Please don't compare (Budget) us with Singapore
High inflation keeps pushing costs higher. Capping energy prices for everyone to the same extent, as Indonesia by Jokowi and France by Macron has done, ultimately reward those who consume the most. So ideally we'd put in place an approach that isn't so expensive (either via targeting or recouping it via tax) that we can't sustain it. France (via EDF), Indonesia (via Pertamina), Saudi (Aramco), Norway (Equinor ASA) basically started at the "state picks up the rising energy costs for everyone" end of the market and is now heading the other way (allowing bills to rise) because of exactly this problem. There's not much free about a market Putin is controlling. Russia contribution is (at least) 9% oil for the world and 12-13% gas for the world.
In Indonesia, the administratively easier (but politically more difficult) route to achieve broadly the same outcome is to cut everyone's bills and then claw back the gains from higher income households. Reduce subsidies get direct "No" by opposition.
A massive cliff edge that sees those who aren't on benefits get nothing (including the poorest). As the problem/those payments get bigger the less tenable this is. Every research/study about subsidies in Indonesia, 70-85% subsidies goes to the upper class, the rich. Those payments are flat rate so take no account of very different energy bills (and therefore energy bill rises). Once prices are up 250% do we really think an increase to 300% massively changes incentives much?
Like in Indonesia. 502 Trillion with price cap / ICP US$ 105 per barrel. What if in December oil price rocketing to 160? Social Incentives (in Indonesia: BLT/Bantuan Langsung Tunai) set up 400 Trillion or what? Please remind Indonesia is host G20 in November, and in gross, budget for G20 (infrastructure, hospitality) arguably absorb IDR 20-30 Trillion. This gets suggested quite a lot. Challenge is that while higher income households use slightly more energy than lower income ones, there is much more variation amongst lower income households - so this is very bad for large families.
Indonesia Finance Minister Sri Mulyani Indrawati is ready to increase budget spending to protect consumers – and Indonesia's economic recovery – amid surging inflation.
She conceded that energy subsidies were perhaps “not the best option” because the poor may not enjoy the benefits as much as the middle to upper class, but said political considerations needed to be taken into account as well. Several research, both government and private sectors, since 2004 shows that 70-85% subsidies absorbed by upper class. This year, minimum, Indonesia subsidies reach 502 Trillion. March 28th 2022, Jokowi said that the budget to building the basic infrastructure of the capital /IKN NUSANTARA in the first phase, would cost an estimated (ONLY) Rp 466 trillion (US$31 billion ---- assumed US$ 1 = IDR 14,900).
502 Trillion (& still counting, because with ICP US$ 105 ---- oil price currently on US$ 117-124) vs 466 Trillion.
==================
(Indonesia language, with more stories):
Pak Hary Tanoe yang memang ga ikut joget, tertawa lebar sembari menyapa satu sama lain ditengah tamu lain yang berdiri joget. Nadiem Makarim mengepal dua tangannya keatas, bangga anak Kelas 6 SD Kepundungan 2 Banyuwangi (*dibawah yurisdiksi dia sebagai Menteri) menjadi penyanyi Istana Merdeka di 17an. Bu Iriana padahal pakai mahkota/hiasan kepala super berat, dalam potongan video 10 detik tanpa jeda video hanya mengarah dirinya, bergoyang. Suaminya Bu SMI, jauh lebih serius dibanding SMI yang jelas-jelas serius, bergoyang. Pak Listyo Kapolri dengan segala durjana problem Sambo ultra berat, berjoget. Prabowo, yang sangat temper, duduk bersebelahan dengan Hary Tanoe, menjadi menteri pertama yang turun tribun tamu mendekati Farel di panggung kecil dan berjoget, mood 2024 nyaris menang sih. Mood mba-mba pemberi isyarat di pojok bawah TV anda saking enjoy nya pula ikut berjoget dengan bahasa isyarat. Sudah 13 jam dan salah satu video di YouTube sudah 1,4 juta views. Mood “Ojo Dibandingke” menyebar luas, entah mungkin sebegitu luasnya orang happy (justru karena): mereka korban dibanding-bandingkan, sehingga lagu tersebut dirayakan.
Tapi kali ini, karena kepikiran terus-menerus, saya yang ga mau banding-bandingke, terpaksa ingin “banding-bandingke”, negara yang dimana WNI nya di negara tersebut paling/tersering membandingkan Indonesia: Singapura. Kebetulan dua negara ini punya bendera mirip, dan sama-sama “anak Leo” (Spore: 8 Agustus). Dosen idola saya (yang belum kunjung saya tulis substack untuk dirinya, I’m sorry Mas), Mas Hanafi Rais, berseloroh PAP di Singapore itu bukan People Action Party tapi “Pay And Pay” karena sedemikian masif denda disana, dan atau, yang penting rutin bayar biaya ketertiban, pasti hidup di Spore. Mas Han juga berseloroh “Singapore itu lebih Orba dibanding Orba” sedemikian LKY-ish nya Spore.
