Syahdan(is) Danis
Untuk siapapun yang membuat Ibuku hampir mati, ada harga yang pasti saya kejar. Saya kejar sampai semua keluarga yang berkomplot "membayar". Ratusan tahun pun, saya pastikan keturunan saya mengejarnya
Danis mungkin (yakin bahwa) saya ga sempat “berbuka yang proper”. Saya mencoba mencari tanggal persis, tapi tidak ketemu. Syahdan, acaranya adalah buka puasa anak-anak Maba HI UGM, yang artinya panitianya ya senior kayak saya. Danis tidak hadir karena tidak sengaja kecelakaan — dan kemudian Danis memakai kruk berbulan-bulan di kampus.
Saya bahkan masih ingat imam salat magrib setelah acara: teman saya Muhammad Akbar. (HI 07-B) Then, semua harus dirapikan justru karena jurusan lain akan memakai aula tuk acara terkait ramadan pula, dan semua harus dirapikan sampai sampah-sampahnya. Saya masih ingat sampai 7 kantong sampah ukuran XL yang biasa tuk tampung sampah konser. Lalu ya semacam “post-evaluation” di meja depan ruang HI, apa yang kurang, apa yang dikeluhkan, sebagainya.
Tapi Danis (tidak memeluk Islam) tau betul: Prada tidak pernah masalah mau puasa atau bahkan tidak makan sampai berhari-hari, karena futsal 2 jam pun tidak makan (karena puasa).
Saya yakin Danis tidak pernah menyangka jam 10an malam saya menjenguknya. Anak-anak HI UGM lainnya tidak ada yang menjenguk karena berhari setelah acara ini, sudah libur lebaran. Yang lebih menyeramkan tidak sama sekali karena saya belum benar-benar buka puasa yang proper. Tapi justru karena setelah menjenguk, saya bukannya pulang — 26 km dari rumah Danis ke rumah saya. Tapi saya ke Solo, ke rumah (alm) eyang saya (saat itu tentu masih hidup), hampir 113 km. hamdallah eyang saya masih ada “galantin dan selat solo” (salad) saat saya tiba tengah malam— yang sekalian rapel sahur hari selanjutnya puasa ramadan.
—-
She said, he said. Riuh runsing tudingan kebencian membabi-buta bertahun-tahun.
Waktu berlalu dan Danis menjadi (semacam) jenderal penyerang atas apapun – yang dikatakan sebagai retasiar/doxxing yang saya alami bertahun-tahun. Karena amat luasnya “sok thir” (istilah ditengah HI itu sendiri) —— semacam “supel” kali ya, atas dirinya terhadap berbagai lintas angkatan HI. mengajak beramai-ramai menyerbu satu orang: Prada. Entah dia nyadar bahwa kelakuannya secara tidak langsung, beruntutan “rantai-berantai”, mendorong tindakan orang lain yang lagi, masih HI UGM, memberikan inut kepada oknum, yang nyaruis membunub ibu saya. Danis mungkin suka menganiaya saya atau membuat saya susah nyaris satu dekade, tapi dia tidak nyadar ada rangkaian hal yang sampai (hampir) mencelakai ibu saya.
Hanya demi satu orang perempuan. Bertahun-tahun. Kira-kira (kejahatan masif) satu windu. Setidaknya sampai Mei 2020. Di suatu (google)hangout. Dan saya capek merespon.
Tapi Danis sadar betul tidak (akan) ada yang mencegah takdir kalau memang Prada bersama perempuan yang benar-benar sempat membenci Prada.
—-
Waktu berjalan. Saya kehilangan 2 paman karena covid. Tapi saya masih hidup. (berusaha) lebih bijak karena berulang berada di episenter / episentrum covid. Menyadari seutuh hati dan fisik bahwa kita (+62) tidak mungkin bisa dibandingkan dengan negara lain, dan cukup bersyukur atas apapun. Belajar menerima keadaan tanpa membenci kenyataan.
Seperti halnya Danis melakukan segala cara menyerang dan membunuh profil saya (apalagi anak-anak HI UGM lainnya), saya juga punya cara bagaimana mengetahui kondisi “kubu sebelah”. Kondisi babak belur “kumpulan serigala-serigala jahat” ini. Bahwa saya menyadari Danis bertindak lebih dramatis, meski tidak cukup “U-turn”.
Saya ga yakin bisa menghitung persis berapa banyak “korban covid” ditengah gerombolan serigala jahat ini. Bisa jadi Danis mengalami banyak—sangat mungkin orang terdekatnya mati. Saya mendapati medsos saya “didekati” pacar (/mantan?????--lebih mantan sih, setahu saya keduanya berhubungan hanya pas kuliah) Danis — tentu saja segera saya block.
