Lowered (your) standard
Kami bukan hebat, tapi terlatih (*then, para berseragam berbalik menghina perempuan dengan Halo Dek”)
Orangnya sudah kublok berulang (akun lawas saya–yang terpaksa saya matikan karena teror; dan akun baru saya). Mbak-mbak manja super, yang selalu overestimate dirinya cuma karena lekat-dekat punya koneksi ke pejabat BI dan di Singapore (*mbak-mbak dimaksud dibahas di sini). "Please ladies jangan lowered your standard", atas foto cuci piring seorang komisaris GOTO. Entah merasa sangat terganggu privasinya atas foto cuci piring (*yang dibuat istrinya dan amat viral) atau berusaha selowww atau berusaha nyambung dengan riuhnya cara berdebat di Twitter, si komisaris GOTO dimaksud berkata: ini ga ada hubungan hierarki dan patriarki. Si komisaris, Mr Aluwi, cuma ingin bilang "gue cuma cuci piring, sis". (*saya membahas $GOTO di sini).
Mba-mba cerewet ini ga kunjung menemukan pria karena memang punya track record belasan tahun menghina pria, enah jari atau mulut atau keduanya, entah (pria) sekantor atau orang lain. Tapi berasa paling penting (karena) punya koneksi ke BI atau MAS Singapore atau perbankan Singapore.
Sebetulnya dibanding riuhnya mba2 gatelan goblok ini cuma menang deket koneksi, saya malah kepikiran (gegara yang diterabas privasinya hari ini adalah komisaris $GOTO —karena stories foto istrinya jadi ultra viral) adalah kejadian tengah malam. Setelah post suatu depth investigation di LinkedIn, saya iseng baca depth investigation orang lain (blog2 private mereka) di LinkedIn. Di LinkedIn blog gituan lebih gampang dicari, meski saya ga yakin anda bisa menemukan akun saya karena gangguan impersonating “sekelompok” orang yang pernah mencoba membunuh ibu saya. Tapi yang lebih bikin merinding tengah malam tadi: ada tycoon masih muda banget di Australia nikah dengan seorang CEO officer $GOTO, yang jelas bawahan langsung Mr Aluwi ini. Si CEO officer ini entah gimana caranya bisa kenalan dengan "adek akuhhhh bogor-bali-belanda". Ternyata: sekampus.
Saya langsung kepikiran dengan Shanty - Sebastian Paredes (*saya ga perlu googling). Shanty super tajir dan sedang in peak performance, peak popularity pun. Tiba2 nikah dengan bankir keturunan Ecuador yang lini bisnis banknya yang sudah Global banget. Si Bankir ini muallaf. Shanty stop kerja. Fokus Ibu rumah tangga yang sempurna. Shanty punya privilege yang sempurna (dan amat-amat langka) untuk (menyempurnakan) inti dari (posisi) Ibu Rumah Tangga (full). There's a lot of truth here -- a man and woman mold each other into different people than they were -- that's a good thing. I don't know about "interesting" but I can tell you that when your kids spend 18 years with a highly intelligent mother, they become kings and queens.
Entah siapa yang lowered standard atau raise a bar ketinggian dan tetep dapet. Atau murni: takdir.
Dua pernikahan, yang Australia - Indonesia, dan satu lagi Indonesia - Ecuador ini membuat saya kepikiran lagi skenario terlalu ekstrim di dua Sisi: kalangan terpelajar dan kalangan seleb.
Ternyata (/mungkin) raise a bar warga Lpdp menjadi terlalu extremely high.
Dugaan saya. Perburuan "nikah dengan bule" bisa di adapt dengan, yang viral sebulan lalu, "sindikat berbagi ilmu antara oknum2 LPDP untuk kabur dan pindah warga negara, dengan duit rupiah pajak kampung halaman". Atau kalau ga dapet pasangan bule, ya sesama NKRI tapi sama2 kabur atau defectors. Menurut LPDP, angkanya mencapai 300+ oknum
Yang seleb? Cuma Maia Estianty dan suaminya yang sekarang, mungkin, yang se-prestige Shanty-Sebastian Paredes. Tapi dulu banget (duh ketahuan umur) kalau ga salah Nia Daniaty pernah nikah sama salah satu putra pangeran Brunei (& cerai).
Yang mengganggu bagi saya kadang adalah status kesukuan saya yang setengah-setengah. Jawa dan Minang, bertolakbelakang banget. Suku yang katanya saling membenci, dalam politik domestik diistilahkan "87 % vs 13 %" (hasil pilpres 2019 di Sumatera Barat). Sehina itu "Jawa" bagi mayoritas Minang.
Mungkin masalahnya (khusus) bagi saya: meski bercampur minang pun, kulit saya lebih tanned dibanding kebanyakan Jawa pada umumnya, sehingga gampang menjadi sasaran “banding-bandingke”.
Di sisi linear, Jawa dianggap "hitam pekat dan kuli". Olok2 netihen dan olok2 mulut ke mulut warga. Tapi di sisi lain, Jawa suka sekali dinyinyir "apa-apa Jawa". Semua hal jawanisasi yang terlanjur karena Soeharto. Dengan (misal) ribuan Masjid denah sama persis atap limas ala Jawa di 27 Provinsi (*sebelum 1999).