Negeri Singa yang sebegitu kontras dengan Indonesia. (alm) Pak Habibie menyebutnya “red dot” ditengah hamparan hijau. Rumah (alm) Pak Habibie yang cuma selemparan batu dengan Kedubes Australia, artinya juga cuma 300an meter garis lurus dengan Kedubes Singapore. Negara super / ultra disiplin dengan ultra kacau bernama NKRI. “Red Dot” kemudian benar-benar jadi acara khusus di Singapore untuk menunjukkan kehebatan Singapore (di CNA, Channel News Asia).
=====
SINGAPORE
Sekitar 2 jam sebelum Pak Jokowi pidato Nota RAPBN (sekitar 2.06 WIB siang), suatu twit dilekatkan “Exclusive” interview oleh Bloomberg. Oleh Bloomberg memang kemudian twit tadi diulang2 sampai tengah malam ini.
Pada intinya Pak Lawrence Wong ini adalah Next PM Singapura. Ada olok-olok, PM urutan genap (2, 4, 6, dst) akan diisi orang “non keluarga Lee Kuan Yew), sementara LKY dan dinastinya akan menempati urutan anjil (PM ke-1, 3, 5, 7 dst). Jika kelak dilantik, Pak Lawrence akan jadi PM ke-4.
Dua isu utama, coba saya singkat: Pak Lawrence berusaha menghapus citra tax haven Singapura, entah karena kerumitan anggaran Spore, dengan (jika dia jadi PM) akan menaikkan pajak. Kedua, dirinya menyesalkan kunjungan Nancy Pelosi ke Taiwan yang “hanya jadi trigger situasi lebih intens”.
Khusus Taiwan ini, apa yang dilakukan / diucap Lawrence sangat mirip “flipflop muka dua” yang dilakukan Lee Hsien-Loong, PM Spore saat ini. Flipflop yang menunjukkan Spore jauh lebih pragmatis bahkan dibanding Jokowi dan entirely Indonesia. Dulu, PM Lee (sudah sebagai PM) secara tak terduga berkunjung ke Taipei. Tapi beberapa waktu kemudian, mengucap sesuatu yang tak berkenan bagi warga Taiwan, dan sempat memunculkan diplomatic spat antara kedua negara.
Pak Lawrence adalah orang yang pertama kali ditemui Nancy Pelosi dalam lawatan ke Asia (urutan: Spore, Malaysia, Taiwan, Korsel, Jepang, balik lagi ke Amerika). Bahkan Pelosi lebih dulu bertemu Lawrence sebelum bertemu Lee Hsien-Loong, diyakini betul Pelosi tahu bahwa Lawrence adalah next PM.
Lawrence bisa saja berkelit bahwa saat bertemu Pelosi, Pelosi tidak mengucap akan berkunjung ke Taiwan, sehingga Lawrence berhak bilang atau mengkritisi kunjungan tersebut. Karena bahkan sampai mendarat di Taipei, rute Pelosi itu berubah-ubah. Salah satu rute yang pernah diunggah, sempat akan mendarat ke pangkalan militer AS di Filipina (Clark, Subic) tapi tidak bertemu Presiden Bong Bong, cma mendarat istirahat sebentar. Kenyataannya: dari Spore, ke KL, lalu tancap gas dan mendarat di Bandara Songshan Taipei (10.47 PM waktu setempat) tanpa mendarat di Filipina.
Dualisme Lawrence ini menunjukkan betul sulitnya Singapore, negeri yang berintikan warga keturunan China, untuk memposisikan di tengah “dua china” (China dan Taiwan), dan apakah Singapore solid untuk benar-benar mengakui “One China Policy”. Saya tidak pernah menemukan riset sejauh mana atau sebanyak apa “warga China Taiwan” dan “warga China Mainland” yang kini menetap di Singapore, apapun level status kependudukannya. Mungkin berbeda dengan Nancy Pelosi, yang yakin bahwa San Fransisco lebih banyak konstituen keturunan Asia-nya adalah “China Mainland pro Taiwan” dan atau “China Taiwan beneran” dibanding “China Mainland yang amat pro Beijing”, sehingga dengan semangat konstituen distrik yang diwakili, dan nurani demokrasi ala Pelosi sejak puluhan tahun lampau, Pelosi ga gentar ke Taiwan.
