Fairness
Bila hatimu bergetar marah melihat setiap ketidakadilan, maka kau adalah saudaraku.
Semoga ujung jarimu tidak takut meraba gulita.
Kalau bahkan ex CEO / Bankir bank terbesar ke 6 ASEAN merasa ada ketidakadilan BPJS Kesehatan (*biaya pengobatan orang2 ultrakaya tapi pakai bpjs di Indonesia ternyata per pasien ultra kaya kabarnya 70 kali lipat dibanding pasien miskin tapi juga bayar BPJS kesehatan), tergetar hatinya bahwa beneran ada hal keserakahan di depan mata beliau, harusnya Pak Gunadi lebih cocok kalau double job non gaji jadi Internal Audit LPDP bukan cuma Menkes.
Tapi kan…..
Pak Gunadi secara tak terduga ternyata aktif (diam-diam) di Instagram. Bisa jadi sering menanyakan ke anaknya “ini siapa. itu siapa”. Dan sangat mungkin melihat pamer jalan-jalan anak-anak orang kaya (sangat mungkin anak kenalannya sendiri) yang sebetulnya dibayari LPDP, dibayari PAJAK.
Spesifik stories (a) NYC dan Los Angeles adalah anakapejabat amat kaya yang 2017-2020 keliling dunia, & tuk kuliah di NYC mencuri dengan mengambik jatah LPDP. Spesifik stories (b) IG Switzerland hanya diambil dari 1 awardee LPDP. Saya gatau apa oknum awardee ini menghemat uang LPDP karena bersangkutan jelas2 Harvard tuk LPDP nya bukan Switzerland. Atau karena memang anak orang kaya banget jadi ya gampang liburan ke Switzerland.
Kalau gitu ya gausah ngemis2 pakai LPDP tuk kuliah di Harvard kalau bisa liburan di Switzerland. Kebijakan terbaru berbagai negara sejak November ini —- yang kebetulan banyak jadi tujuan berLPDP, menekankan warga asing di negara tersebut harus punya deposit (terbukti) dalam konversi ratusan juta rupiah per jiwa (tergantung mata uang dipakai negara tsb). Konteks: jika bawa anak istri, dikali sebanyak anggota keluarga yang dibawa. Kebijakan terbaru ini makin membuat anak2 miskin yang kebetulan lolos sebagai awardee LPDP kesulitan berlipat-lipat. Dan tentu saja amat gampang bagi anak2 orang kaya penerima LPDP tuk punya deposit terbukti (dibuktikan) kepada Kedubes tempat akan dimana dia bersekolah. Nama tidak akan disamarkan.
(Thank you uang pajak berbentuk LPDP 2 Miliar/Tahun, mungkin lebih. Saya bisa nikahan super mewah dan foto super mewah di NYC bukan cuma hidup mewah saat kuliah di LN).
Tips nikahan super mewah dengan fotografer super mahal: mengambil LPDP meski orangtua amat kaya triliuner/hampir triliuner masing-masing pihak dua keluarga
*selain uang pajak anda dibuang2 anak2 orang ultra kaya untuk kuliah+foto2 instagram, uang pajak anda dipakai tuk ngewe / sex bebas orang pajak:
New York, Geneva, Jakarta. Cuma jalan-jalan keseringan di NYC. Anak Direktur RS di Jakarta. Masuk Kementerian. Memaksa memakai LPDP tuk kuliah di Harvard meski sangat mampu bayar sendiri. Keserakahan absolut.
Another greedy LPDP
KETURUNAN or part Kraton. Kuliah di UCL sebetulnya sanggup uang sendiri, sekarang jalan-jalan ke Jepang pakai uang LPDP
Another Greedy LPDP
Menyenangkan bukan. Sekeluarga sanggup beli tiket PP Jakarta-NYC, tapi anaknya ngemis LPDP tuk nonton konser
(*Kalau Yu orang bisa jalan2 ke LN tiap tahun jauh sebelum covid, Yu orang ga bisa, ga berhak, ga boleh ambil LPDP. Logika anti serakahnya demikian)
(Pak Gunadi watch you)
Dominasi Bank Mandiri, dimana Pak Gunadi ex CEO, sebagai ATM 20 ribuan
Saya meng-iur (ikut iuran asuransi) di kitabisa sampai untuk (membayarkan) 6 nama berbeda. Program tersebut dimatikan dan segala saldonya dihibahkan untuk kemanusiaan lain (*semacam failure program—dan sudahlah). Siapapun yang pernah membayarkan bantuan (tidak harus iuran asuransi) pakai apps Kitabisa, pasti akan mendapat email terus-menerus atas laporan pemakaian dana. Secara garis besar, meski ada yang 500 juta atau bahkan 2 miliar pengumpulan dana kitabisa, rerata warga miskin (*dan tidak sanggup bayar iuran BPJS) bahkan cuma membutuhkan 8-12 jutaan. Saya berasumsi bahwa warga miskin yang sedikit lebih baik, yang sanggup iuran BPJS, biaya plafon yang tertanggung oleh pemerintah juga hanya sekitar 8-12 jutaan. Sementara orang2 super kaya menghabiskan 800 juta bahkan mungkin miliaran, tapi sebetulnya angka-uang tsb masih sanggup DIBAYARKAN SENDIRI oleh mereka tanpa harus pakai BPJS. Realitanya, seperti kemarahan Menkes, warga2 super kaya yang sanggup sebetulnya bayar 5-10 miliar (or lebih) , ternyata 5-10 miliaran biaya pengobatannya ditanggung pemerintah.
