If I’m President, I Would Like to Overhaul Scheme of Facilities for Former Prez & Former VP, and Very Transparent
Saya selalu suka berkunjung ke rumah teman SMA saya, namanya Surya, di suatu titik di Sleman. Dan tiap kali ke rumah Surya, saya selalu teringat bahwa rumah Surya amat dekat dengan kediaman Mantan Wakil Presiden Boediono. Entah kenapa, Surya sejak SMA suka dengan Sukun Goreng, dan sejak SMA, kemudian setelah kuliah dengan menyisihkan uang hasil jualan buku HI dan fotokopian, selain membeli kado untuk orang-orang di HI UGM, atau menyewa VCD film-film langka, saya biasa membelikan Sukun Goreng untuk Surya — dan harus Sukun Goreng yang dijual di Kopma UGM. Surya adalah orang yang aneh karena dia selalu mengatakan sate padang jauh lebih enak dibanding sate madura meski dia 1000% Jawa – mungkin gelar kratonnya selevel dengan saya meski beda Kraton. Sementara saya, 50% Minang - 50% Jawa, tidak terlalu ngefans Sate Padang.
(Megawati merayakan ulang tahun tahun 2000 di rumah dinas kenegaraan di sebelah Masjid Agung Sunda Kelapa / berdekatan BAPPENAS, selatan Taman Suropati — bukan Teuku Umar. Tampak alm Taufik Kiemas dan Kepala BIN saat ini Budi Gunawan)
Rumah Surya amat luas, bahkan halaman rumahnya memuat “rumah kecil yang lain” dan benar-benar ditinggali. Sangat mungkin rumah Pak Boediono sama luasnya dengan rumah Surya.
Rumah Pak Boediono, dan artinya sekaligus rumah Surya sangat aman: dekat dengan Korem. Bayangkan bahwa Pak Boediono sudahlah dijaga TNI, kemudian dijaga Paspampres. Saya ingat betul tanpa meng-google lagi: Pak Boediono suka berolahraga dengan lari-lari menyusuri Selokan Mataram tanpa alas kaki. Ya tentu, rumah Pak Boediono juga dekat dengan Selokan Mataram.
Seperti halnya (*ini mungkin bisa beda-beda tergantung kebijakan negara, tapi AS jelas berlakukan hal sama) Presiden dan Wakil Presiden aktif, Mantan Presiden dan Mantan Wakil Presiden dilindungi Paspampres. Saya memastikan Pak Boediono ikut dilindungi Paspampres, karena Mantan Wapres Hamzah Haz juga dilindungi Paspampres, minimal beliau sendiri menyatakannya (dijaga paspampres, dalam interview terakhirnya dengan detik). Rumah Pak Hamzah Haz di Patra Kuningan, dekat dengan almarhum BJ Habibie. Apesnya, saya ga pernah ketemu Pak Hamzah Haz saat Pak Habibie wafat—dimana saya berhari-hari/berulang ke rumah almarhum untuk yasinan dan lainnya, disaat Pak Hamzah Haz bertetangga.
Saya sudah di rumah almarhum Pak Habibie, untungnya sukses masuk sampai di ruang dimana jasad Pak Habibie disemayamkan di ruang utama, setidaknya jam 10an malam pada 11 September 2019, sebelum aksesnya dibatasi total sekitar jam 11 malam. Tentu saja Paspampres dimana-mana. Berhari-hari. Menurut kesaksian yang pernah bertugas dalam kepresidenan Habibie, Habibie bersikeras dan sepanjang masa kepresidenan, meski pendek masa jabatannya, rumah dinasnya bukan di Sunda Kelapa tapi di rumahnya sendiri di Patra Kuningan. Sehingga trafik keperluan harian Habibie adalah Istana-Patra Kuningan semasa menjadi Presiden.
(rumah Bangka 5 Kemang ini kini menjadi The Habibie Institute)
Untuk menjadi contoh, saat Obama sudah tidak lagi jadi Presiden, dan kemudian diundang sebagai pembicara di Indonesia dan juga untuk liburan privat keluarganya sendiri, Obama dijaga paspampres AS atau kita mengenalnya Secret Service. Bahkan Trump, saat harus menghadiri sidang awal atas kasus dirinya, juga mendapat pengawalan Secret Service.
Saya tertarik menulis kepresidenan karena beberapa jam lalu, hanya dalam 3 (TIGA) jam, suatu twit dari Kang Iman membahas tentang kepemilikan rumah Megawati di Teuku Umar Menteng (no.27 dan 29) menembus view 1,2 juta, sudah mendekati total populasi Kota Bandung. Malah sudah 1,8 juta views.
