Dea Kurniawan Pradana
“yang jahat-jahat di papua udah biasa nyebrang ke sini {Papua New Guinea}, Prada…. bahkan aku bikin acara kumpul-kumpul warga Papua dan PNG yang bermasalah, di training,” kata Dea. Iya, Dea mimpin training. Saya ga kaget Lukas Enembe, ludes 1-1,2 Triliun di meja judi (*ada yang lebih ahli ngitung, bilang bisa aja 2 Triliun). Satu orang minimal menghabiskan 1 Triliun. 5 harian lalu ada rumah diviralkan, rumah di kemang, harganya 150 Miliar, saking megah dan luasnya. Uang yang ludes oleh SATU ORANG bernama Lukas Enembe, bisa beli 7 rumah yang sama.
Saya kopas utuh: alokasi Dana Otsus Papua, yaitu Rp5,7 triliun untuk Papua dan Rp2,7 triliun untuk Papua Barat. Selain itu, lanjut politisi Partai Demokrat tersebut, Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) dalam rangka Otsus Papua dan Papua Barat sebesar Rp4,37 triliun.
Satu Triliun dari anggaplah 13 Triliun untuk sekujur Papua, habis untuk satu orang di meja judi. Luas Papua itu kira-kira setengah dari keseluruhan pulau Papua, karena setengahnya lagi negara PNG. Papua pulau terbesar kedua di dunia setelah greenland. dan uang satu Triliun habis bukan untuk sekujur Papua sisi NKRI (Papua+Papua Barat), tapi meja judi yang mungkin cuma selebar 10x10 meter.
Tapi saya ingin membahas teman amat baik saya, Dea.
Sekali lagi. Dea mimpin training orang-orang yang terbiasa Perang Suku. Dea bahkan ga lebih tinggi dari saya, meski lebih tua nyaris tiga tahun dari saya. Tapi sejak di kampus, nyali Dea memang “gede banget”, entah memang karena punya darah polisi (*ayahnya Dea polisi). Dea satu-satunya warga HI UGM yang sanggup nyetir truk, kami sempat makrab ke (tentu saja pasti pilih) Merapi dan untuk mengangkut logistik, pakai truk, dan Dea yang nyetir, bukan nyewa Truk sekaligus sopirnya. Saya yakin seluruh alumni HI UGM dan dosen HI UGM yang masih hidup tidak ada yang bisa menyetir truk, dan hanya Dea yang bisa.
—---
Dea adalah mercusuar Pejambon (Kementerian Luar Negeri) untuk isu-isu Pasifik, karena Dea di Kedubes Indonesia untuk PNG. Saat ini sekujur Pasifik semakin intens perebutan influence/pengaruh Amerika vs China, berburu aliansi. Tapi ada isu lebih spesifik lagi mengapa Dea benar-benar “mercusuar” yang amat penting.
Setiap Sidang Umum PBB (General Assembly) dilangsungkan tiap tahun, yang selalu sekitar sebulan sebelum ultah PBB (Ultah PBB: 24 Oktober, artinya Sidang Umum dilakukan mulai pada 19 September dan hari-hari kedepannya), Indonesia selalu punya “problem berulang, menahun”: sikap negara-negara Pasifik yang disampaikan di PBB terkait Indonesia. Biasanya yang “paling nyinyir” adalah delegasi Vanuatu dalam menyampaikan-mencibir Indonesia terkait isu Papua. Maka, selalu ada highlight: siapa ya delegasi Indonesia yang melakukan “statement / pidato balasan” terhadap vanuatu dan atau negara Pasifik lainnya. Seingat saya dalam 15 tahun terakhir tidak pernah warga HI UGM menjadi pelaku respon atas sikap Pasifik di UN GA, entah memang kebijakan Pejambon berusaha agar “tidak semua-semuanya yang jadi wajah Kemlu itu HI UGM.” Toh baru saat Menteri Retno Marsudi - lah HI UGM untuk pertama kalinya menteri/representasi di kemlu—padahal puluhan tahun HI UGM banyak yang masuk Kemlu (*HI UGM HI tertua di ASEAN). Ali Alatas (almarhum) tentu saja bukan HI UGM.
Saya sudah tahu bahwa Dea sudah sejak lama masuk Kemlu. Maka saya bingung (sejak lama) “mengapa Dea tidak pernah dijadikan ujung tombak” kemenlu untuk menghadapi ocehan-cibiran negara-negara Pasifik di tiap kali pekan Sidang Umum PBB bergulir tiap tahun. Dea lulusan AFS sebelum masuk HI UGM, cuma ada dua orang AFS di angkatan saya.
Dea amat-amat cerdas (meski Dea terus-menerus merendah). Sebagai teman, saya bingung banget kenapa Pejambon ga kunjung memilih Dea. Siapapun yang jadi “pemberi respon dari pihak Kemenlu” di tiap pekan-pekan sidang umum PBB, akan amat cepat naik jabatan. Dea jelas-jelas menjadi “informan”, “mercusuar” atas isu-isu Pasifik. Tapi Dea tidak pernah sekalipun dipilih atau mengambil kesempatan agar bisa dipilih untuk mendapat pos NY (Pos Urusan PBB di NY/Perutusan Tetap PBB—ini hanya ada di NY dan Jenewa, bukan Konsulat Jenderal). Saat saya mulai mengetik, Presiden Chile (Gabriel Boric Font) sedang berpidato sebagai giliran alfabetis Chile untuk pidato Sidang Umum. Kanselir jerman Olaf Scholz duluan tiba di Gedung PBB meski giliran Germany belum secara alfabetis. Olaf tidak ke acara pemakaman Elizabeth, melainkan menjamu (di Berlin) Ketua Partai Demokrat Italia (Partito Democratico) Enrico Letta ,setelah itu langsung ke NY sejak kemarin.