Apa-apa Jawa juga terdengar nyaring dari orang-orang tolol yang nyinyir perihal Farel menyanyi lagu berjudul sangat Jawa saat 17an di Istana. Saya bisa memastikan orang-orang tolol ini, mau sekaya apapun, sebetulnya sejak jam 8 pagi tidak hidupkan TV dan hanya melihat berita Farel menyanyi di istana. Padahal ya semua suku dipentaskan sesempat rentang 1,5 jam pasca bendera dikibarkan di istana negara.
Tapi saya terus merasa terganggu: sedemikian debatable kah Jawa. Suku yang terbanyak warganya diperbudak sampai ke Suriname dibanding suku manapun. Suku yang pulaunya paling awal diinjak VOC dan paling awal dijajah VOC lalu Belanda dan kemudian Napoleon (via Belanda yang pro Napoleon), lalu Inggris, lalu Belanda lagi, lalu Jepang. Jawa udah menderita lama banget. Dan apa iya siapapun warga Jawa harus me-lowered standard cuma gegara ocehan netihen dan (ocehan di) warung2 kopi, atau cuma gegara Presidennya orang Jawa.
Tapi bagi suku campur kayak saya, bisa jadi saya cuma kasta rendah bahkan bagi Jawa (in personal) yang 1000000 persen murni Jawa atau golongan (banyak orang) Jawa 1000000 persen.
Makin terlalu ide-ide bombastis yang merendahkan pria (bukan konteksnya mencoba “ladies, perbesar abilitas kamu”, tapi murni merendahkan kubu pria), bagi banyak pria hanya akan Worth none of my time, too much hassle. Good partner keeps you happy.
Belakangan yang paling kerasa ya para oknum berseragam melecehkan perempuan dengan “halo dek”. Tapi bisa jadi sebetulnya: ini tumpukan puluhan tahun tradisi wanita (NKRI) melecehkan kerjaan “berseragam” sehingga mereka berbalik melecehkan perempuan (akhir-akhir ini). Tapi jangan salah. Terlalu banyak anak kapolda dinikahkan dengan anak pejabat, entah yang mana yang anaknya menjadi polisi atau tentara (*belum tentu anak elit polisi memilih akpol / akmil). Terlalu banyak anak2 orang kaya yang sama fetish nya pada “lulusan akpol atau akmil”, ditelanjangi sendiri oleh mereka sendiri dengan pelukan vulgar di IG IG anak2 crazy rich. Jadi ini tidak mutlak “domain perawat”.
Best partner increases your awareness and consciousness. Di antara hal-hal yg berbahaya adalah kehormatan yg tidak didapat melalui perjuangan, tapi kehormatan karena atau via merendahkan orang lain.
She wants a man who hears her, sees her, understands her. Not just superficially, but deeply. Once you push superficially, you’re never ever married in your lifetime. Vice versa
She wants a man who will make her feel like she's the only woman in the world. Because how else can she trust that man to lead her. I realised girls want to be seen not superficially but really be seen. You can tell when you make it happen. Their eyes widened and became a little watery. It brings their true vulnerable selves out which a lot of girls are afraid to show.
Successful as a young man means having money, free time, clout, connections/friends, hoes and being in shape. As you grow older, being successful also implies having at least a few children and learning the skill of being a father. Money by itself is really not enough. Mungkin inilah kenapa banyak banget couple, entah seleb(gram)/seleb(twit) ultra pamer dan atau ya warga biasa tapi intens di media sosial, saat cerai, orang-orang pada kaget. Padahal (misal) yang satu cantik banget yang satu cakep banget. Yang terbaru tentu saja anak perempuan, kedokteran pun (udah lulus), dari keluarga pejabat + crazy rich, suaminya cakep, tapi tetep aja si suami selingkuh dan mencari selingkuhan — yang kebetulan seleb paling progresif setahun terakhir melabel dirinya “terdepan sebagai simbol Kartini Indonesia tuk rentang usia Gen Z”.
“Dating to marry” is psycho and ironically counterproductive. If you spend time with someone with this expectation looming like a sword overhead, you push away sane people with the pressure and attract people who doesn’t give a fuck who you are they just want the marriage (like a) mandatory box checked. The alternative is not thottery, it is spending time with someone and seeing if you enjoy their company naturally. And then once you feel something special and get to know their values, then, get to your intentions. “Dating to marry” is like doing an arranged marriage but without the benefit of your family vetting.
“What is the list of qualities you want in a spouse” is the WORST most autistic thing to ask when you’re getting to know someone. It’s a matter of the heart not a math equation.
For the right person, you want to get married asap and you think about it very soon after getting to know them. For the wrong person (like me), marriage feels scary, like a trap, and you don’t know if “you’re ready for it yet”. “Dating to marry” then is disingenuous on every level. “Dating to marry” means making your intentions known upfront. If a person gets scared of my intentions then I’m not wasting my time. That doesn’t mean you won’t have chemistry. Chemistry is what starts and ignites the relationship. I just refuse to play dating games.
The Devil is both handsome and beautiful. Devil (also) Wears me (prada).
Limbah dapur saya terlalu sedikit karena puasa. Bahkan lebih sedikit lagi dengan / dibanding orang lain yang juga puasa karena kebiasaan jelek saya terlalu sedikit makan. Tapi ya cuci piring itu normal. Kecuali mbak-mbak cerewet ini juga ga pernah cuci piring.