"Berobat Jalan" via Stories Instagram, dan "Berobat Jalan" sampai wafat kelak
"..because regular Tuesday can be boring.."
Saya hapal betul tanpa ngegugel dan cek ulang lagi atas quote/pick up line diatas. Impresi pertama (dan mungkin kukira salah —*saya ga pernah cek orang via LinkedIn, ga mau doxing) awalnya (saya mengira) “mbak psikolog” ini kerja sekantor sama Wulan. Twitter lawasnya dan foto yang diunggah di akun lawas twitternya (*karena sekarang ganti akun baru; saya ga berani follow karena jumlah following followers nya masih terlalu sedikit) sempat membuat saya berpikir dia sekantor. Atau sebaliknya: bidang bisnisnya sama tapi rivalnya Wulan. Saya ga akan dan ga sedang mencari tahu itu lagi seperti tabiat tukang doxing.
Saya lebih suka mengamati bagaimana “mbak psikolog” ini suka sekali memberikan advice tentang hal-hal penerimaan diri. Saya agak kesulitan pakai “sebut saja….” karena nama dia cukup langka di NKRI ini. Jadi saya akan selalu tulis “mbak psikolog”.
Dia selebtwit dan selebgram yang twitter account-nya, seperti saya jelaskan, sudah dihapus meski akhirnya bikin baru lagi. Saya juga baru bikin akun baru meski 2 tahunan, karena akun sebelumnya jadi sasaran doxing (*bahkan akun baru pun juga sama, di doxing). Dia sangat jujur apa adanya atas gangguan problem psikis yang (pernah) dia alami, kadang penyakit fisik (gatel2 kulit; digigit nyamuk, dicakar kucing, apapun), dan mungkin itulah cara dia menempatkan diri di jagat netihen: perempuan yang berusaha menerima diri dan segala kekacauan dan kekurangan diri. Saya belajar banyak banget dari dia.
Sifat note ini searah dan bisa jadi banyak banget koreksi dan atau kesalahan saya mengira “mbak psikolog”, tapi disitulah: saya memang murni belajar penerimaan diri tanpa berusaha cari tahu “mbak psikolog ini siapa”.
Saya kadang iri ke orang yang punya web pribadi dan kemudian alamat email dengan domain yang personal. Tapi membuat gituan (meski ada yang mur-mer), setidaknya 15 jutaan dan belum biaya maintenance tahunan. Salah satunya (web) “Mbak Psikolog”. Dia punya web personal yang rapihhh banget, nan simpel.
Lucunya: 18 Juli 2021. Atau tragisnya.
Hari itu Pakde/Paman saya wafat di saat Subuh, dan bahkan saya gabisa menjenguk apalagi mensalatkan. Yup, betul, karena Covid. Kedua, bisnis sampingan saya makin megap-megap. Ketiga, karena covid makin parah (16 Juli 2021-22 Agustus 2021 jumlah kematian Covid harian selalu diatas 1000 jiwa/hari, tidak pernah dibawah 1000; total wafat hanya dalam rentang tanggal tersebut adalah 56,170 jiwa), saya ga mungkin lagi membiarkan berbagai anak buah saya di mess suatu kota kelaparan karena partner business saya belum kunjung memberikan gaji dan apalagi covid memuncak: saya harus membelikan (secara ukuran) seisi mobil Agya (Gocar) untuk kebutuhan entah 2-3 bulan di suatu mess pabrik, hujan2 badai dan benar-benar berangin. Kalau saya ga ditolong adik saya, saya ga mungkin bisa balik ke tengah Jakarta Pusat.
Sekitar tengah malam jelang 00.00/jelang ganti hari, sesampai di Jakarta dan mencoba menghangatkan badan, saya iseng baca IG dan melihat postingan stories “draft ketikan” berjudul “Kehilangan Mahkota”. Sampai sekarang tulisan itu ga pernah muncul di web personal “mba psikolog”, entah karena keterlaluan berat isu/bahasannya &/ terlalu personal bagi dia. Atau sebagian dari yang terlanjur diketik dialihkan ke tema hybrid lain dan menjadi salah satu dari tulisan “Mbak Psikolog” di web. Penjudulan “Kehilangan Mahkota” dan potongan paragraf yang sempat diketik (dan diunggah di IG stories), (saya) sempat kepikiran hal ekstrem, tapi mudah-mudahan saya salah memahami. Tapi saya berharap “mbak psikolog” akan mengunggah niatan awal tulisan “Kehilangan Mahkota” itu, kapanpun.
