Indonesia: Another Putin's Enabler (?)
Apakah Warga Indonesia Enabler Kebiadapan Rusia di Ukraina?
Sekitar 10 jam lalu sebelum saya memulai mengetik ini, ditengah riuh kelegaan (banyak sekali jurnalis) asing di Twitter terkait kemenangan Macron (minimal tidak terjadi bencana seperti Trump dan Brexit), terselip suatu twit viral di Indonesia. Intinya tentang bagaimana (secara viral) Bu Mulyani (Menkeu) menjelaskan ke berbagai ahli ekonomi global, dan bahakan di depan Christian Lagarde (Ketua IMF), tentang Indonesia yang tetap akan mengundang Menkeu Rusia dan artinya juga mengundang Presiden Rusia, dalam meeting skala/level Menteri dan setelahnya Summit, yang akan dilakukan November 2022 di Bali sejalan Indonesia pimpinan tahunan G20. Tidak peduli separah apapun perang Ukraina - Rusia (live update disini).
Saya tidak sedang menyatakan Bu Mulyani salah untuk bersikap netral, dan tetap menjadi corong terbaik bagi muka Indonesia di dunia (selain Bu Retno Menlu, teman satu SMA Bu Sri Mulyani) bahwa apapun terjadi di Rusia - Ukraina, Rusia berhak ikut acara G20. Bu Retno menemui Menlu China di pinggiran kota Beijing sekitar awal April, dan kemudian Bu Retno bertemu FM Lavrov (Rusia) di kota yang sama. Saya kebetulan juniornya Bu Retno, bagaimanapun juga: HI UGM.
Ada banyak banget stereotype jelek Rusia di Indonesia. Yang paling menganga, mungkin, masalah bule-bule Rusia (beneran bule, bukan nomad worker atau misal Supermodel Cowok/Cewek) yang berulang berantakan atau bikin gaduh utamanya di Bali—-kemudian viral.
Ada yang seloroh menganggap begini: sebetulnya sejak 2005, mulai membaiknya ekonomi Rusia, maka warganya lebih berani spending signifikan berwisata di tempat amat jauh. Tapi (lanjutan seloroh) Thailand lebih beruntung karena (katanya) bule Rusia yang ke Thailand lebih berduit, sementara bule Rusia ke Indonesia cuma level backpacker.
Saya gabisa meyakini adagium atau seloroh ini kecuali orang yang benar-benar ngerti wisata dan bahkan kerja di aspek wisata. Tapi sebagai catatan: minimal saat saya ke Thailand (2014), berbagai panel di Suvarnabhumi Airport dan bahkan beberapa buku panduan wisata Thailand sudah menyertakan bahasa/alfabetik Rusia. Bahkan Changi pun tidak merasa perlu ada panel-panel penunjuk memakai bahasa Rusia, dan bahkan di buku panduan wisata Singapura saat ini (2022) juga tidak ada. Sementara Thai 2014 sudah semaju itu. Bahasa dan alfabetik Rusia itu sulit, jadi saya cukup amazed pemerintah Thailand sampai merasa perlu memasang panel-pamel bahasa Rusia.
Saya berusaha adil membayangkan “oh warga Rusia jauh-jauh ke tropikal karena di tanah kampung asalnya itu super dingin”. Saya tahu betul banyak sekali Rusia dan Ukraina di Indonesia itu kerja sebagai supermodel, bukan cuma (khusus Rusia) bule backpacker.
Teman saya, lulusan HI dan sastra, pernah bekerja langsung di UN, hanya 600an km dari Lviv (kota terbsar sisi Timur Ukraina) mengingatkan baik-baik ke saya “Ga semuanya warga Ukraina ini layak dikasihani, Prada, ada yang aji mumpung dan sebetulnya hidup amat wah cuma ya apes aja kena perang”.
