintah untuk Salat Ied.
Kemudian menjadi sinyalemen bahwa “warga Muhammadiyah, sama-sama membayar pajak” tapi menjadi dilarang memakai bangunan dan pekarangan pemerintah. Bahkan diluar negeri, warga Muhammadiyah membayar pajak dimana mereka berada dan mungkin sekaligus membayarkan pajak sanak saudara mereka di Indonesia.
Lucunya: sinyal “anti pajak” awalnya sejak 2 bulan lalu ditiupkan sendiri oleh (sebagian) warga NU, karena menyoroti kebiadapan (oknum) anak dari pegawai ultra kaya pajak yang (kebetulan) menganiaya seorang remaja kader NU.
(Di Amerika, orang yang dihalangi beribadah, bisa menuntut ke pengadilan tertinggi, ke Supreme Court. Kasus: pegawai USPS, semacam PT Pos Indonesia-nya America, menggugat USPS karena dirinya sulit berubada minggu ke gereja)
Saya paham dan pernah mengetahui, bertahun lampau (teman saya di Vegas menyebutnya lebih vulgar: persekusi) kebiadapan hambatan beribadah: bagaimana seorang yang saya kenal, dipersulit untuk salat karena sehari-hari harus mengurusi anjing, sehingga amat sulit beribadah, & bahkan majikannya sendiri seperti membiarkan anjingnya bermain meluas di lantai — lantai dimana cuma sepetak itu untuk dia salat. Setiap kali saya tidur di Menteng, dari dinding sebelah, saya bisa mendengar dia menyengaja pakai volume tinggi, ceramah Islam berhaluan ultra radikal. Saya yakin penghuni kos Menteng lainnya juga mendengar, dan bahkan orang-orang super kaya di suatu area Menteng mendengar. “Bensin” kebencian ini sangat bisa, memicu rusuh 1998.
Okelah karena non muslim dan orang amat kaya, mereka tidak tahu bawahannya butuh area tidak najis (*pemahaman “najis’ masih begitu minim di Indonesia bahkan diantara Muslim, APALAGI yang nonmuslim). Tapi bagaimana mungkin, pihak pemeluk Islam yang sama, justru sengaja, dan karena keduanya amat populer, “driving opinion” bahwa Muhammadiyah (termasuk saya) tidak boleh memakai pekarangan dan bangunan pemerintah untuk salat Ied.
Pekalongan hanya (kurang lebih) 200 km dari Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta yang berdekatan dengan gapura/gerbang UGM dan berdekatan dengan RS Kristen Panti Rapih. Sukabumi hanya (kurang lebih) 200 km pula dari Kantor PP Muhammadiyah Jakarta yang bersebelahan dengan kantor pusat Kolese Kanisius di Cikini. Dan mungkin penolakan (*awalnya ditolak, meski bisa saja karena tekanan publik dianulir) atau sikap resmi suatu pemda untuk tidak meminjamkan area atau bangunan ke Muhammadiyah akan melebar di kota lain, meski berbagai perwakilan Muhammadiyah di daerah (setiap tahun, selama puluhan tahun) meminta izin jauh-jauh hari, bukan dadakan.
Dan yang lebih menyedihkan, kecenderungan (setidaknya) 2 Kiai pembaharu NU, dan kemudian “menyetir” opini amat meluas NU lainnya untuk “menolak Muhammadiyah” (dikasih akses) bukan hanya baru terjadi tahun ini, tapi juga: karena (almarhum) Buya Syafii Maarif wafat (27 Mei 2022) tahun lalu.