Saya berusaha fokus bukan karena janggal “koq Megawati seolah minta sampai dua rumah”, tapi justru karena dua hal. Pertama, bahwa (alm.) Taufik Kiemas, suami Megawati, justru sanggup menyumbang puluhan miliar untuk pesantren (dan saya pernah menulis ini) — yang related dengan (alm.) Buya Syafii Maarif. Kedua, orang yang selalu dianggap setara dihormati dengan alm. Buya Syafii Maarif, yaitu alm. Gus Dur, justru menolak rumah dan kemudian mendapatkan uang tunai yang diolah/dikelola Gus Dur untuk menjadi Pesantren, tapi alm Gus Dur pernah kesulitan keuangan—yang saya ga percaya itu dialami seorang Mantan Presiden karena “koq negara ga nolong apa-apa.”
Tapi bisa jadi saya agak meluas “mbleber-mbleber” bahasnya.
Rumah Megawati di Teuku Umar secara diagonal amat dekat dengan (mungkin) rumah terbesar di Menteng, yaitu rumah Chairul Tanjung. Dibanding Megawati, jelas rumah amat luas dan super tinggi Chairul Tanjung mungkin harganya Triliunan menurut NJOP dan lainnya. Saya selalu berseoloroh bahwa segala keputusan Indonesia ujung-ujungnya berintikan Menteng: antara Teuku Umar vs Cendana (250an meter dari Megawati di Teuku Umar).
Saat / sejak menjadi Wapres dan kemudian Presiden, Megawati memakai rumah kenegaraan di dekat Masjid Agung Sunda Kelapa, bukan di Teuku Umar. Tampak bahwa Megawati pada tahun 2000, masih Wapres, merayakan ultah di rumah kenegaraan/rumah dinas di dekat Masjid Agung Sunda Kelapa.
Saya meyakini rumah Pak Habibie di Patra Kuningan beli sendiri, bukan pemberian negara, dan saya meyakini bahwa jika pun Habibie ditawari, dia menolak: kondisi masih krismon. Alm. Soeharto saya yakini juga tidak meminta rumah dari negara, bahkan disaat “peak performance” kekayaan Orde Baru/Soeharto Inc pernah 30-40% PDB Indonesia pada 1996-1997.
Menurut Yusril, beberapa bulan sebelum Soeharto wafat (27 Januari 2008), Yusril Ihza Mahendra bertemu Soeharto. Soeharto “naksir” rumah Yayasan (*maksudnya kurang lebih Yayasan Jantung Indonesia — Teuku Umar 8 Menteng) dan menurut Yusril, Soeharto ingin diberi rumah dan persisnya rumah YJI agar Soeharto ubah (harapannya, jika ada umur) untuk jadi Rumah Sakit Jantung. Tapi Yusril berkata bahwa harga total rumah Teuku Umar adalah 74 Miliar Rupiah. Yusril kemudian berkonsultasi ke Presiden (saat itu) SBY dan Menkeu (saat itu) Sri Mulyani, dan diputuskan Soeharto dikasih uang tunai 20 Miliar Rupiah — sama seperti alm Gus Dur.
Yang menjadi curious sebetulnya bagaimana misleading negara tidak cukup transparan menjelaskan peruntukkan/hak Presiden dan Wapres, sehingga twit Kang Iman menjadi super viral dalam 3 jam 1,2 juta views (dan terus menggila angkanya). Yang menjadi sasaran tembak adalah Megawati–dan saya pun juga mempertanyakan “apa mungkin Taufik Kiemas sebagai suami ga sanggup membelikan rumah?”
Saya sudah pernah menulis tentang alm. Buya Syafii Maarif. Sebegitu sederhananya beliau, semua sumbangan uang, “titipan” duit untuk Buya tidak pernah dipakai untuk beliau sendiri tapi diputar ulang untuk Muhammadiyah atau uang tunai “beasiswa” untuk anak-anak tidak mampu, seperti kesaksian Kiai Taufik Damas. Kiai Taufik Damas juga menjelaskan, bahwa sumbangan alm Taufik Kiemas ke Buya Syafii khusus ada yang mencapai 13 Miliar Rupiah, dan 13 Miliar itu untuk membangun Mualimin Yogyakarta. Itu angka bisa jadi lebih kecil karena (mungkin) alm Taufik Kiemas menyumbang lebih banyak lagi ke alm Buya Syafii demi “hidup enak” Buya Syafii, tapi Buya Syafii bersikeras tidak memakai sedikitpun untuk dia dan dipergunakan untuk kemaslahatan hal lain.
