(EXPLICIT CONTENT, VULGAR): Very Expensive Sexual (&/ Cohabitation) in Student City
The greatest illusion of this world is the illusion of separation. Things you think are separate and different are actually one and the same
DC 8.08pm
I’m sorry for English-speaking readers. This is for Indonesian-local but if you are still interested, maybe use a translation. A some weird, sex life, selling sexual intimate for tuition fee in (mostly) Yogya, former capital city of Indonesia (1946-1948), a “student city” (same par “student city” like Adelaide in Australia or Kyoto in Japan).
In newest survey in Indonesia, some girl-student in Yogya can racked around US$1,000 / night for “service” (sex). Maybe bigger.
=======
START TO READ:
Mengingat pada kurun 2008, saya setidaknya hampir setahun di BEM (*saya sudah bergabung di BEM UGM pada September - Oktober 2007), saya menemui mba-mba yang, masih sepeda onthel, habis pulang kerja part time, tertabrak di suatu titik di dalam/tengah-tengah Pogung, karena dirinya keletihan, saya terkesiap atas angka / data 15 tahun kemudian. Di Pogung, saat itu, saya baru saja mengantar kopian sekardus karena sekalian untuk (sekaligus) teman-teman saya HI UGM yang berdomisili / berasal dari Bali dan kos-nya sebangunan di Pogung (dekat kedai makan AL-MAIDAH, ini amat legendaris ditengah mahasiswa di era saya karena murah sekali dan benar-benar hangat).
If you are having sex with student/University member in Yogyakarta, full night, you must pay around US$1,000 / Rp14,250,000 / +14 Million Rupiah just for one night
(Jadwal perkuliahan S1 UGM, mengambil contoh FISIPOL UGM —- yang harusnya fakultas lain juga tanggalnya serupa)
Mba-mba tadi selamat. Hanya lecet, tidak pucat betul matanya, tapi terlihat matanya nanar letih. Saya bertanya, “ga dapat beasiswa BOP atau PPA gitu mba, daripada kerja gini malah kecapekan dan ditabrak”, dirinya lirih, “saya ga nyampai (IPK) 2.8 mas.”
Pada kira-kira 2007 - 2011, untuk jurusan di UGM yang eksak, nilai IPK 2 - 2.5 sudah amat bagus, apalagi anak teknik. Kami di HI terbiasa dengan “bar” setinggi 3.55 - 3.9, bahkan tiga-empat orang per jurusan bisa dapat IPK 4 utuh. Andai saya tidak sibuk-sibuk amat dimana-mana, saya mungkin, engga ding, PASTI minimal bisa IPK 4 di setidaknya Semester 1-4.
Disaat heboh data transfer pricing/rate untuk Open BO 4 hari lalu, dimana Yogya urutan teratas untuk sekali “ena-ena, full semalam” 14 juta lebih, saya sebetulnya bingung bahwa apakah memang perkuliahan di Indonesia saat ini makin mundur ke September untuk semester ganjil/gasal. Saya sampai repot-repot me-BING (search Microsoft) untuk mencari jadwal kampus saya.
Bingung, karena setidaknya 11 anak-anak FISIPOL UGM masih liburan di Eropa, kebetulan di Belanda. Bahkan saya terpaksa bertanya teman saya (WNI) yang dosen dan di Belanda (*sudah otw ke Indonesia) apakah dirinya (*untuk kampusnya sendiri, di Indonesia, pengajaran daring) sudah mulai perkuliahan atau belum, untuk membandingkan kenapa beberapa anak FISIPOL masih liburan. Ya (belasan) orang kaya sih, bebas. Keistimewaan yang tidak dimiliki saya, tidak dimiliki mba-mba part time yang ditabrak di Pogung 15 tahun lalu. Toh orang-orang amat kaya, maksudnya, anak-anak dari orang amat kaya ini di kemudian hari akan mendapat beasiswa 2-4 miliar per tahun per jiwa bernama LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) —- dan bukannya mahasiswa berekonomi pas-pasan.
