Jokowi and (a lot) Rare Decisions for G20 Purpose
Salah satu hal menyakitkan (dalam hal diplomatik) saat (utamanya) mengganasnya Covid di Indonesia pada (utamanya) Juli-Agustus 2021, bukan semata wafat Covid sebanyak 56,170 jiwa hanya dalam kurun 16 Juli 2021-22 Agustus 2021. Hal diplomatik yang menyakitkan: sikap banyak negara lain yang mengisolir Indonesia, seolah Indonesia sarang kusta atau lepra dan atau negara menjijikkan. Istilah teknis diplomatik, Travel Warning.
Saya mengingat betul berita Australia, SMH (Sydney Morning Herald). Jika ditulis dan dijelaskan dalam bahasa Indonesia seperti ini:
“Pemerintah Indonesia cenderung lambat merespon permintaan agar warga Australia di Bali segera diungsikan. Banyak warga Australia ketakutan dan marah karena merasa terjebak dalam kondisi Covid tak tertangani di Bali. Pemerintah Australia terus melobi Pemerintah Indonesia agar bisa mendaratkan pesawat untuk menjemput sebanyak mungkin warga Australia di Bali untuk pulang kembali ke kampung halamannya”.
Yang paling jahat, betapa banyaknya dokter-dokter Indonesia di Australia dan wartawan-wartawan Indonesia di Australia bangga dengan Australia dan membodoh-bodohi / menertawakan ekstremnya (1k/hari wafat) di Indonesia saat itu. Tweet-tweet dan IG post mereka tidak pernah dihapus (yang menertawakan Indonesia). sampai saat ini.
Tebak, negara terparah per kapita jumlah pasien baru dan jumlah kematian Covid sedunia saat ini? Australia.
Terbaru, Menkes Australia demi cegah PM (penyakit mulut dan kuku) menyiapkan / menyiagakan "Karpet Sanitasi" tuk siapapun, apapun warga negaranya, yang baru saja hidup/menginjakkan kaki ke Indonesia lalu kemudian pergi/mengunjungi Australia. Bukan cuma warga Australia di Indonesia yang pulang ke Australia. Hal yang seolah-olah Indonesia ini kusta, lepra, menjijjkkan.
Bayangkan jika Australia, per 28 Juli kebetulan terlanjur 44 kasus monkeypox, ternyata makin meluas kedepannya. Dan misal NZ ga mau terima warga Australia jika monkey pox terlanjur mewabah. Ujung2nya tempat lari warga Australia selalu, ya Bali.
Paling menyedihkan bahwa Menkes Australia saat ini sebetulnya mantan Ketua Umum Partai Buruh (pernah lebih tinggi dari posisi PM Albanese), bandul politik yang sebetulnya jauh lebih ramah pada Indonesia dibanding Partai Liberal.
Pemberitaan (& tekanan) dari Australia pada 2021 itu beriringan dengan tidak mampirnya Kamala Harris (VP Amerika) ke Indonesia, dan hanya memilih Singapura, Vietnam. Kebetulan dua negara tadi (saat Maret-Juli) melakukan strategi lockdown radikal (/ ultra radikal), tapi karena tidak menyebar alamiah virusnya, justru, antara September hingga saat ini, jumlah pasien baru covid terbanyak per kapita ASEAN adalah Singapura dan Vietnam (bahkan mengalahkan Malaysia. Meski bukan berarti Indonesia patut tenang-tenang saja: untuk pertama kalinya sejak Februari 2022, wafat covid harian Indonesia pada Rabu (27 Juli 2022) kembali dua digit, yaitu 11 jiwa.
Indonesia negara berkembang. Hal-hal penolakan semacam ini sangat mempengaruhi komitmen investasi dan apapun. Sangat merugikan secara materiil — tipe kerugian negara berkembang yang masih sangat butuh investasi langsung dari luar negeri. Jokowi tidak pernah dendam dan melakukan balasan tindakan.
Ada ungkapan, orang akan lebih mengingat pertolongan yang diterima disaat sedang mengalami kesulitan. Itulah yang coba dilakukan Jokowi kepada Xi Jinping (China), Fumio Kishida (Jepang), Yoon Suk-Yeol (Korea Selatan). Bukan sama sekali pertolongan ekonomi. Kebetulan Jokowi mengunjungi tiga negara tersebut sejak Senin (25 Juli) - Kamis (28 Juli).
Setelah Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022, Pemerintah China keterlaluan, atau terlalu fobia, pada Covid itu sendiri. Disaat China sendiri produsen Vaksin. Saya berusaha membayangkan, setelah tuduhan semua negara bahwa Covid berasal dari China (31 Desember 2019, kebocoran di Wuhan), pemerintah China “mengalah” dengan menjadi satu-satunya saat ini negara di dunia yang berlakukan lockdown radikal di berbagai kota besar. Buka-Tutup-Buka (lalu) Tutup atau Lockdown radikal lagi.