Saya ga mungkin charge bayar bikin web (lagi) karena jauh lebih penting perut orang lain. Pun saya harus berdamai obat-obatan entah terkait meredam tremor tangan atau diabetes (in extreme, pernah saya ngira dijampi-jampi, saya bisa 15x ke toilet cuma dalam 1 jam) yang mahal. Saya menemukan alternatif bernama (akhirnya) ya substack ini. Dan mulai menulis 18/19 Juli. They said, if you are sad, in tears, or angry, then write something to forget it. Sometimes you don’t know what you’ve got until it’s gone.
*siapapun yang butuh terapis; psikiater atau dokter obgyn, atau spesialisasi lain, silakan klik ini, saya akan bikinkan satu per satu:
https://docs.google.com/spreadsheets/d/1Kc7pdEnM8zmwFQKbidbyX--xCdh3mWLV1v5SpvEy5aw/edit
Salah satu, kemungkinan, beban terberat yang dijalani “mbak psikolog”, menurut saya, dari ratusan IG stories yang pernah saya lihat, adalah beban bahwa dirinya mengejar orang lain: ayahnya. Ayahnya tetap bekerja saat libur — dan ini membebani dirinya secara personal bahwa dirinya tidak “semasif mesin uang” seperti ayahnya. Entah apa (saja) beban mental yang berkelahi di dalam diri mbak psikolog, istilah jaksel sekarang ini “inner circle”, membuat dia resign dari kerjaan mentereng (*yang kayaknya beda deh dengan Wulan). Tentu saja saya tidak seberuntung finansial “mbak psikolog” tapi saya berusaha memahami “perkelahian batin dan bagaimana melepaskan kesulitan”. Dan saya belajar harian banget-banget dengan hal simpel IG stories “Mba Psikolog”. Padahal ya saya juga ke psikolog dan bahkan membantu orang-orang mendata list dokter2 terpercaya (termasuk psikiater). Istilah yang lagi viral kemarin: “berobat jalan”.
Kenapa saya merasa banyak banget bisa belajar dari problem (pertama) yang saya kira-kira hinggap di “mbak psikolog”: saya dihadapkan standar pula, yaitu adik saya. Saya ga dibenturkan dengan profil ayah saya karena ayah saya wafat sebelum umur saya dua digit. Tapi adik saya melampaui apapun. Sekolah 5 besar terbaik (rutin, 3 dekade) se-Indonesia untuk SMP. Saat SMA, adik saya bersekolah di SMA yang heboh dengan kasus polisi terbaru. Meski perlahan Tarnus memudar, tapi gengsi masuk Tarnus itu masih tetap wow. Saya baru kali ini mengetahui ada anak Tarnus yang ortunya sampai beli rumah mewah di Magelang juga meski mereka bukan warga Magelang. Se-crazy rich seumur2 tiap2 angkatan di tarnus, saya jarang atau bahkan tidak pernah tahu kalau ada ortu (non warga Magelang) yang bela-belain punya rumah di Magelang, dan sangat mewah pun. Saat rutin mengunjungi adik saya saat bersekolah di Tarnus, pernah suatu ortu, malas pakai / berpindah2 mobil / menyewa mobil, santai saja dari Bandara Adisutjipto ke Tarnus pakai Taksi sekali jalan, dan pulangnya pun demikian. Di tahun adik saya bersekolah di Tarnus, kira-kira Taksi dari Bandara Adisutjipto ke Tarnus akan harus membayar 400k rupiah, jelas lebih worthed kalau nyewa mobil. Adik saya angkatan dimana lulusan terbaik di angkatannya dinikahi perempuan keturunan / keluarga 10 besar Triliuner terkaya Indonesia. Se-magis dan se-wow itu Tarnus.