Aneh bukan angka tahun 2023: kenapa kota besar / ultra besar seperti Jakarta dan Bandung, yang hanya terpisah travel BARAYA atau Jack Holidays paling apes 5-6 jam (*kalau jalanan lancar bisa cuma 3 jam saja), bisa dibawah 10 juta tarif “LONG TIME” nya dibanding Yogya dan Lampung untuk menikmati sex bebas. Yogya berulang kali dihina “UMR terendah semesta”, sementara Lampung sempat heboh karena Gubernur nya—-maaf, bego (*saya gatau ini kena ITE atau gaknya) sehingga jalanan rusak padahal punya anggaran, sehingga terpaksa PUSAT yang membantu (LAGI) perbaikan jalan. Teman baik saya caca karena ke-bego-an Gubernur dalam membangun jalan: teman baik saya jatuh di jalanan Lampung dan secara teknis fisik, cacat sendi di suatu area badan-nya.
Sekali lagi, konten tulisan ini amat vulgar, dan berpotensi bikin marah.
Dan yang paling bikin ngilu bahwa potensi bahwa, both, baik memeluk Islam secara amat konservatif, atau Tionghoa dan amat konservatif, dan atau Hindu secara konservatif, atau Kristen dan amat konservatif, atau Katolik dan amat konservatif, sangat mungkin terlibat sex “satu malam” ini, adalah hal yang amat mengkhawatirkan. Saya berusaha meyakini betul ANDAI kalau seseorang perempuan minimal jilbaban rapat, mustahil rasanya ikut-ikutan Open BO ini. Belasan jam investigasi saya sendiri, pasca riset CNBC tentang tarif, memupuskan bahwa “yang amat konservatif mustahil ikutan open BO.”
Saya bahkan gatau apakah memang semahal itu biaya hidup anak-anak usia 15-24 saat ini di berbagai kampus, sehingga harus open BO. Tapi bahwa selebgram amat muda, dan amat rapat + rapih jilbabnya terlibat promosi slot judi yang related konten sex, another selebgram jilbaban amat rapat + rapih terlibat jualan ganja, dan yang juga memeluk agama diluar Islam dan terlihat “bajunya rapih dan ga sexy-sexy amat” ternyata ikutan terlibat hal open BO, membuat saya memahami betul kenapa banyak (utamanya) di sepantaran usia saya justru memilih tidak punya anak: khawatir 2040, 2043, atau 2050 anaknya (jika punya anak) terlibat open BO.
Beberapa tahun terakhir ada ucapan “mau jilbaban atau gak, nafsu cowo sama aja, pasti merkosa, ga ngaruh pakaian tertutup.” The weird problem pasca riset CNBC tentang tarif Open BO, salah satu potensi masalah yang muncul justru (MUNGKIN) “ga tentu juga yang jilbaban ga bakal open BO.” ga tentu juga yang rajin ke Klenteng atau ke Gereja ga bakal open BO.
Bacalah pelan-pelan agar tidak salah tafsir:
========
Setelah skema subsidi silang tidak langsung di TRISULA KAMPUS (UI, UGM, ITB, tapi lebih kentara UGM sih) dihapus dan kini memakai basis pembayaran bernama UKT, saya meyakini dan menyadari bahwa biaya kuliah “cukup meroket secara inflasi.” Jika saya hidup lebih telat lahirnya, atau maksudnya menjalani perkuliahan di era / skema UKT, ada kemungkinan saya harus melipatgandakan penjualan kopian buku sampai 60 kardus per pekan.
Pada saat puncaknya saya sibuk, saya harus bersiaga dengan tali rafia dan atau tali tambang, untuk sewaktu-waktu mengangkut kardus-kardus buku. Saya juga sebisa betul menghapal settingan (1) kursi dosen di ruangan mata kuliah yang saya pilih dan (2) apakah ruangan tersebut di lantai dasar atau lantai atas, sehingga tidak capek angkut-angkut kardus dan MUNGKIN bisa masuk diam-diam saat kuliah terlanjur sudah dimulai tanpa disadari dosen. Pintu ruangan (TIDAK SEMUA RUANGAN) saat FISIPOL belum semegah bangunan ala-ala zen Jepang, cukup sunyi atau tidak berisik saat dibuka.