Untuk menjadi gambaran seekstrim apa ketakutan China, negara produsen vaksin covid dan persentase sudah menjalani booster/vaksin keempat covid jauh lebih besar dibanding NKRI (baru mulai besok Jumat 29 Juli, dimulai untuk tenaga medis/tenaga kesehatan lebih dulu): Pemerintah China membatalkan sebagai Tuan Rumah Piala Asia 2023, dimana acaranya masih setahun kedepan dan masih sangat mungin China mengatasi penyebaran covid. Alih-alih, China “legawa” untuk tidak jadi tuan rumah. Ini (seingat saya) kali kedua China dalam ajang olahraga membatalkan diri sebagai tuan rumah, dimana sebelumnya Piala Dunia Wanita 2003 batal digelar di China karena SARS.
Dengan problem covid masih menjalar, Jokowi tetap bersikeras datang ke China. Tanpa meng-google, saya tahu betul ini kunjungan pertama seorang seleval Presiden atau PM ke China sejak Opening Ceremony Olimpiade Musim Dingin Beijing (karena Putin hadir). Kecuali, ada pertemuan diam-diam Kim Jong-Un dengan Xi Jinping yang tidak pernah diketahui media. Xi Jinping menyambut senang kebersediaan Jokowi datang, dan berjanji, meski tidak ditentukan kapan, akan mendatangi proyek Kereta Cepat. Hal ini karena Xi Jinping juga tidak bisa memastikan akan datang secara fisik ke Bali untuk pertemuan G20 November nanti, mengantisipasi jika China makin parah dalam hal covid dan Xi Jinping secara moral tidak mungkin meninggalkan Beijing misalnya. Untuk menjadi pembanding, Putin malah bersedia datang ke Bali.
Sebegitu pentingnya pertemuan Jokowi - Xi Jinping, membuat hari Minggu lalu (24 Juli), Panglima Militer Amerika Mark Milley tiba di Jakarta, meski tidak sempat bertemu Jokowi (meski pasti Biden berusaha agar Panglima Militer Mark Milley bertemu Jokowi). Yang ditemui sesama Panglima Militer. Kunjungan Panglima Militer Amerika Mark Milley adalah yang pertama kali setelah 14 tahun lalu(Mike Mullen), menandakan krusialnya harus tiba di Indonesia. 14 Tahun lalu kebetulan tiba saat Beijing akan melakukan Olimpiade Musim Panas (2008).
Untuk menjadikan lebih krusial: Panglima Militer Amerika Mark Milley sempat bertemu Biden hanya beberapa jam sebelum Biden dipastikan mengidap covid. Kebijakan pemerintah Amerika, jika pun pejabat tidak terbukti tertular covid, pejabat tersebut tidak boleh ke luar Amerika lebih dulu untuk jangka waktu tertentu. Sebegitu pentingnya mengunjungi Indonesia sebelum Jokowi bertemu Xi Jinping, Panglima Militer Amerika harus mendapat toleransi protokol covid (sekalipun tidak mengidap covid) agar bisa segera mungkin ke Jakarta, sebelum Jokowi berangkat ke Beijing, meski tidak bertemu Jokowi.
Sebegitu tingginya tensi China - Amerika saat Jokowi datang ke Beijing, untuk Kamis malam ini (28 Juli) waktu Beijing, atau masih pagi di Amerika, akan dilakukan call untuk keempat kalinya antara Xi Jinping dan Biden. Terakhir kali dilakukan pada 18 Maret 2022.
*untuk readout call Biden - Xi Jinping terbaru/28 Juli, klik disini
Kepemilikan senjata di Jepang jauh lebih sulit dibanding persyaratan beli rumah di NKRI. Tapi sekalinya ada kejadian penembakan, yang mati ditembak adalah Mantan PM Abe Shinzo. Hal lain, kasus covid baru harian di Jepang (120an juta jiwa) mencapai 210 ribu/hari, tertinggi per kapita. Sebagai pembanding, Amerika (332 juta jiwa) kasus harian baru covid mencapai 226k-230k/hari. Hal lain, Jepang baru saja pula menyelenggarakan pemilihan sela/pemilihan parlemen.
Alih-alih takut ditembak atau tertular covid, Jokowi juga tiba di Jepang, berbelasungkawa atas wafatnya Abe Shinzo melalui PM Kishida.
Korea Utara menyiagakan operasi militer besar-besaran, entah memang “menyambut” Ketua DPR Nancy Pelosi yang akan tiba di Taiwan, dan atau memang secara general kebuntuan komunikasi Korea Utara - Korea Selatan. Hal itu tidak menjadi masalah bagi Jokowi, dimana Jokowi sudah tiba di Seoul Kamis ini.
Awalnya Nancy Pelosi akan datang ke Taiwan pada Maret, benar-benar kurang dari sebulan setelah Perang Rusia-Ukraina. Karena ukuran Rusia-Ukraina mirip China (vs) Taiwan, sehingga Ketua DPR AS merasa perlu tiba ke Taiwan. Tapi hanya beberapa jam setelah Nancy Pelosi umumkan akan berangkat ke Taiwan, dirinya mengidap Covid, sehingga batal, atau menunda.