Sejujurnya, saya kaget banget banget banget tiba-tiba seorang ex Bankir sampai peduli tentang amat jebolnya BPJS Kesehatan. Jarang banget Bankir or ex Bankir cawe-cawe hal2 yang sangat sosialisme (seperti BPJS). HINGGA, si Bankir or ex Bankir jadi Menteri melihat amat berdarah2nya BPJS dan justru bukan gegara warga miskin penerima manfaat BPJS kesehatan tapi (JUSTRU BERDARAH2) gegara warga ultra kaya yang biaya kesehatan nya puluhan kali lipat per kapita dibanding biaya kesehatan (ditanggung bpjs) per kapita warga miskin.
Kolega2 Bankir ultra kaya di NKRI, dikenal betul sama Pak Gunadi, banyak banget nyekolahin anaknya pakai LPDP, padahal bisa bayar sendiri. Suka banget jalan2 ke Eiffel pakai uang LPDP. Belum pejabat bidang lain. You kan udah tau ortu Maudy Ayunda ultra kaya tapi tanpa merasa bersalah si anak (1) ngambil LPDP dan (2) ngembat hak lulusan HI tuk jadi jubir G20, tanpa merasa bersalah. Kayaknya sudah common sense masalah LPDP nya Maudy tanpa ngegoogle. Yang paling bikin muak, baru saja pada 26 Nov saya baca di twitter. Saya ga terbiasa doxxing atau googling profil orang, ga seperti hewan-hewan. Saya baru ngeh saat orang lain di twitter bilang kalau dia sekolah internasional sebelum kuliah di LN (pakai LPDP). Bayangkan bisa sekolah pre-kuliah semuanya sekolah internasional, belasan (/puluhan) brand ambassador, ortu nya pun udah suer kaya, tapi tetep apply LPDP. dan hipokrit kayak gini BANYAK BANGET dilakukan anak-anak pejabat dengan common reply *kan ortu bayar pajak juga* lol.
Bayangkan seperti ini yang lebih mengganggu: disaat utamanya Maret-November layoff dimana-mana (bukan cuma di NKRI), (anak-anak dari orang) superkaya di Indonesia memakai uang LPDP tuk jalan-jalan + foto-foto di IG di luar negeri. Disturbing banget banget banget. Dikutip dari investigasi TIRTO, komunitas alumni LPDP, Mata Garuda, mencatat bahwa hingga akhir 2017, mayoritas alumni (mereka yang sudah menamatkan studi dengan beasiswa LPDP) kembali berkiprah di sektor publik (40,7%). Angka ini disusul oleh 34,5 % yang bekerja di sektor swasta. Adapun mereka yang bekerja di sektor publik tersebut mayoritas (79,5%) merupakan akademisi, yaitu dosen atau peneliti. Sektor yang paling sigap dalam menampung lulusan LPDP adalah sektor yang tumbuh dengan sangat cepat namun masih menyimpan risiko untuk menjadi sebuah gelembung: ekonomi digital, startup.
Saat ini terjadi kesulitan di berbagai startup di seluruh dunia, dan lebih-lebih Indonesia.
Bayangkan kepiluan ini: anak2 awardee LPDP yang balik ke Indonesia gagal menjaga startup tempat dimana dia bekerja, karena kolaps. Sementara adik-adiknya, angkatan lebih muda LPDP, menghabiskan uang pajak (*dan kebanyakan anak2 orang kaya selaku penerima LPDP) disaat si awardee LPDP ini harus off dari kerjaan karena layoff startup. Bayangkan posisi non Awardee pula, saat mereka harus mengalami layoff, sementara di hari yang sama, anak2 (orang kaya) menghabiskan uang pajak via LPDP dengan foto2 liburan.
Lol
(Majalah TEMPO terbaru)
Unpleasant Truth: tips masuk Harvard ya colongan pakai LPDP. belasan tahun, yg sukses masuk Harvard via LPDP beneran cuma anak2 orang ultra kaya yang biasa Les Inggris sejak SD. Anak2 warga biasa / miskin cuma 3% yang bisa masuk Ivy league via LPDP, dan 0 tuk spesifik Harvard. ZERO.
Saking serakahnya orang kaya.
Seingat saya anak Pak Gunadi fans Chelsea FC. Punya akun twitter sejak 2009 (udah followers 40k tapi terpaksa dihapus gegara diganggu hewan2), dan pernah lihat Pak Gunadi posting foto anaknya pakai baju Chelsea (*udah dihapus di twitter beliau). Pak Gunadi Tau betul koq kolega2 nya yg anak2nya pakai LPDP padahal super mampu bayar sendiri.