Nobel Peace Prize for Jokowi (If Ukraine - Russia Immediately Cease Fire)
Rejuvenate "Politik Luar Negeri Bebas Aktif". Bilingual Op-Ed
I frowned when I saw news stories related to Jokowi. Jokowi decided to go to two places: Moscow and Kyiv. Contrary to the news, and the disappointment of "The West" journalists, pundits, IR experts, and politicians who initially vaguely listened to Jokowi's news (only went) to Moscow. Jokowi insists he goes to two places.
Indonesia hosted the G20 and/or also held the G20 Presidency this year (November in Bali). Jokowi of course will also go to Germany, because as the G7 Presidency, Germany (Chancellor Scholz) invited Jokowi. Jokowi, the “host”, insisted on inviting Russia’s Putin to the G20 in November, and also insisted on inviting Ukraine’s Zelensky as a guest at the G20 Summit.
Russia-Ukraine tensions have started since November 2021. But leaders from “The West” deliberately do not want to come directly to Moscow, meet directly Putin. The first to arrive was Finland, secret meeting, no coverage media, in January 2022, and it is said that he met Putin not in Moscow, but on the Russia-Finland border, on the Russian side of the territory. Finland, “one step away”, along with Sweden, of becoming a member of NATO: something that Russia is absolutely forbidden to do. Russia invaded Ukraine because Ukraine had an intention to be a NATO member.
After the war started (February 24th, 2022), Finnish President Niinisto no longer visited Putin again. But also not to Kyiv. But asked President Zelensky (Ukraine) to be the keynote speaker for a session of the Finnish parliament to know directly from Zelensky himself about the dangerous situation in Ukraine. Another Finnish who actually came to Kyiv after the war started is Finnish PM, Sanna Marin.
Only two “The West” leaders came to Moscow before the war: Macron’s France (15 February) and Scholz’s Germany (16 February). Both Germany (Scholz) and Macron (France) were visiting Moscow and Kyiv. But after the war started, Scholz and Macron no longer visited Putin directly again. Last week, Scholz and Macron, together with the Italian PM (Draghi) and the Romanian President (Klaus Iohannis) visited Kyiv.
Jokowi makes history if it actually happens: (will) become the first Head of State in the world, who after the Russia-Ukraine War already happened, was willing to come to two countries. Not a picky gesture. Really visit and meet Zelensky in Kyiv, and also Putin in Kremlin Moscow. Jokowi himself is pleased: to be a symbol, perhaps at the same time a mediator, even though he does not promise peace. But please hear from both sides. “A Java Way” conciliatory.
I even believe that the Russia-Ukrainian war could last until 2024 whatever (too expensive) cost, although it is not as intense as the first 50 days (February-April 2022). But if Jokowi is able to do something imminent during his “rare visit” to the two countries, even if it doesn't stop the war suddenly, I, a true pacifist, really ask the Nobel Foundation to include Jokowi's name as a candidate.
=========
Saya mengernyitkan kening melihat dua berita, dua-duanya terkait Jokowi. Pertama, Jokowi memutuskan pergi ke dua tempat: Moskow dan Kyiv. Bertolakbelakang dari pemberitaan, dan kekecewaan wartawan2 dan politisi2 “Barat” yang awalnya samar-samar menyimak berita Jokowi (hanya pergi) ke Moskow akhir Juni ini. Jokowi menegaskan dia pergi ke dua tempat dan mengunjungi (baik itu) Putin dan Zelensky.
Indonesia tuan rumah G20 dan atau juga memegang Presidensi G20 tahun ini. Jokowi tentu juga akan ke Jerman, karena selaku Presidensi G7, Jerman (Kanselir Scholz) mengundang Jokowi. Bahkan undangan ke Berlin diulangi lagi saat Presiden Jerman (Stenmeier) ke Jakarta pekan lalu. Jokowi, “sohibul hajat”, bersikeras tetap mengundang Rusia untuk G20 November nanti, tapi juga bersikeras mengundang Ukraina selaku tamu G20.
Saya ga yakin orang-orang (masih) ingat “mendayung diantara dua karang”, politik luar negeri bebas aktif, terkait “nawaitu Jokowi”.
Tensi Rusia-Ukraina sudah dimulai sejak November 2021. Tapi “pemimpin” dari negara Barat menyengaja tidak mau datang langsung ke Moskow. Yang pertama datang justru Finlandia, tidak diliput media, pada Januari 2022, dan konon bertemu Putin bukan di Moskow, tapi di perbatasan Rusia-Finlandia, disisi teritorial Rusia. Finlandia kita tahu “tinggal selangkah lagi”, bersama Swedia, menjadi anggota NATO: hal yang amat diharamkan Rusia.
Setelah Perang terlanjur terjadi (24 Februari 2022), Presiden Finlandia Niinisto tidak lagi berkunjung ke Moskow. Tapi juga tidak ke Kyiv. Tapi meminta Presiden Zelensky (Ukraina) untuk menjadi keynote speaker (virtual) untuk suatu sesi parlemen Finlandia. Yang datang beneran ke Kyiv pasca perang terlanjur terjadi adalah PM nya, Sanna Marin. Indonesia bahkan bukan level pemerintah yang mendapat kesempatan waktu dari Zelensky melakukan / menjadi keynote speaker secara virtual, tapi sebatas FPCI, bulan lalu.
Hanya ada dua negara lainnya dari kubu “Barat” yang datang ke Moskow sebelum perang: Perancis (15 Februari) dan Jerman (16 Februari). Baik Jerman (Scholz) dan Macron (Perancis) saat itu mengunjungi Moskow dan Kyiv. Tapi setelah perang terlanjur terjadi, Scholz dan Macron tidak lagi mengunjungi Moskow. Pekan lalu, keduanya, bersama PM Italia (Draghi) dan Presiden Rumania (Klaus) mengunjungi Kyiv.