Saya ingat betul bahwa in peak kesibukan saya, saya pernah —— ga ditegur sih —- tapi merepotkan kantor jurusan saya, karena saya bisa menaruh sampai 5 kardus atas nama saya sendiri, isinya buku kopian, padahal ada mahasiswa/i HI lain yang jual juga. Saya bahkan pernah menaruh berulang kali kardus-kardus buku ke sudut-sudut tak terpakai ruang BEM, tuk transit sementara buku pesanan. Itu belum puluhan kardus yang saya transit sementara di tempat fotokopian.
Sekali lagi saya mengakui, kalau saya berkuliah di masa pemberlakuan skema UKT, saya HARUS melipatgandakan sampai 60-70 kardus fotokopian buku HI UGM per pekan.
Saya sendiri bahkan gabisa mengukur seberapa sinting saya mengelola bisnis fotokopian untuk suplai buku HI (untuk) HI UGM semurah mungkin. The greatest illusion of this world is the illusion of separation. Things you think are separate and different are actually one and the same —— saya ga mau aji mumpung cuma karena (kesan) anak HI amat kaya sehingga saya seenaknya jual buku. Saya sebisa mungkin mempermurah harga buku kopian.
Awalnya saya bekerja sama dengan teman saya namanya Malikha. Tapi karena rumahnya jauh di dekat Kraton Yogya (sekitar 6 km dari FISIPOL, belum lagi macet jalanan dan skema satu arah dll), kasihan juga Malikha - nya dan saya angkut-angkut, saya memberanikan melakukan bisnis “panjer duit” di depan untuk suatu fotokopian sedekat mungkin dengan FISIPOL UGM.
Saya sedih betul mengetahui Ibunya Malikha wafat cuma beberapa tahun setelah sebagian besar HI 07 lulus. Ibunya Malikha amat baik. Saya pernah, literal, baru pulang jam 4 pagi cuma karena kerja kelompok di rumah Malikha.
Untuk menggambarkan sebegitu masif angka yang saya “putar” secara gross, si pemilik fotokopian dari awalnya punya gerai di SEKIP (kita menyebutnya “FISIPOL kampus lama, FISIPOL yang ada bioskopnya —— karena ada ruang super panjang dan gede banget di kampus lama FISIPOL ala bioskop), si mitra bisnis fotokopian dengan saya ini bisa menambah gerai di (1) area parkir sebelah RS Sardjito (*Kayakanya ini sudah dirombak total jadi bangunan RS, dulu masih parkiran yang ada fotokopian dan kantin / pujasera / angkringan) dan (2) gerai baru di dekat jaringan warnet-hotel bernama VIDI.
Saya pernah nge-tes seberapa bisa mitra saya mempermurah kopian, karena saya yang nanggung. Saya pernah testing buku Komunikasi yang kopiannya dijual 160k, ukuran dan ketebalannya hanya berbeda sekitar 20an halaman lebih sedikit dibanding suatu buku HI UGM, lebar dan tinggi juga mirip, saya bisa menjual 94k. Entah di pihak Komunikasi (siapapun yang mengelola) cari untung terlalu mahal, saya kurang paham.
Sekali lagi: The greatest illusion of this world is the illusion of separation. Things you think are separate and different are actually one and the same. Saya ga mau memperalat teman-teman saya di HI UGM yang 99% kaya raya. Disinilah, mungkin, jurusan HI UGM termasuk yang cukup radikal dalam hal subsidi silang secara tidak langsung. Karena saya hapal urutan absensi, minimal angkatan saya sendiri. Bahkan saya cukup hapal secara garis besar, tidak murni angka spesifik, tapi tahu junior dan senior saya, misal “oh 2008 si A itu absensi urutan awal, oh si Z 2010 HI UGM itu urutan absensi tengah-tengah, oh si Q HI 2005 itu absensi urutan depan.”