Tentu banyak sekali cibiran sikap pilih kasih “Media Barat” pada Ukraina yang ga sebanding dengan Palestina. terbaru, ada ibu-ibu amat muda, anaknya baru satu bulan, keduanya wafat di Odessa kena ledakan roket Rusia. Tentu ini amat brutal, empati harusnya bagi siapapun. Tapi glorifikasinya oleh media Barat makin mengganggu. Hal PLEK PERSIS ginian itu BANYAK BANGET (ibu-ibu muda, anak masih bayi) mati kena rudal/roket dari NATO di Afghanistan, atau rudal dari Israel membunuh (ibu dan bayi) di Palestina. atau di Suriah. Atau di Iraq. Atau di Lebanon. Atau di Kurdistan.
Saya menulis 200+ halaman untuk skripsi, tentang kerumitan “out of the box” Israel - Palestina. Saat Lebaran 2021 orang-orang memaksakan Salat Ied di Masjid ditengah mulai tinggi covid (dan beneran kejadian di Juli 2021), saya salat ied sendirian di rumah dan langsung mengetik situasi Palestina yang dibunuhi Israel benar-benar di hari Lebaran 2021.
Saya paham betul, seutuhnya, situasi Palestina, tanpa harus diajari. Jadi saya juga paham betul betapa timpangnya cara meliput antara Palestina dan Afghanistan, dengan situasi Ukraina. Tanpa mengurangi rasa empati apapun.
Saya tidak yakin ini sepenuhnya karena kharisma Putin yang selalu berani melawan Amrik, sehingga menimbulkan empati di Indonesia—-dan membenarkan Rusia untuk membunuhi Ukraina. Bahkan sekitar 18-22% roti dan gorengan di Indonesia, itu berkat gandum dari Ukraina. Tapi saya merasakan betul amat meluasnya apriori warga Indonesia, apapun levelnya, terkait Rusia- Ukraina, dan cenderung (memang) membela Rusia.
Enabler istilah kerennya, mungkin sekitar November tahun lalu di Indonesia karena tingginya kasus pemerkosaan dan atau pacaran lalu diperkosa. Juga kejadian kasus di tengah sineas film.
Sementara di luar negeri, “Enabler” ini (kini) disematkan pada Kanselir Jerman saat ini (Olaf Scholz) dan ex Kanselir Jerman yang kebetulan menjabat disaat Putin juga awal-awal menjabat (2001) yaitu Gerhard Schroder. Schroder sampai kini juga masih menjadi Direksi di Gazprom, oerusahaan BUMN Rusia yang kantor pusatnya di kota kelahiranPutin: St Petersburg. Kebijakan Jerman saat ini memang rada ambigu (*anda bisa melihat sendiri deretan substack saya bahas Jerman-Rusia, bukan hanya satu postingan) untuk merespon kebiadapan di Ukraina. Sementara Schroder adalah koruptor yang memanfaatkan politik. Keduanya dianggap Enabler Putin, menyengaja membiarkan kebiadapan Putin. Kebetulan sekali, Schroder dan Scholz dari partai yang sama: SPD.
(Friedrich Merz is Leader of CDU, a Merkel party, now opposition in Germany)
Saya khawatir, jika kita di Indonesia benar-benar Enabler atas kebiadapan perang apapun, kita akan kesulitan sendiri saat “bencana” ala Timor Loro Sae terulang. Tidak pernah ada yang tidak mungkin juga perang skala geopolitik antar region, untuk terjadi di atas teritorial Indonesia, mengingat China hanya 4,400an km dari Jakarta. Kalau kita ga peduli nasib perang dialami negaralain, saat kita mengalami sendiri perang, negara lain juga ga akan peduli. Ironisnya, dulu itulah yang terjadi di Ukraina: Presiden Ukraina dan nyaris semua warganya (kecuali Muslim Ukraina) bersukacita Israel membela diri membunuhi Palestina secara brutal pada Lebaran 2021. Zelensky dan hampir semua warga Ukraina adalah (setahunan lalu) enabler kebiadapan Israel terhadap Palestina.