Jawaban simpelnya: keluarga.
Jawaban panjangnya bisa sekujur note ini.
Saya dan Dea kebetulan bukan semata Ketua Kelas di HI UGM (Dea A, saya B). Bukan hanya tersemat nama Pradana dan sama-sama tiga suku kata untuk nama, karena (kami sama-sama) anak sulung. Tapi saya dan Dea juga berada dalam naungan KKN UGM unit yang sama. Bahkan area yang sama. Dea kemudian menikahi gadis “area dekat KKN”, cinlok.
Dea mungkin rekor di angkatan HI UGM: Dea sudah punya empat anak. Bayangkan betapa irinya saya. Tapi Dea membesarkan hati “setiap orang punya jalannya sendiri-sendiri Prada.” Disitulah membuat Dea merasa gamang, dan atau, mengalah, untuk tidak “ngoyo” berkarir. “Intinya semua beres dikerjakan, Prada, baru bisa pulang.”
Menguras tenaga banget Dea dan Tya (istri Dea) urus 4 anak. Saya berusaha mafhum banget mengapa Dea berupaya untuk “cari posisi yang tidak terlalu membebani.” Terlepas PNG itu ya banyak perang suku. “Riyadh bisa muntah-muntah Prada kalau segunung urus masalah hukum, Prada.” Oh iya, TKI (TKW). Dea amat lapang dada untuk selalu di Port Moresby dan berulang kali tidak mau dipindah meski kota-kota yang dipromosikan untuk Dea jauh lebih “cihui”. Saya tidak bisa bilang kota apa yang pernah dipromosikan untuk Dea sebagai pos baru. Dia merasa cukup di PNG, ya ada tantangannya, tapi ga super berat: dia sudah punya 4 anak.
Saya tahu betul beberapa non HI UGM yang seangkatan dengan Dea saat masuk kemlu, dan wah banget gelar akademiknya. Tapi Dea ga mau ngejar itu. keluarga tetap (ter)penting.
Saya sempat putus asa karena disaat terjadi Perang Suku di PNG, saya baru nyadar nomor yang biasa dipakai Dea sebagai WA, hilang. Artinya tidak lagi dipakai untuk ber-WA. Tapi 10 hari setelah Perang Suku di PNG, tiba-tiba saya di wasap Dea pakai nomor lain. Bertemulah dua sahabat Papua Nugini.
Karena sudah amat lama tak bertemu, kami obrol macam-macam. Dari mahasiswa, alumni, dosen, dan bahkan yang HI tapi bukan HI UGM. Juga tempat KKN kami berdua, dan gimana dia bisa cinlok dan saya bisa ga ngeh Dea cinlok padahal satu grup kecil di tempat yang sama KKN-nya, bukan semata satu unit KKN yang sama Obrolin nama-nama baik yang sudah wafat dan masih hidup, karena bahkan Dea ga tau ada warga HI UGM 07 yang sudah wafat. Saya berusaha menghitung ulang setelah selesai berjumpa Dea, kami berdua obrol-obrol dan (sekelumit, atau cukup panjang lebar) tentang 43 nama. Bahkan termasuk bahas kasus kekerasan seksual oknum dosen HI UGM.
Dea ga tahu di depannya adalah temannya yang (pernah) naksir sama Wulan — dan Dea gatau kejahatan kelakuan teman-temannya sendiri. Kami berdua ga bahas Wulan saat bertemu. Malah bahas puluhan orang lain, bahas apapun, berjam-jam.
Dea memberikan saya “barang/hal-hal Asli Papua Nugini” yang amat berat—-padahal mungkin awalnya dibagi tuk orang lain. Saya belum sempat memberikan paket susulan untuk Dea, sedih banget. Pasti akan kukirimi paket untuk Dea-Tia-4 anak-anak.
Karena beristri Yogya, justru Dea bisa jadi jauh lebih kenal Yogya dibanding saya yang terlalu lama belum kunjung pulang ke Yogya. Dea bercerita banyak banget hal-hal tabu tentang Kemenlu, dan hal-hal amat privat tentang Dea sendiri. Kesialan tentang JERMAN, kata Dea, adalah hal yang paling membuat saya tertegun. “Mudah-mudahan aku lebih beruntung dibanding Dea ya.” Amin….. Aku ga beruntung tentang Wulan, meski aku ga yakin beruntung untuk hal lain.
Langgeng-langgeng dan sehat 4-4 nya anak ya Dea, serta lancar rezeki bareng Tia, aminnn.. Segeralah beli karet pelindung ipad atau semacamnya, takut 4-4 anaknya beneran banting lebih serem ipad dikira mainan kayu, Dea, huhuhuhu.