Salah satu yang selalu bikin bingung Singapore (& nyenggol sedikit: Malaysia) adalah fakta bahwa mereka / keduanya membatalkan kereta cepat atau kereta kecepatan sedang-cepat antara keduanya, cuma gara-gara masalah biaya. Disaat berbagai perusahaan swasta dan negeri kedua negara bisa masif bikin bangunan aneh2 antara 2018-saat ini. Terbaru, Menara tertinggi pengganti “lebih tinggi” Petronas, dibangung di KL, berbentuk gestur tangan Tun Abdul Razaq. Kerancuan apakah pemerintah kedua negara gabis ajak swasta setempat, atau apalah, disaat negara yang sering dihina miskin oleh Singapore dan Malaysia (yaitu NKRI harga PayPal) sanggup dan pantang mundur bikin Kereta Cepat, terlepas saya ga setuju2 amat KCIC. Tapi saya nanti akan jelaskan (sedikit) kereta cepat Indonesia.
Kebingungan dan pragmatisme Singapore mau memihak China atau Taiwan bukan semata negeri ini sama-sama berbasis keturunan China, tapi karena Spore sendiri tidak bisa menolak capital flow kedua pihak berinvestasi di Spore. Dan target pajak (yang lebih tinggi) diwacanakan (next) PM Lawrence, ya bukan semata expat dari negara-negara Barat, tapi orang2 “China Mainland” dan “Taiwan” di Singapore yang semuanya crazy rich di Singapore.
======
NKRI
Setiap tanggal 16 Agustus, tiap Nota RAPBN, saya selalu teringat teman baik saya. Namanya Manda (laki-laki, nama disamarkan). HI tapi bukan HI UGM. Dia pernah menjadikan kos-nya tempat saya sementara hidup di Jakarta dan kami menikmati nonton series Sherlock sambil diskusi HI. Saya dan Manda angkatannya sama, tapi Manda berusia 5 tahun lebih tua. Saya memang terlalu muda masuk HI UGM.
Manda pernah berkelakar begini. Dulu, ayahnya dimaki karena “hidup jadi PNS itu cuma bikin miskin”. Kemudian saat ini, atau minimal sebelum covid, ayahnya dinyinyir “PNS ternyata bisa jadi kaya raya banget”. Manda memang punya rumah dan lahan yang kira-kira seluas 8 kali rumah subsidi pemerintah.
Kenapa saya selalu keinget Manda, karena 16 Agustus bahkan sejak Orba pun, jadi hari dinanti PNS-PNS NKRI. Sejauh mana setelah rapat berminggu-minggu di Banggar DPR (Badan Anggaran DPR), RAPBN disampaikan lebih sederhana, dan bagaimana arah kebijakan tiap departemen (penamaan era ORBA) atau kini Kementerian / Lembaga.
Manda saat covid ganas-ganasnya, dan ketemu saya, tanpa bermaksud pamer kepafa saya yang punya bisnis lebih kecil, pernah bilang dirinya rugi 351 juta rupiah karena bisnis personal dirinya megap-megap. Tapi dia berusaha cukup santai, karena keluarganya masih sanggup menanggung.
Salah satu hantu APBN yang selalu dinyinyiri warga +62 adalah tentang budgeting Kereta Cepat. Kira-kira sebulan lalu, tulisan berita begitu viral, “total akumulasi biaya terkini sementara Kereta Cepat, bukan final biaya, sudah melampaui total biaya yang diajukan Jepang”. Dulu, orang-orang berargumen Jokowi memilih China karena “PAHE / Paket Hemat” dimana Jepang sedikit lebih mahal. Sementara nyinyiran makin besar karena biaya sementara terpakai bikin KC oleh China, sudah melampaui asumsi biaya dari proposal Jepang.
Yang makin menjadi beban jelek China adalah ketiadaan corong di Indonesia yang benar-benar populer. Sementara dua dubes jepang untuk Indonesia, yang saat ini dan apalagi yang sebelumnya, amat media darling dan social media darling ditengah netihen NKRI.
Saya bahkan tidak sukses di-persuade seorang senior saya di HI UGM yang mengerti betul “perang proposal” antara China dan Jepang. Dirinya menamsilkan “Prada, Jepang udah kuasai mobil motor, juga MRT, kalau kuasai KCIC, secara diplomatik Indonesia akan terus-menerus bergantung pada Jepang, tidak fleksibel”
Saya berusaha memahami bengkaknya KCIC bikinan China meski saya ga setuju. Saya melihat betul berulang kali postingan warga pekerja sangat senior bernama Bekti. Mungkin tahun total dia kerja lebih besar dibanding umur saya. Dirinya yang sudah sangat senior, masih selalu merasa “minder” dalam melihat unit2 ultra besar yang dikirimkan dari China ke Indonesia (apapun pelabuhannya) terkait KCIC (dan dia posting di twitter). Seolah dia baru lihat kali itu, setelah 4 dekade kerja.