Skema absensi HI UGM cukup gampang memperlihatkan klasifikasi pembayaran. Absensi paling awal, pasti PBS (penelusuran bakat skolastik) dan PBUBD (PBS versi subsidiary Pemda——-meski ternyata sebetulnya persuratan katabelece pemda tapi uangnya tetep dari si ortu). Angka absensi selanjutnya yaitu yang mengikuti/lolos via UTUL UGM, in peak 2005 - 2011 diakui semua pihak “tes paling sulit se-Indonesia, mungkin se ASEAN” (saya ikut UTUL), lalu absensi selanjutnya adalah PBUTM (tidak mampu) dan SNMPTN.
PBS dan PBUBD di HI UGM bisa mencapai 50 jiwa dari total 140an. Angkanya mungkin bisa LEBIH dari 50 jika menghitung orang-per-orang yang sudah bayar pakai skema PBS tapi karena si anak keterima di STAN, ternyata malah meninggalkan HI UGM dan memilih STAN padahal sudah melunasi pembayaran format PBS.
Skema PBS di HI UGM memang tidak segila, utamanya, FK UGM, di zaman saya. Saya tahu betul ada beberapa ortu yang anaknya sudah menuliskan sanggup bayar 1-2 miliar untuk PBS (untuk) FK UGM pun tidak lolos. Entah nilai si anak tidak cukup bagus, atau, ada yang bagus nilainya dan sanggup bayar lebih besar dari 2 miliar. Macam-macam lah kasusnya dan polanya.
Mengingat HI UGM bisa lebih dari sepertiga adalah PBS + PBUBD, secara teknis kami per tahun menyumbang cukup radikal-amat besar kepada rektorat per jiwa rata-rata mahasiswa, dibanding jurusan lain NON FK UGM. Lucunya, apa yang terterima, menurut kalkulasi rumit yang saya punya, HI UGM tidak mendapat hal sepadan (segala pendanaan dll) atas apa yang terbayarkan tiap tahunnya.
Semacam begini: jika tiap tahun HI UGM (total PBS PBUBD UTUL dikurangi yang PBUTM / Tidak Mampu) bisa in general sekitar 7 miliar per tahun ke rektorat, rektorat hanya mentransfer (HANYA) kurang lebih 3-3.5 miliar sudah termasuk gaji dosen HI UGM.
Jadi saya tidak mau dan tidak akan membuat “aji mumpung” menghargai buku kopian menjadi mahal cuma karena teman-teman HI UGM saya amat kaya. Saya sering, karena mahasiswa HI UGM lainnya mengkopi buku yang sama, perbedaannya bisa 14k-17k per buku dimana saya lebih murah, padahal ya bukunya sama persis karena matkul HI UGM yang sama.
Bayangkan saya ga ambil untung, tapi mitra fotokopian saya bisa nambah dua gerai tambahan. Iya tentu saja mitra fotokopian saya tidak cuma mendapat order dari saya, tapi “Mas Prada ini yang selalu mau bayar di depan jadi kami ga ragu ngefotokopi secepet mungkin untuk kulak beli kertas dan tinta, dan beli tambahan mesin fotokopi.”
=======
Saya sadar betul mba-mba part time di cerita terawal akan kalah dibanding teman-teman saya di HI UGM yang amat mudah mendapat beasiswa meski orang kaya. Tidak perlu kerja, fasilitas laptop (*saya bahkan mengetik semua kerjaan kuliah pakai komputer lawas “PENTIUM” apalah-apalah plus di warnet), makan tidak perlu mikir, kos ber-AC dan sunyi/tidak berisik. Di bertahun kemudian, dengan mudah pula sebagian besar HI UGM, pun, anak-anak HI kampus lain di Indonesia, bisa dengan MUDAH pula mendapat LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) meski ortunya sanggup membayar utuh kuliah luar negeri.
Persaingannya tidak adil, saya sadar betul: karena dari kantor BEM, saya sendiri, pakai pulsa sendiri, yang meng-SMS mengabari “hey, kamu dapat beasiswa, jangan telat ambil.”
Pengumuman printed di papan-papan pengumuman jarang dibaca seksama. Di semua fakultas di UGM.