Saya, Minang dan keraton, utamanya karena garis keraton, semacam (harusnya) punya kemampuan “melihat yang aneh-aneh”. Sekujur keluarga besar saya yang (linkage) dengan Keraton, punya kemampuan melihat “makhluk tak kasat mata”. Tapi—- mama (Minang) dan saya sendiri, tidak pernah punya kemampuan itu–atau diturunkan secara genetik. Berbagai Bibi saya tahu betul meski saya ga punya kemampuann “melihat”, saya punya kemampuan yang — bagi saya —- (sebetulnya) lebih menakutkan/bikin wasawas sendiri. Saya bisa lihat tanda-tanda kematian, meski hanya puzzle kecil-kecil. Kadang mentalitas saya merosot drastis (& perlu banget psikiater) tiap kali menyadari bahwa saat saya (menyadari) saya mulai ditunjukkan pertanda-pertanda kecil kematian, yang kejadian di waktu lain malah lebih worst—dan saya ga bisa nyegah atau memberi peringatan. Saya benar-benar makin tertekan ditengah covid, yang jelas-jelas memang menghadirkan banyak kematian.
Bahkan meski dimusuhi bertahun-tahun pun, saya masih rutin mengemail ucapan ultah–berulang kali jam 00.01 (kecuali saya ga nyadar emailnya ga kekirim). Bahkan sampai tahun ini pun, saya masih mengucap ultah (tahun 2021 ini) ke mba-mbak Jawa yang dibela Danis— juga jam 00. Tapi saya ga yakin dibuka—-karena tidak ada reply-nya di inbox saya.
Saya menulis ini (kebetulan sejak) 28 Desember bukan semata 28 itu tanggal lahir Danis (tapi bukan bulannya) — tentu saja saya hapal. Saya kebetulan sekali mendapati dua hal. Pertama, saya sedih banget HI UGM satu-satunya yang lahir “paling akhir tanggalnya” (meski lebih tua 3 tahun) dalam kalender masehi, ternyata ga pulang ke Indonesia, dan saya masih memikirkan bagaimana meng-kado dia di negara lain. “Insya Allah Prada mudah-mudahan kita ketemu di Indonesia” —- kata teman saya yang akan ultah ini.
Hal kedua, saya ga pernah expect, bahwa seorang ayah — yang dulu sempat saya harapkan sebagai camer (/jangan-jangan jadi mertua beneran, entahlah) ternyata memang menyimpan nomor saya. Bertahun2 amat lama, saya tidak pernah lihat WA story dirinya —- sempat mengira tidak pernah disimpan, baru kali ini saya melihat WA story dari beliau. Saya (belum nyampai) niatan menikah (artinya wanita yang lain lagi) dengan anaknya—dan entahlah Takdir Tuhan kayak apa. Anaknya nikah, anaknya liburan ke LN, atau apapun, dia ga pernah story. Tiba-tiba beliau story sesuatu —- yang artinya bertahun-tahun nomor saya sudah disimpan beliau. Dan segala story saya di HP entah berapa tahun—dilihat dia.
“Praduga yang keliru”. Batin saya. Entah yang saya alami, atau yang mungkin kini dialami Danis.
Tapi sangat mungkin Danis mulai — membaik — berubah pikiran, meski saya tidak bisa mengatakan “u - turn”, karena rentetan kematian covid yang dihadapinya. Saya menyebutnya (memakai istilah suatu serial yang saya sukai di Netflix) “truest calling”. Entah semacam “apakah aku patut membunuh karakter Prada dengan segala cara selama bertahun-tahun”, meski tidak bisa dikatakan instropeksi sih.
Saya yakin Danis lebih tahu kondisi “mbak-mbak Jawa”. Danis juga tahu koq (ya karena komandan retasiar) kalau saya batal/gagal menikah. Danis tentu lebih tahu (ya karena jadi tong curhat) keadaan mbak-mbak Jawa itu sejak awal kuliah.
Dulu sekali saya mencintai perempuan lain di HI UGM. sebut saja “G”. dan saya tahu betul “mbak-mbak itu” (artinya ya perempuan lain) sudah jatuh cinta ke laki-laki lain. Tapi saya berusaha betul, sesuai prinsip personal saya, saya berusaha betul tidak mendiskriminasi kado ultah. Juga tidak melakukan diskriminasi tindakan apapun ke HI UGM manapun saat kuliah. Saya tentu pernah ke kota kaki bukit Merapi jam 00.00 hanya tuk taruh kado ultah, sama seperti saya menunggu satu jam lebih di suatu kosan, sejak jam 00.00 tuk “mbak-mbak Jawa ini”, memberi kado.