Saya pernah mendapati sewotnya pengelas Jawa Barat yang merasa disepelekan dan harus didatangkan pengelas dari China. Tapi bahkan Pak Bekti masih terkagum2 dengan unit2 yang harus dipasang untuk KCIC, menandakan (mungkin) memang pengelasannya ga bisa oleh lokal, dan atau orang lokal belum punya ilmunya secara meluas. Tentu saja biaya bengkak juga karena covid. Jika dulu sekali yang menang tender Jepang, biayanya juga akan bengkak. Jepang menang citra saja. Apes aja China.
Kalau “si miskin Indonesia” aja bisa dan berani KCIC sebengkak apapun biayanya, kenapa “si kaya Singapura (dan Malaysia) ga berani?”
Itulah mungkin rahasia yang hanya diketahui Jokowi dan Xi Jinping. Hanya Jokowi sampai saat ini (17 Agustus 2022) kepala negara yang berkunjung ke Beijing setelah Olimpiade Musim Dingin 2022 di Beijing (*dihadiri salah satunya Putin). Sikap Indonesia dan Jokowi yang juga berusaha pragmatis dalam hal “West” (aliansi dengan Amerika, dll) atau juga karena ga diajak, menjadikan China juga lebih leluasa bekerjasama dengan Indonesia.
Bahkan Pelosi tidak datang ke Indonesia, yang menandakan, mungkin “Ngapain Gue datang ke negara yang Presidennya tetep nekad ke Beijing meski Beijing lagi chaos covid”. Tapi jelas Biden datang ke Bali nanti untuk G20 pada November, karena berita terbaru Xi Jinping berniat bertemu tatap muka dengan Biden bahkan sebelum G20, entah dimana dan kapan. Pada 26 Juli saat Jokowi bertemu Xi Jinping di Beijing, Xi menyatakan tidak cukup yakin bisa ke Bali mengingat parahnya Covid di China, secara moral (sebagai Presiden) Xi sulit pergi padahal “parah covid” di China itu hanya wafat 40-50 karena kebijakan ultra radikal “zero covid policy” (*Amerika: 700-800 jiwa/hari wafat karena Covid; Indonesia 30-40 jiwa/hari). Terbaru, 19 Agustus 2022, Kemenlu (yang berulang tahun 19 Agustus) dan Jokowi sendiri memastikan Xi Jinping dan Putin pasti akan datang ke Bali untuk G20. Belum diketahui Zelensky, tamu khusus non G20 member, diundang Jokowi, apakah akan hadir. Yang jelas, Bali menjadi maha penting karena untuk pertama kali pasca perang Rusia - Ukraina, Biden dan berbagai negara-negara Barat bertemu tatap muka Putin dan Xi Jinping.
Beijing juga bisa dengan leluasa, mau berapapun Jakarta minta, untuk menolong KCIC sebengkak apapun biayanya, batin saya. Bahkan jika Indonesia minta gratisan vaksin covid sampai miliaran dosis (lagi), minimal diskon besar, pasti dikasih Xi Jinping. Jokowi “teman” yang tidak meninggalkan Xi Jinping saat (1) China masih dikepung Covid dan (2) jelang Pelosi mau berkunjung ke Taiwan. Jokowi sangat akrab dengan Xi Jinping, tapi juga dirangkul dan tertawa lebar dengan Biden di Berlin (*Jokowi diundang sebagai tamu atas acara G7, dimana Jerman presidensi G7 tahun ini).
Saya justru lebih terpikir APBN dalam hal yang tidak punya kaitan dengan China: IKN NUSANTARA. Infrastruktur bangunan, transportasi, apapun, suatu kota metropolitan “fresh” dibangun dari nol. Saya gatau apakah benar-benar realistis. Tapi saya sepakat “ejekan” Pak Basuki Menteri PUPR: “bikin IKN memang lebih murah dibanding memperbaiki Jakarta”. Saya sepakat betul ini, meski saya gatau akan berapa ribu triliun dalam puluhan tahun kedepan. “Membunuh” sindikat perumahan, yang bikin bubble property, memang salah satunya adalah bikin kota baru dan “mematikan pelan-pelan” kota yang kemahalan (baca: Jakarta).
Tiap kali Singapore, saya lebih sering teringat Mas Han (Hanafi Rais) dibanding adek saya. Saya janji menulis untuk Mas Han.
Selamat ultah DPR (18 Agustus) dan Pejambon / Kementerian Luar Negeri (19 Agustus).