Andai, mahasiswa-mahasiswa kaya di HI UGM dan jurusan-fakultas lain di UGM tidak serakah apply beasiswa, mba-mba tadi pakai onthel sekalipun part time, sangat mungkin bisa tetep dapat beasiswa karena slot-nya tidak terambil oleh “mahasiswa kaya yang kebetulan IPK nya super tinggi.” Dengan persaingan lebih adil, berkurang drastis aplikan dengan IPK super tinggi, mba-mba part time tadi harusnya, dengan IPK 2.8, bisa dapat beasiswa.
======
Ada kemungkinan amat tingginya tarif open BO di Surabaya bukan murni “(OKNUM) anak-anak Jakarta / Jabodetabek” kuliah di Surabaya, dengan “standar kecantikan dan kebersihan badan dan apapun itu” (SUDAH SAYA INGATKAN kalau tulisan ini rant vulgar, explicit menjelaskan) tapi juga anak-anak (OKNUM) dari sisi Bali, yang dikenal juga amat cantik. Sejauh yang saya pahami, tingkat kemanjaan dan takut kejauhan anak-anak JAKARTA / JABODETABEK, sudah jerit-jerit kalau terpaksa sekolah di Malang, apalagi kalau jauh betul di Surabaya. Saya sadar betul pemicu angkanya SANGAT MUNGKIN (OKNUM) Chindo di Surabaya.
Sebagai tujuan utama “KALAU BUKAN UI, pokoknya apapun di YOGYA”, tentu saja makin masif mahasiswa/i JAKARTA / JABODETABEK kuliah di (apapun kampusnya) di Yogya. Salah satu (ex) Chief Lead saya, bisnis aslinya bukan sama sekali kos, tiba-tiba pensiun dengan buka kosan di Yogya yang kira-kira 200an kamar, 7 tahun lalu.
Saya ga tahu seberapa terjal ketidakadilan gebuk-gebukan mendapat beasiswa di saat ini dengan biaya skema ala UKT. Saya sudah bilang saya, yang jualan kopian, yang SADAR BETUL teman-teman super kaya saya mensubsidi tidak langsung perkuliahan di HI UGM, MENGAMINI kalau inflasi benar-benar terasa antara yang saya bayar dengan yang harus dibayar di era skema UKT.
Saya ga yakin anak-anak super kaya JABODETABEK / JAKARTA cukup masif menjadi (OKNUM) penjaja seks di Yogya. Bisa jadi malah gratisan, atau, suka sama suka. Ngapain, “gue udah ga butuh duit, duit gue banyak.”
Sangat mungkin kenapa angkanya sebegitu tinggi di Yogya bercampur ribuan pola “asbabun nuzul” (penyebab awal/latar belakang si pelaku melakukan open BO). Ada juga yag mungkin uang jajannya jelas-jelas 50an juta per bulan mungkin ga cukup karena tiap hari, sekali makan bayar 80k (means: 200-240k per hari), sehingga meski udah gede banget uang jajan dan di apartmen deket kampus, tetep open BO.
Bayangkan, misalnya, keadilan diterapkan di semua kampus di Yogya dimana mahasiswa/i kaya tidak boleh ambil beasiswa apapun. Mungkin rate angka open BO di Yogya tidak semahal 14 juta 250 ribu. Mungkin tetap tinggi, tapi tidak setinggi itu, karena berbagai orang (MUNGKIN) lebih memilih cara halal yaitu berburu beasiswa. Saya berusaha meyakini, yang terjadi kenapa 14 juta lebih, tuk tarif semalam, karena banyak mahasisw(i), OKNUM mahasiswi, putus asa tidak mendapat beasiswa (di BERBAGAI KAMPUS) di Yogya, karena banyak (sekali) mahasiswa/i kaya yang enteng mendapat beasiswa karena enteng kesehariannya, sehingga daripada bertarung sulit-sulit mencari beasiswa melawan mahasiswa/i amat kaya yang GAMPANG mendapat IPK, dan daripada part time (seperti mbak-mbak sepeda onthel di awal-awal paragraf), lebih baik mengangkang vagina.
