
Melbourne 11.54pm
Pak Dafri Agussalim kebetulan sangat Australia banget, utamanya saat saya masih berkuliah. Saat masih kuliah, hal sangat Australia banget ditengah Canberra - Jakarta adalah saling tuding [diantara 2 pemerintahan] terkait pengungsi Afghanistan yang harusnya bisa mendarat atau berlabuh di Australia tapi tertahan di beberapa titik di Indonesia.
Kasusnya mirip dengan Rohingya di Indonesia, yang mungkin sebetulnya [lebih ingin] ke Malaysia. UANG-UANG ILEGAL, ‘kutipan’, ‘palakan’, ‘sogokan’ apapun istilahnya, dari tokoh atau aktor utama penyelundupan. Jadi jika Pak Dafri diminta komentar terkait Rohingnya, pasti Pak Dafri amat paham karena kasus Australia mirip. Saya baru ‘ngeh’ kalau Ketua Asean studies center [dulu di gedung tua pascasarjana, tidak tahu sekarang dimana kantornya] bukan lagi Pak Muhadi Sugiono yang juga HI UGM.
Sama persis dengan tipikal arus pengungsian manapun. Masih ingat 300an atau lebih pengungsi lintas negara mati tenggelam [total tenggelam sekitar 800] di perairan Yunani 6 bulan lalu yang hampir bersamaan miliarder tenggelam dengan kapal selam? Para / sekitar 900an pengungsi dalam kapal yang sama, harus ‘bayar’ uang sogokan agar bisa diungsikan ke Eropa. Alih-alih, mereka tenggelam.
Sama tipikalnya ‘kutipan’, ‘sogokan’ yang harus dibayar [utamanya] pengungsi Latin [entah warga negara Amerika Tengah atau Amerika Latin / Selatan] untuk bisa melintas perbatasan menyeramkan di Amerika, yang dilengkapi bukan hanya dinding tapi mesin gerigi di sungai.
Kebetulan ada satu orang HI [HUBUNGAN INTERNASIONAL] UGM lainnya, namanya Mba Poppy [saya sering email berbagai scholarship dll tuk warga HI via Mba Poppy] yang kebetulan suaminya sangat ‘Aceh’ banget: Mas Victor Yasadhana, semacam Kepala Sekolah SUKMA Foundation, sekolah untuk korban tsunami Aceh, didirikan Surya Paloh yang memang Aceh.
(This notes tribute for the late Dr. Samsu Rizal Panggabean)
Saya meyakini, proses ‘koordinasi, tektok’ almarhum dosen pembimbing akademik [bukan dosen pembimbing skripsi] Pak Samsu Rizal Panggabean sebelum membebaskan sandera warga Indonesia di Filipina, setidaknya melalui [sempat] komunikasi dengan Mas Victor yang punya koneksi dua arah, HI UGM dan SUKMA Foundation.
Saya paham bahwa Pak Dafri ingin mengatakan ‘Indonesia bukan negara kaya’ sehingga tidak bisa dengan leluasa menerima pengungsi maanapun. Ada 400an model Ukraina dan 600 model Rusia di Bali dan di Jakarta [utamanya PIK Jakarta Utara], tidak terhitung profesi lain dari 2 negara ini, yang sebetulnya bisa dikata ‘mengungsi.’
Bahkan secara ekonomi, Nangroe Aceh Darussalam bukan provinsi yang kaya. ‘ngapain urus pengungsi Rohingya lha warga Aceh sendiri saja masih miskin.”
Tapi jika dua berita KOMPAS, bahwa per satu korupsi di Aceh bisa melibatkan angka 44.9 miliar rupiah, dan total [minimal] koruptor di Aceh mencapai 52, harusnya selalu ada uang tuk dua pihak [warga lokal dan pengungsi]. Dan Aceh adalah satu dari empat [disamping Yogyakarta, Papua, Papua Barat] yang diberi uang khusus bernama dana otonomi khusus. Untuk Aceh, 7.5 triliun per tahun. Secara per kapita dan per meter persegi, maka 1 warga Aceh akan mendapat uang otsus secara tidak langsung lebih besar dibanding Yogyakarta, Papua, Papua Barat, meski memang jumlah warga DIY yang paling kecil [3.7 juta jiwa, sementara Aceh 5.4 juta jiwa].
Tapi tentu sangat menjengkelkan berbagai warga Aceh bisa hidup mewah di Australia, Jepang, UEA, dll di instagram jelang natal saat ini, disaat peperangan Israel - Palestina yang dimana warga Gaza amat kelaparan, atau saat kemiskinan akut warga lokal Aceh berdampingan kelaparan akut warga Rohingya yang tidak punya uang lagi karena dipalak untuk biaya berkapal atau mengungsi.
Sangat mustahil sepertinya Indonesia, misalnya, menerima pengungsi Palestina dan bahkan jadi salah satu topik kampanye pemilihan umum. Toh warga Palestina tidak mau mengalami NAKBA lagi, dan lebih memilih mati di Gaza.
Setidaknya cuma satu Palestina, literal dari Gaza, sejauh ini setelah perang berlangsung 79 hari sampai di saat Natal, yang mengungsi sejauh Melbourne [8,500 mil atau sekitar 13.700 km], karena kebetulan keluarganya ‘tercecer’ di Kanada dan Australia: Plestia Bosbos Alaqad yang baru saja diwawancarai CBC Kanada, Ottawa - Melbourne.
Keep talking Palestine even in the middle Christmas festive and long-long-long NYE 2024 holiday, says Plestia.