Syipo yang Kurang S(y)ip, dan Khawatir Bubble Digital Banking (Suatu Saat)
Sabar, sabar, sabar di tengah “winter”
Saya ga yakin di-expect apa oleh 617 pelanggan tambahan hanya dalam 4 hari. Apalagi yang sudah langganan ini note jauh lebih awal tau betul saya orangnya mellow. Really I’m sorry, maafkeun kalau note-nya kadang bahas hal-hal melankolis (sebetulnya bisa amat sering bikin note mellow).
Karena punggung masih amat nyeri, sambil rebahan di ruang kontrol mesin yang amat dingin, saya mencoba mengetik yang saya pahami sebisa mungkin atas berita bertolak belakang.
Beberapa nama lembaga saya samarkan agar saya ga kena UU ITE. Tiduran, bergantung pada LCD HP, tidak kemewahan keyboard ala pamer warga start-up. Saya terpaksa tuk tidak pakai gambar apapun agar kena UU ITE—-kecuali saya kepikiran ngeedit. Dan karena sambil tiduran kedinginan, gapapa ya gapakai bahasa Jerman atau Inggris.
1 Maret 2022, Jokowi kunjungi kantor SEA untuk area Indonesia. SEA adalah payung grup yang membawahi Shopee
Cukup kaget bahwa akhirnya setelah 3 tahun kerjasama antara Bank Alidan dan Alfanovember, akhirnya Grup yang membawahi Alfanovember membeli saham Bank Alidan, meski cuma 2,2 persen.
Kalau anda cukup jeli, harusnya bukan cuma saya (*yang sudah mencicipi masuk keluar 500an gerai Alfanovember di seluruh Indonesia tuk cek barang—sampai hapal pola rak-nya, termasuk minimarket saingannya) yang mengamati. Harusnya anda mengamati bahwa makin banyak gerai Alfanovember yang menaruh panel “penanda ada ATM” di tiap gerai, tapi bertulis Bank Alidan, dan bukan terkait ATM: Bank Alidan menyediakan jasa menabung dan transaksi lainnya di Alfanovember. Semacam “bank fisik” yang kita kenal, dipindah jadi gerai minimarket.
Konteksnya: suatu jaringan minimarket, dari awalnya bekerjasama sebatas memudahkan suatu bank untuk menggunakan secara tidak langsung fisik bangunannya, tiba-tiba grup raksasa minimarket ini tertarik membeli saham bank. Dalam hal ini: ternyata di Indonesia makin luas/banyak bahwa “pihak/sisi ritel” terkoneksi dengan “pihak/sisi perbankan”, bahkan sekalian membeli bank itu sendiri demi impian bernama Bank Digital.
Saya mendapati aturan yang cukup rumit, saat ini, bahwa jika suatu pihak ingin bikin bank digital secara utuh di Indonesia, bukan hanya harus punya lisensi bank fisik. Biasanya: pihak ini akan beli bank kecil aja lebih dulu, yang penting “sudah beli, sudah punya badan hukum berbentuk hukum sah bernama BANK”.
Aturan detilnya ternyata lebih rumit: pihak tersebut harus punya minimal dana 15 Triliun Rupiah. Saya meyakini aturan sekeras itu (sampai harus punya slot dana 15 Triliun) akan lebih besar lagi plafon syaratnya di Malaysia dan di Singapura. Saya sepertinya sudah nulis bahwa Indonesia jauh lebih terdepan di Asia Tenggara terkait amat meluasnya perbankan digital dan itu justru karena kejadian krisis 1997.
Jadi, suatu pihak yang kini di Indonesia sudah anda kenali menjalankan bank digital, pihak tersebut sebetulnya bukan semata SUDAH (1) mengeluarkan uang untuk beli suatu lembaga bank kecil untuk diubah jadi bank digital, tapi juga (2) harus punya uang/dana terpisah sebanyak 15 Triliun untuk memastikan likuiditas ditengah ya… ketidakpastian krisis macam2. Sangat mungkin aturan “super ketat” itu karena trauma regulator Indonesia atas krisis 1997. Dan seperti saya ucap: aturannya bisa lebih brutal lagi di Singapura dan Malaysia sekalipun 1997-1998 Singapura dan Malaysia ga sebangkrut Indonesia.