Jokowi setidaknya sejak Mei mendatangi nyaris semua anggota G20. Mei di Washington DC (baik pertemuan bilateral dengan Biden, ataupun kolektif ASEAN-US Summit). Tahun depan Presidensi ASEAN dipegang Indonesia, tapi tidak diketahui apakah ASEAN-US Summit akan digelar (lagi) di AS atau di ASEAN. Tapi kebetulan belum ada Presiden AS yang sempat meresmikan renovasi besar-besaran kedubes AS di Jakarta.
Juni didahului Jokowi mendatangi Berlin Jerman karena Jerman Presidensi/ketua G7 (*Indonesia diundang Presiden Frank Walter dan Kanselir Olaf Scholz — Presiden Frank bahkan pergi ke Bogor mengundang Jokowi). Meski tidak sempat ke Brussels (ibukota UE), Jokowi rapat bersama Presiden UE Ursula von der Leyen dan Presiden Dewan UE Charles Michel di Berlin (dan tentu bertemu Biden). Jokowi juga tidak sempat ke Perancis (Presidensi UE 2022 untuk Januari-Juni) atau ke Ceko (Presidensi UE 2022 untuk Juli-Agustus), namun tentu saja di Berlin Jokowi rapat bersama dengan Macron. Akhir Juni, Jokowi pergi ke Kyiv bertemu Zelensky, lalu,ke Moscow bertemu Putin. Jokowi tidak sempat ke London, tapi lagi-lagi di Berlin, Jokowi bertemu Boris Johnson. Bahkan Boris ingat momen saat bersepeda didampingi Jokowi, Boris saat itu masih Walikota London dan Jokowi Gubernur DKI.
Sampai saat ini, hanya Jokowi, pemimpin dunia yang datang ke dua kota dan bertemu langsung Zelensky dan Putin SETELAH perang berlangsung (24 Februari 2022). Paus Fransiskus akan melakukan hal serupa, tapi belum diketahui kapan persisnya (*Paus baru mengunjungi Kanada, utamanya permintaan maaf Katolik Roma atas skandal di Kanada).
Jokowi tidak sempat ke Riyadh, karena terlalu sempitnya agenda MBS antara pengawasan haji dan persiapan pertemuan MBS sendiri dengan Biden, tapi Menlu Saudi Faisal mengunjungi Jokowi sebelum Jokowi pergi ke Berlin. Jokowi tidak sempat ke Delhi setelah dari Berlin-Kyiv-Moscow, tapi sudah bertemu PM Narendra di Berlin. Tapi Jokowi secara khusus pergi ke Abu Dhabi, bertemu kepala negara paling akrab dengan Jokowi: MBZ.
Saya terpaksa meng-google (*saya mengharamkan google untuk tiap menulis substack) demi memastikan apakah kepala negara G20 saat menjadi/memegang presidensi, mengunjungi satu-satu, utamanya Pre-Covid (2008-2019). Saya bisa memastikan: tidak melakukan seperti itu. Hanya Jokowi yang melakukan. Ditengah (1) situasi dunia terpecah kubu karena Perang Rusia-Ukraina, dan (2) kembali ganasnya Covid.
Saat Maret 2022, narasinya sempat jelek: G20 di Bali dibatalkan saja, karena banyak negara anggota G20 tidak sudi duduk bersama Rusia, apapun delegasinya. Tapi terlepas ketegangan amat tinggi dalam pertemuan pendahuluan G20, yaitu level Menkeu G20, level Gubernur Bank Sentral G20, dan pertemuan Menlu negara-negara G20, acaranya tetap berlangsung. Jokowi sendiri menawarkan dan menjamu dengan baik Zelensky, jika Zelensky bersedia datang ke Bali November nanti. Terakhir kali di tahun ini Zelensky ke luar teritorial Ukraina yaitu ke Jerman, dua kota yaitu Berlin dan Munich, bertemu Kanselir Olaf Scholz dan bertemu/menjadi tamu terpenting (bersebelahan dengan VP Amerika Kamala Harris) untuk pertemuan tahunan Munich Summit Conference.
Mencoba berkomunikasi untuk menjalin perdamaian itu tidak mudah. Bahkan Jokowi sempat (pastinya) menyadari gawatnya (jika) G20 November nanti batal karena ketegangan satu sama lain. Alih-alih, Jokowi berusaha pelan-pelan memastikan semua pihak datang, dan berdamai. Terlepas (1) tidak tiba-tiba perang Rusia-Ukraina berakhir, atau (2) tiba-tiba wabah Coronavirus berakhir, atau (3) tiba-tiba Indonesia dihujani investasi langsung mencapai ratusan miliar dollar. Tapi Jokowi menjalani suatu hal: niatan baik, mengunjungi rekan kepala negara lain disaat kesulitan. Karena 2021, Indonesia pernah seolah dianggap “lepra”, menjijikkan, dan harus dijauhi.
*versi bahasa Inggris mungkin akan sedikit berbeda — menunggu hasil telepeon Biden-Xi Jinping