Meski Ibu saya secara implisit atau eksplisit, apapun kalimatnya, sempat dan sering menyentuh "inner circle" saya, luka batin saya, dalam hal membanding-bandingkan, tapi saya ga segan (jika punya kesempatan) menabrak dan menggilas orang-orang yang pernah berusaha membunuh Ibu saya. Dan ada orang-orang ultra jahat seperti itu.
Bahkan meski implisit atau eksplisit sekalipun, baik keluarga kecil atau seutuh keluarga besar saya mengucap hal, yang “inner circle” saya merespon bahwa itu membanding-bandingkan saya dengan adik saya. Meski SMP saya ga jelek2 amat. SMA saya bahkan punya lulusan media darling: Mas Duta S07. Kampus ya UGM, dengan jurusan yang rutin masuk 15 besar passing grade tertinggi se NKRI dalam 10 tahun terakhir (IPA - IPS digabung). Tapi adik saya kampus terbaik 13 dunia dalam 4 tahun terakhir dan tidak pakai beasiswa semanja LPDP. UGM rangkingnya 400-500an sejak 2004 sampai sekarang. Setimpang itu. Apapun advice penerimaan “mbak psikolog” jadi mengena bagi saya: agar saya berdamai (pun) jika dibanding-bandingkan, secara implisit atau eksplisit. Kerasa betul koq saya menjalani itu bertahun-tahun.
Kedua, tentang peribadahan dan Tuhan (Allah SWT). Semacam dia diuji terus-menerus sama Allah (apapun itu), meski dirinya amat taat. “Mbak Psikolog” bahkan sempat bercanda, dan unggah di stories, kalau mama-nya merespon saat “salat mam”, (dan mamanya bilang) gampang, kalau orang tua dapat diskon (diskon naon). Saya menebak, nyaris mungkin, “mbak psikolog” punya kemampuan lain, akibat rumitnya “inner circle” dirinya sejak kecil, (yaitu) bisa melihat hal-hal tertentu di masa depan. Dan karena “bisa melihat” hal-hal aneh semacam itu, dia (mbak psikolog) berusaha berdamai menenangkan diri. Dia berusaha ga marah dan atau mengkritisi, tapi berusaha menerima takdir Allah SWT. Hal yang saya terus-menerus belajar dari kerumit kegetiran apapun yang saya jalani.
Ketiga, ini juga murni nebak-nebak. Mirip “mengejar jenjang ayahnya”. Yaitu mengejar jenjang yang dicapai perempuan mantan dari mantan pacarnya. “Mbak Psikolog” dan (mantan) pacarnya sebetulnya twitter darling. Dan entah kenapa putus. Perempuan “mantan” yang dimaksud sudah mencapai tahap direktur di suatu perusahaan KAP global. Saya menduga dari beberapa stories mbak psikolog, yang jelas semuanya ga sempat dicapture, menunjukkan “sedikit” luka yang (mungkin/saya artikan) dia sulit jika dibanding-bandingkan perempuan lain.
Aku yakin akan ada cepu dari ribuan subscriber substack dan sanggup menebak “orang dimaksud” dan mengabarkan ke Mbak Psikolog”. Tapi ya gapapa.
“Mbak Psikolog”, terima kasih banyak atas berbagai stories yang diunggah. Ya ga semua sempat dan selalu dibaca. Tapi itu memperbesar potensi sembuh setelah (juga) mencoba ke psikiater. Setelah “berobat jalan” dengan advice yang melimpah dari “mbak psikolog” dan orang-orang bijak lain, mudah-mudahan aku bisa menemukan cara “berobat jalan” untuk atau demi satu perempuan. Dan semoga “Mbak Psikolog” menemukan laki-laki yang ga akan membanding-bandingkan Mbak Psikolog seumur hidup, yang layak untuk diajak “berobat jalan” seumur hidup.
Amin ya rabbal alamin. Sukses cookies jualannya juga. Amin ya rabbal alamin.
Aku ga berani dan ga akan kunjung berani pakai sendok emas. Cuma kutaruh di laci, untuk mengingat betapa struggle-nya covid seara ekonomi dll. Pesan ini mungkin hanya dipahami “Mbak Psikolog”. I’m sorry ga sempat kirim kado awal tahun. Just f*** tremor dan gangguan kesehatan macem2.
—end—-