Jadi, tudingan “koq Megawati minta-minta sampai dua rumah” menjadi membingungkan karena alm Taufik Kiemas bahkan sanggup koq memberi uang bantuan (minimal terdata) 13 Miliar —-HARUSNYA LEBIH BESAR LAGI, dan sekarang berbentuk Mualimin. Problem PR-ing sekretariat kepresidenan yang sumir dan tidak detail menjelaskan kronologi, membuat twit Kang Iman menjadi ultra viral seolah Megawati ngemis-ngemis sampai dua rumah. (alm.) Suaminya kaya banget koq.
Hal (sumir) ini semakin membingungkan dimana / bagaimana tentang rumah SBY, mantan presiden lainnya, yang di Mega Kuningan—dimana tanah di area ini ultra mahal. Dicari pakai googling pun, anda sebagai publik akan berujung dengan tulisan bahwa rumah negara untuk SBY bisa mencapai 500-600 miliar, dan ya wajar publik berfantasi demikian karena tanah di area Mega Kuningan super mahal. Problem kegagalan PR-ing pemerintah yang secara menyengaja tidak memberikan jawaban lugas tentang akses hak bagi para Mantan Presiden (& Mantan Wapres). Dan setidaknya hari ini, yang jadi target risakan adalah Megawati—-karena minim detil penjelasan masalah fasilitas ini.
Kira-kira ini rumah Mega Kuningan yang masih cukup baru diunggah “dijual” di suatu web penjualan rumah:
(diunggah 1 pekan lalu)
(juga diunggah 1 pekan lalu)
(diunggah 2 hari lalu)
Masih bahas Megawati. Konon Megawati mendapat dua karena sejak menjadi Presiden (???dan ini sumir, sejak menjadi Presiden, atau sejak menjadi Wapresnya Gus Dur) Megawati membayar sendiri suatu rumah yang kebetulan juga di Teuku Umar, dan kemudian di akhir kepresidenan (2004) dia memilih rumah Teuku Umar lain yang (kebetulan) bersebelahan untuk dibelikan oleh negara. Tidak plek seperti Habibie, tapi bisa mengambil contoh Habibie: “(alm) Habibie terlanjur nyaman dengan rumah yang dia cicil sejak 1975 di Patra Kuningan.” Adalah logika yang wajar, jika pun memang benar, kalau Megawati terlanjur nyaman dengan suatu rumah di Teuku Umar dan kemudian dia mrerequeste rumah teuku Umar lain—-yang kebetulan di sebelahnya, untuk dibelikan oleh negara.
ITU …. kalau benar semua. ITU…kalau alm Taufik Kiemas tidak membelikan (& jadi lucu, lha wong Taufik Kiemas amat kaya).
Problem yang mengganggu bagi saya: ditengah kepemilikan oleh berbagai kedutaan dan OKL (Orang Kaya Lama), Setneg/Setpres punya berbagai rumah “dimiliki negara” di berbagai titik di Menteng. Salah satu yang saya tahu pasti: (rumah milik negara di) dekat Masjid Sunda Kelapa.
Anggaplah Mega butuh rumah dinas tambahan saat dirinya masih jadi Presiden (/ justru sejak masih jadi Wapresnya Gus Dur), dan dia sanggup/mau bayar sendiri. Tapi ngapain, lha NEGARA punya rumah yang bisa ditempati gratis dan sama-sama Menteng, dan hanya 400an meter dari Teuku Umar, dan secara teknis lebih besar (rumah yang di dekat Sunda Kelapa) dibanding rumah Teuku Umar 27 & 29 digabung sekalipun. Bahkan rumah negara yang di dekat Masjid Sunda Kelapa akan jauh lebih dekat bagi Megawati ke kantor pusat PDIP di Jalan Diponegoro (dibanding dari Teuku Umar ke Diponegoro). Banyak yang missed dan itulah mengapa twit Kang Iman amat viral karena justru penuh “syak wasangka” yang rentan jadi fitnah ke semua pihak.
Sementara Jokowi, alih-alih meminta rumah di IKN, dia memilih rumah (*tapi sepertinya masih tanah kosong) di Colomadu, dekat bandara Adi Sumarmo. Tanah lahir (meski sebetulnya sudah “agak jauh” karena Jokowi lahir di tengah kota Solo, sementara bandara Adi Sumarmo sebetulnya sudah dihitung Boyolali). Cerdas juga bahwa Jokowi memilih area di dekat bandara, sehingga saat post-presidency beliau amat mudah kemana-mana. Tanah di Karesidenan Solo tentu masih sangat murah.