Praktis, jika waktunya disebut “baik sebelum dan setelah Perang terlanjur terjadi”, hanya Jerman dan Perancis yang pimpinannya mengunjungi Rusia dan Ukraina, tapi dengan catatan bahwa mengunjungi Rusia sebelum Perang. Inilah artinya Jokowi menciptakan sejarah jika benar-benar terjadi: (akan) menjadi Kepala Negara pertama di dunia , yang setelah Perang Rusia - Ukraina terlanjur terjadi, bersedia datang ke dua negara. Tidak pilih-pilih.
Bukan level Menteri (Luar Negeri) atau Menteri Pertahanan. Tapi Jokowi sendiri yang berkenan: menjadi simbol, mungkin sekaligus mediator, meski tidak menjanjikan suatu perdamaian. Tapi berkenan mendengar dua pihak. Jawa, dengan cara mendamaikan.
Berita kedua, lebih bikin mengernyitkan dahi. Jokowi hari ini (*artinya sudah diagendakan jauh hari) mengajak Ketua DPR, Ketua DPD, dan SEMUA PEMRED (Pemimpin Redaksi) media nasional datang ke IKN Nusantara. Ke ibukota baru, disaat (a) kemarin Jokowi ultah, dan (b) hari ini ada yang ultah: Jakarta.
Baca pelan-pelan lagi.
Semua Pemred, pengambil keputusan tertinggi media, diajak ke IKN, saat ibukota “lama” sedang ultah.
Saya baru menyimak kira-kira 4 hari lalu. Gubernur DKI mengubah 22 ruas nama jalan menjadi nama-nama Betawi, dimana warga di salah satu ruas jalan menolak nama jalannya diubah. Artinya memang kebijakan bisa dilawan, bukan harus diberlakukan.
Anies sadar sepenuhnya untuk melakukan “polesan apapun” demi “membaguskan rapor” dan kemudian (demi) 2024. Dari stadion hasil penggusuran (JIS), Formula E, dan (tiba-tiba) mengubah jalan sampai 22 ruas jalan. Mencoba meninggalkan sedalam mungkin “warisan”.
Saya ga yakin Anies ingat bahwa Jokowi adalah Jawa, dengan segala “cara Jawa” nya. Saya bahkan cuma semata setengah Jawa (setengah Minang), persis Megawati yang setengah Jawa setengah Minang. Saya bukan 1000000% Jawa seperti Jokowi dan mbak itu #gakgitu minta dihajar warga ya anda, Prada.
Jokowi sadar betul dia dipermainkan bolakbalik oleh Anies. Haqul Yaqin. Makanya dia gantian, dengan cara Jawa: semua Pemred dibawa ke “Ibukota Baru”. Saya gatau Anies sadar atau gak nya melawan kemarahan. Tapi ya dia orang Arab, mana ngerti “cara Jawa”. Orang Yaman Hadramaut ding: negara yang dibunuhi bolak-balik oleh Saudi karena perang tanpa belas kasihan antara Yaman-Saudi.
Jokowi “marah ala Jawa” itu mengerikan. Saya ga yakin anda “nangkep” ginian: Jokowi tahu betul PAN, meski bagian dari koalisi pemerintah, tapi ada elit-nya yang amat denial dan atau suka sekali mengkritik ultra pedas 20 cabe ke Jokowi. PAN, dan atau selama ini diidentikkan dengan PAN:Faisal Basri, Dradjad Wibowo, Didik J Rachbini, tiga-tiganya ekonom (dan salah satunya ayah dari teman amat baik saya di HI UGM). Kasus minyak goreng menjijikkan, bahkan mantan menteri, sampai 8.25 PM WIB belum selesai diperiksa Kejagung. Tebak, kursi apa yang dikasih Jokowi ke PAN: Menteri Perdagangan. Untuk melihat “kayak gimana sih ekonom-ekonom PAN, yang selama ini ngebantai saya, bisa nolong Zulhas untuk nolong merendahkan harga minyak goreng dan pasti ada stoknya melimpah, juga menurunkan semua harga sembako, daripada banyak bacot.”
Balik lagi ke isu internasional.
Saya ga yakin anda “ngeh” produk-produk merk Ukraina sebetulnya sudah beberapa, meski tidak banyak, ada di supermarket Indonesia. Kebanyakan wafer. Ukraina bukan semata 30 persen memasok gandum untuk Indonesia dan (kurang lebih) 12 persen pasokan gandum global. Ukraina juga “diwakili” dengan banyak sekali supermodel yang pada Februari-Maret lalu pulang ke Kyiv, dan sejak akhir Mei sampai sekarang mulai kembali ke Indonesia. Tebak, (dari) negara mana yang sejak akhir Mei banyak pula supermodelnya ke Indonesia selain Ukraina? Yakkkk, betul sekali, Rusia.
Saya bahkan yakin perang Rusia-Ukraina bisa berlangsung sampai 2024, meski intensitasnya tidak sedahsyat 50 hari pertama. Tapi jika Jokowi sanggup melakukan suatu hal spektakuler dalam “kunjungan langka” ke dua negara, meski tidak kemudian menghentikan tiba-tiba perang, saya, pacifist (pro perdamaian) tulen, minta banget Yayasan Nobel memasukkan nama Jokowi sebagai kandidat. Saya ga yakin tabiat HI bisa mendamaikan seperti (cara Jawa) Jokowi, dengan kepongahan lazimnya civitas HI.
Bismillah Presiden AIHI/Ketua AIHI. Saya singkirin bener2 “wabah” di HI termasuk dosen2 pervert.
(minta dihajar warga yhhaaaaa anda Prada)