Tapi saya juga berusaha membayangkan:
Kalau ketidakadilan gebuk-gebukan beasiswa di kampus masih dan justru makin gila ketidakadilannya dibanding “mba-mba sepeda onthel” yang saya temui, ada kemungkinan “daripada part time, mending buka selangkangan.” Daripada capek-capek sepedaan part time kerja-kampus, mending AC buka selangkangan dapet jutaan.”
Saya berusaha menyadari bahwa angka di kota super besar seperti Jakarta dan Bandung malah murah, ya, mungkin, karena variabel kasusnya lebih dominan open BO suka-sama-suka yang ga perlu bayar (karena sudah amat kaya). Dibanding di Yogya yang “HARUS BAYAR” karena butuh untuk bayar kuliah.
Saya masih agak confused kenapa Lampung, provinsi jalanan bobrok yang bikin teman saya cacat, malah super mahal. Saya berusaha secara vulgar membayangkan ini terpengaruh open BO mahasisw(i) dengan supir-supir truk antar pulau, ataukah bercampur dangdut, atau variabel lain. Sepemahaman saya, anak-anak Batak (Sumatera Utara) sedikit untuk menyekolahkan ke Lampung, mending langsung sekalian ke Jawa (apapun opsi kota-nya).
=========END————
Thank you, as always, for reading. If you have anything like a spark file, or master thought list (spark file sounds so much cooler), let me know how you use it in the comments below. Thank you so much for letting me vent! If you enjoyed this article, you can give pledge to me same as 25 subscribers (click PLEDGE button) or simply share this article with a friend. It helps me more than you realise.
If you enjoyed this post, please share it.
______________
Professor Hendrik, Professor Eric, and another person, Prof David A. Andelman, former Bureau Chief NYTimes recommended my substack, also some Chief Technology of Financial Times (FT) recommended my substack, not only subscribe. I'd be happy to get more & more PLEDGE and recommendations for better crafted writing (via Bank Central Asia (with my full-name ADI MULIA PRADANA, clearing code 0140119, account number 0201558866 or via STRIPE. For me, prefer Bank Central Asia).
If a friend sent this to you, you could subscribe here 👇. All content is free, and paid subscriptions are voluntary.
——————————————————————————————————
-prada- Adi Mulia Pradana is a Helper. Former adviser (President Indonesia) Jokowi for mapping 2-times election. I used to get paid to catch all these blunders—now I do it for free. Trying to work out what's going on, what happens next. Now figure out and or prevent catastrophic of everything.
(Very rare compliment and initiative pledge, and hopefully more readers more pledges to me. Thank you. My note-live blog about Russia - Ukraine already click-read 6 millions, not counting another note especially Live Update Substack (mostly Live Update Election or massive incident)
=======
Thanks for reading Prada’s Newsletter. I was lured, inspired by someone writer, his post in LinkedIn months ago, “Currently after a routine daily writing newsletter in the last 10 years, my subscriber reaches 100,000. Maybe one of my subscribers is your boss.” After I get followed / subscribed by (literally) prominent AI and prominent Chief Product and Technology of mammoth global media (both: Sir, thank you so much), I try crafting more / better writing.
To get the ones who really appreciate your writing, and now prominent people appreciate my writing, priceless feeling. Prada ungated/no paywall every notes-but thank you for anyone open initiative pledge to me.
(Promoting to more engage in Substack) Seamless to listen to your favorite podcasts on Substack. You can buy a better headset to listen to a podcast here (GST DE352306207).
Listeners on Apple Podcasts, Spotify, Overcast, or Pocket Casts simultaneously. podcasting can transform more of a conversation. Invite listeners to weigh in on episodes directly with you and with each other through discussion threads. At Substack, the process is to build with writers. Podcasts are an amazing feature of the Substack. I wish it had a feature to read the words we have written down without us having to do the speaking. Thanks for reading Prada’s Newsletter.
Wants comfy jogging pants / jogginghose amid scorching summer or (one day) harsh winter like black jogginghose or khaki/beige jogginghose like this? click
Headset and Mic can buy in here, but not including this cat, laptop, and couch / sofa.