Maka saya kaget berita kedua yang saya dengar hari ini. Syipo di Indonesia dalam hal pertemuan tahunan dadakan dan itu selalu pertanda guncangan amat besar bernama firing.
Masalah yang paling membingungkan: bujet. Bujet iklan Syipo ini jauh lebih sinting dibanding saingannya yang warna Hijau Toko yang punya Pak Edi. Cristiano Ronaldo, 4 bintang sinetron, KPopers.
Lebih bingung lagi: sekitar satu setengah tahun lalu, Syipo menyetting ulang semua layanan kurirnya menjadi satu atap, dan bahkan ditambah tuk "(sayap kurir untuk) makanan. semacam “Syipo bikin ala-ala FedEx atau UPS sendiri”, yang artinya saya berasumsi dana Syipo super melimpah. Karena saya ingat betul 1,5 tahun lalu, banyak perpindahan warga “Hijau” menjadi kurir di Syipo—-saya berasumsi/anggap dibayar jauh lebih tinggi di Syipo dibanding uang dari”Hijau” karena cukup masif perpindahannya. Lebih unik lagi: “Hijau” yang awalnya layanan di jalan, bergerak meluas semua bidang diambil ditangani. Sementara Syipo yang awalnya fokus ke ritel, malah meluas ambil porsi bisnis kurir, ambil bisnis antar makanan dll.
Tapi saya teringat bahwa indukan atas Syipo, yaitu perusahaan di Singapura, baru saja 1 bulan lalu dapat lisensi awal (bukan keseluruhan, atau langsung segera bikin) Digital Banking di Malaysia (bukan negara asal owner Syipo) dan baru kemudian lisensi dari Singapura (negara asal).
Yang menjadi masalah: apakah memang sedemikian bengkak biaya total (1) bujet iklan dan (2) biaya bikin digital banking di 3 negara sekaligus, sehingga terpaksa untuk Syipo cabang Indonesia, payung grup yang memiliki Syipo terpaksa melakukan firing pegawai di Indonesia?
Yang lebih saya khawatir: okelah digital banking akan makin menjamur, tampak promising karena semua pihak di Indonesia yang bahkan ga murni bisnisnya tentang finance, sangat berlomba-lomba bikin Digital Banking di Indonesia. Takutnya: bubble. dan saya gatau bubble nya akan ditahun berapa, 2029, atau 2028, atau lebih cepat lagi bubble nya. Karena sama seperti (start-up) ride hailing service yang tampak super-promising di 2014, akhirnya mulai limbung sejak awal tahun 2020 bahkan sebelum covid.
Saya sebetulnya cukup sensitif terkait Syipo bukan karena layanannya atau apapun: April tahun lalu, tim medis Syipo harusnya punya (/pastinya) mengecek kesehatan Didi Kempot secara utuh (kan Didi Kempot dibayar sama Syipo), dan ga dipush kerja bikin konten iklan. Saya ingat betul baru beberapa hari iklan Didi Kempot dan Syipo, koq 2 pekan kemudian …… Harusnya kesehatan seseorang bisa diantisipasi. Sama persis, kalau anda mengikuti berita di luar negeri, terkait Virgil Abloh dan NEKI. Harusnya Abloh tetap hidup kalau NEKI aware (kalau) Abloh punya penyakit ultra berat. Padahal saya bukan fans NEKI: saya fans tiga garis.
Tapi yang lebih pilu terkait Syipo? Di note saya lainnya, saya punya penyakit menjengkelkan: melihat sekilas-dua kilas masa depan, tapi selalu bingung “maksudnya apa ya pertanda ini”. Malam kemarin, secara santai, saya memilih menonton film “Jack Ryan:Shadow Recruit”” karena Rusia sedang merayakan Hari Kebangsaan kemarin Minggu. Jack Ryan: Shadow Recruit memang bahas friksi AS-Rusia. Tentu saja salah satu pemerannya adalah… Keira Knightley, warga asliiiikk Briton.
Tiap kali saya lihat Keira di film atau film serial apapun, saya selalu kepikiran salah satu junior, pernah sekantor sama saya. Minang, rahangnya persis banget Keira. Saya padahal semalam udah mbatin “si ********* ini apa kabarnya ya di Syipo”, “ada pertanda apa ya koq aku kepikiran ********”. Tenang, junior saya ini udah nikah bertahun lampau. Saya ga nyangka bahwa semalam itu memang pertanda beneran ada masalah di Syipo.