Danis sadar betul bahwa “mbak-mbak yang dibelanya” ternyata —- tidak kunjung menikah. Entahlah. Saya menyebut dengan satir atas pertemanan “birth club/klub ibu-ibu yang punya bayi lahiran” yang terkoneksi antara saya dan mbak-mbak itu, benar-benar satir banget:
“ibu ****** temannya Prada punya 3 anak; ibu ****** temannya mba *************** punya 2 anak, dua ibu-ibu punya anak saling berteman, tapi Prada dan mba ************** malah belum menikah”.
Entah komplikasi macem-macem isu, saya menyadari—di kubu seberang, Danis berbuat (lebih) baik dan lebih kompromistis. Meski “kanker” yang dibikin Danis ditengah komunitas, dan terlanjur menyerang saya, tidak akan bisa dipulihkan. Syahdan-nya seperti kapas yang tidak mungkin disatukan lagi setelah dibuang ditengah lapangan. Keterlanjuran kerusakan yang terlalu parah.
For love, that's in vain
Saya memang mencintai “mbak-mbak” yang dibela Danis bertahun-tahun dengan garangnya. Saya ga yakin bisa menghitung sesedikit apa laki-laki yang mencintai “mbak-mbak Jawa itu” dan dicintai balik.
Minimal saya tahu satu orang sejak dia kuliah. Sepertinya, rentang 14 tahun antara saya dan “mbak-mbak itu”, saya lebih rumit dan banyak terlibat secara kuantitatif perempuan, dibanding jumlah laki-laki yang hadir di hati “mbak-mbak itu” dalam 14 tahun. Dan sama-sama belum menikah. Minimal kuantitatif di pihak saya: salah satunya memang “mbak-mbak Jawa ini”. Saya ga yakin kuantitatif di benak “mbak-mbak Jawa” menghitung Adi Mulia Pradana.
Minimal saya benar-benar sudah deal “menikah di istiqlal” dan deal (bekas menteri) sebagai penghulu —--seserius itu (tentu karena jalur “orang dalam” – lol). Entah ludes berapa karena batal nikah.
Saya ga yakin mbak-mbak itu seserius apa dalam persiapan menikah. Saya sempat berpikir (karena saya tahu bahwa) dia punya apartemen mewah karena ingin (sorry) menikah. Saya ga cukup se crazy rich dia, tentu saja, untuk membeli apartment . Absensi nomor 5 teratas di HI UGM tahun saya pasti anak-anak PBS.
“Plak” (plague) kebencian yang sempat saya tanamkan ke mbak-mbak itu ga kunjung menjadi kebencian. Saya ternyata masih terus berpikir–mungkin mencintai mbak-mbak HI UGM ini.
Sangat mungkin cuma Danis yang diberi tahu langsung oleh “mbak-mbak” ini, bahwa Prada mengirim kartu ucapan sebelum Prada nugas RSDC lagi. Menurut cek online, paket dan kartu itu benar-benar sampai ke rumah mbak-mbak ini.
Saya tidak bisa mengatakan “dua manusia yang dikutuk 14 tahun, dan masih berlanjut” untuk selalu gagal mencintai orang lain. Dari pengajian zoom semalam, saya yakin betul “logika manusia tidak akan pernah sampai atas kehendak Tuhan”.
Saya cuma pernah berikhtiar, “dalam nafas yang sama, saya mencintai (naf’s) itu–setidaknya pernah benar-benar mencintai”. Meski saya ga akan pernah tahu Mrs Prada itu siapa.
Atas perubahan baik dari Danis, saya lega dan berterima kasih. “Belajar menerima keadaan tanpa membenci kenyataan”. Kenyataan bahwa “damage” nya sudah terlalu rusak parah. Saya tidak perlu menebak apa (lagi) yang kini danis advice ke mbak-mbak itu lagi.
“Saya pernah bermimpi–ketiduran setelah tahajud– bahwa saya dan mbak-mbak jawa itu bahu-membahu menolong HI UGM”. tapi saya gatau takdir apa yang ingin dibisikkan Tuhan.
Saya cuma lega, seorang bidak & budak mesin kebencian, bernama Danis, berubah lebih baik. Saya ga expect Danis mau minta maaf, apalagi gerombolan penjahat teman-temannya di HI. watduyuespek memangnya sama serigala-serigala jahat sih?