Isu kedua, alm Gus Dur. Saya masih ingat tulisannya dan kembali saya temukan link-nya. Alm Gus Dur memang menolak rumah negara dan diberi uang tunai. Sehingga 20 Miliar ini kemudian dijadikan Pesantren (*tapi saya sulit menemukan Pesantren apa yang memakai uang 20 Miliar ini). Tapi menurut cerita Alisa Wahid, Alm Gus Dur sempat ga punya uang sama sekali—bahkan 5 juta pun tidak ada.
Saya bertanya-tanya, apakah paspampres tidak tahu bahwa Gus Dur pernah kesulitan keuangan—sementara Paspampres harusnya melekat bahkan ke Mantan Presiden-Mantan Wakil Presiden. Atau justru Gus Dur dan keluarga juga menolak fasilitas pengawalan bernama Paspampres karena sudah cukup dengan Banser/Ansor yang hari ini (April 24) ultah? Tapi bukannya Gus Dur bermusuhan dengan Cak Imin, dan artinya rentan pula Imin menarik fasilitas Banser pada Gus Dur? Itu ga terjawab dalam blog yang ditulis Mba Alisa, dan hanya (dijelaskan oleh Mba Alisa) bahwa Gus Dur pernah minta uang karena 5 juta pun ga ada.
Saya berusaha memakai pembanding lain, bukan semata Buya Syafii Maarif yang punya Muhammadiyah, untuk memahami sulitnya pembiayaan sekolah. Luhut Binsar Panjaitan, eks Dubes Indonesia untuk Singapura (di era Presiden Habibie), pernah kesulitan keuangan saat sudah terlanjur mendirikan Sekolah Unggul Del.
Jauh sebelum super sukses dengan tambang, dirinya (Luhut) pernah bekerja untuk Ical. Kini, alih-alih kesulitan keuangan. Saya ingat betul tulisan di Majalah Tempo saat Tempo mewawancarai Luhut: dari rumah Luhut, bisa dilihat pula Menara Sopo Del yang dibangun Luhut di Mega Kuningan. Bayangkan bisa bangun gedung pencakar langit di Mega Kuningan yang super mahal, bukan cuma biayai sekolah. Tapi Luhut pernah mengakui kesulitan membiayai Sekolah Unggul Del.
Saya berseloroh ke teman terdekat saya di Amerika & WN Amerika (tapi campuran berbagai etnis negara-negara ras Kaukasia) bahwa satu-satunya cara yang paling mungkin dirinya dijamu oleh Kedubes Amerika jika pergi ke Indonesia adalah saya harus jadi Presiden. Tapi saya berusaha memastikan bahwa suatu hari, teman dekat saya bisa ke Indonesia tanpa harus dijamu Kedubes—dan tetap semewah mungkin mendapat fasilitas, saat bertemu dengan Mrs Prada kelak, tanpa saya harus jadi Presiden.
Tapi jika kelak saya jadi Presiden, saya harus banget mengubah total-dan artinya meningkatkan drastis fasilitas Mantan Presiden dan Mantan Wakil Presiden. Harusnya cerita amat lama-tapi-amat-populer bahwa Mantan Wapres (& juga proklamator) Mohammad Hatta pernah menyimpan uang di antara buku karena uang tersebut tidak cukup untuk membeli sepatu BALLY — suatu merk mode yang outlet resminya hanya ada di Plaza Indonesia untuk area Indonesia —- dan cerita tersebut harusnya alarm terlalu kuat agar tidak ada lagi Mantan Presiden dan Mantan Wakil Presiden yang hidup kapiran.
Alih-alih, seterkenal alm Gus Dur bisa kesulitan uang sampai 5 juta rupiah pun tidak ada, padahal pengikutnya (di NU) sangat fantastis. Saya masih berasumsi bahwa Paspampres yang melekat Gus Dur tahu cerita kesulitan keuangan ini tapi tidak disampaikan perwakilan Paspampres ke pemerintah—dan itu NGAWUR. Tapi bahkan sedemikian kewajiban Paspampres harsu super dekat melindungi kepala negara (Presiden & Wakil Presiden) serta Mantan (Presiden & Wakil Presiden), fakta yang kadang bikin saya overwhelmed: pemilu 2019, area tempat tinggal Paspampres, 80% lebih memilih Prabowo dibanding Jokowi.